Membangun Riset Perguruan Tinggi
A
A
A
PROFESOR digugat. Mengapa dan apanya yang digugat? Ada yang mengatakan jumlah profesor di negeri kita terlalu sedikit (hanya sekitar 5.000 orang). Yang lain bilang publikasi profesor Indonesia kurang. Bahkan ada yang menyatakan syarat meraih jabatan profesor terlalu mudah. Jangan-jangan ada yang berpendapat, profesor gajinya besar, tapi kinerjanya tidak beda dengan dosen lain yang bukan profesor.
Yang jelas, dulu profesor banyak yang menderita karena gajinya hanya Rp5 juta per bulan, tetapi di era pemerintahan SBY jabatan profesor diberi apresiasi, yaitu tunjangan guru besar senilai dua kali gaji pokok ditambah tunjangan sertifikasi yang juga diterima dosen-dosen nonguru besar sebesar satu kali gaji pokok. Saat ini banyak profesor yang sudah bisa bernapas lega, tidak lagi dikejar-kejar kebutuhan hidup.
Profesor atau guru besar mempunyai tugas utama mendidik mahasiswa. Saking pentingnya darma pendidikan ini, seorang dosen apalagi profesor diharapkan tidak pernah absen dalam mengajar. Kalau toh sampai tidak hadir di kelas, maka dia harus mencari hari lain sebagai gantinya. Urutan kedua yang menjadi tugas profesor adalah melakukan darma penelitian. Kinerja guru besar dapat diukur dari publikasinya di berbagai jurnal ilmiah nasional maupun internasional. Publikasi ini tentunya berdasarkan hasil riset yang bersangkutan. Tugas ketiga adalah pengabdian pada masyarakat, yang sering hanya menjadi pelengkap, namun tetap harus ada dan dilakukan. Ketiga tugas ini disebut tridarma perguruan tinggi.
Tulisan ini akan memfokuskan pada riset yang memang lebih banyak disorot untuk mengukur kinerja profesor. Kegiatan riset menjadi kurang menantang kalau dana riset terbatas. Dana penelitian dari Ditjen Dikti yang sebagian besar “hanya” Rp100 juta atau Rp150 juta per judul riset ibarat hanya menggoyang-goyang peneliti untuk melakukan riset, tetapi tidak peduli kualitas riset seperti apa yang dihasilkan. Kualitas riset akan sangat ditentukan oleh besarnya dana penelitian. Menurut saya, sebuah riset yang bagus rata-rata memerlukan dana sekitar Rp300 juta.
Penulis sejak 2005 dan secara berkesinambungan tiap 1-2 tahun mendapatkan dana hibah penelitian (research grants) dari luar negeri, misalnya dari Neys-van Hoogstraten Foundation, Belanda; juga dari the Nestle Foundation, Swiss. Dalam hibah ini penulis sebagai seorang guru besar juga melibatkan dosen-dosen muda baik yang masih bergelar S-2 maupun S-3. Ini merupakan bentuk pembinaan staf muda agar mereka mampu berkompetisi dengan peneliti dan dosen luar negeri untuk mendapatkan hibah penelitian. Besar dana yang dapat diraih adalah USD25.000 - 70.000 per judul penelitian, suatu jumlah yang signifikan untuk menghasilkan karya penelitian yang berkualitas.
Ketika hasil riset tersebut akan dipublikasikan di jurnal internasional, sebagian pengelola jurnal mengenakan publication fee yang besarnya USD300-600. Untungnya, sponsor riset dari luar negeri mau menanggung fee tersebut sehingga peneliti tidak terbebani dengan biaya publikasi yang cukup mahal untuk ukuran kantong dosen Indonesia. Bahkan bila hasil penelitian akan diseminarkan dalam forum internasional yang biayanya bisa mencapai Rp20 juta (termasuk ongkos pesawat, hotel, dan akomodasi lainnya), sponsor luar negeri bersedia menanggungnya karena masih terkait dengan riset yang dulu didanainya. Urusan administrasinya tidak bertele-tele, cepat, dan membuat peneliti merasa nyaman.
Evaluasi proposal dari hibah luar negeri sepanjang pengalaman penulis biasanya bersifat desk evaluation, artinya penilai (reviewer) yang berada di Belanda dan Swiss hanya melihat draf proposal riset yang dikirim melalui email. Penilai bisa langsung menolak kalau proposal dianggap tidak bermutu, atau menerima dengan perbaikan sesuai usulan perbaikan dari tim reviewer. Sistem penilaian ini saya anggap lebih sederhana dibandingkan yang selama ini dilakukan Ditjen Dikti. Evaluasi di Ditjen Dikti bersifat desk evaluation (sama) dan ditambah dengan kewajiban presentasi proposal untuk kemudian dilakukan tanya jawab antara penilai dengan dosen yang menulis proposal. Ironisnya, anggota tim reviewer-nya terkadang harus menelaah puluhan proposal dari dosen-dosen se-Indonesia dalam waktu beberapa hari saja, yang saya anggap terlalu singkat, sehingga saran perbaikan yang muncul tidak optimal.
Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya. Publikasi ilmiah harus didasarkan pada hasil-hasil penelitian. Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti ITB, UGM, IPB, Unpad di tingkat dunia belum cukup membanggakan. Mungkin hanya UI yang bisa menembus world class university. Saat ini peneliti/dosen di Indonesia yang mendapatkan hibah riset dari dalam negeri justru disibukkan oleh laporan pertanggungjawaban keuangan yang njlimet dan dapat menyurutkan semangat untuk meneliti. Tidak jarang kegiatan penelitian belum tuntas sudah dikejar-kejar deadline penyampaian laporan akhir. Ini wujud manajemen penelitian yang seadanya. Laporan administrasi dianggap lebih penting daripada hasil penelitian.
Kita semua menyadari bahwa dunia riset di perguruan tinggi Indonesia memang masih lemah. Mungkin ada yang berpendapat bahwa penelitian yang dilakukan hanya sekadar untuk membantu kenaikan pangkat. Setelah laporan riset dijilid dan disimpan di perpustakaan, dosen sudah memperoleh kum (angka kredit).
Dosen-dosen di perguruan tinggi harus lebih proaktif berdiversifikasi menjaring dana penelitian dari berbagai sumber, termasuk dari sponsor luar negeri. Terbuka kesempatan bagi dosen-dosen yang kreatif untuk mendapatkan research grants dari mancanegara. Semuanya tergantung kemauan dan kemampuan masing-masing dosen.
Era Jokowi-JK diharapkan mampu menggugah para dosen dan peneliti untuk menghasilkan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) melalui riset. Ditjen Dikti harus mengalokasikan hibah riset per penelitian dengan jumlah dana yang lebih bermakna. Kekuatan riset perguruan tinggi juga didukung keberadaan mahasiswa pascasarjana, khususnya S-3, yang salah satu persyaratan disertasinya adalah adanya unsur kebaruan dalam karya ilmiahnya. Sinergi dosen atau guru besar dengan mahasiswa pascasarjana akan semakin mengukuhkan riset sebagai tulang punggung perkembangan iptek di perguruan tinggi.
Agenda riset di perguruan tinggi harus diimplementasikan oleh semua dosennya. Sesungguhnya bukan hanya kinerja profesor yang harus ditingkatkan, tetapi kinerja seluruh dosen (termasuk yang belum guru besar) agar mereka semua mau berkomitmen membangun kampus melalui kegiatan penelitian. Visi-misi sebagian perguruan tinggi di Indonesia untuk menjadi universitas unggul di Asia Tenggara atau bahkan di dunia, atau keinginan agar universitas kita membumi dan mendunia, bisa-bisa hanya mimpi kalau roadmap riset tidak digarap dengan serius. Jalan menuju research university masih panjang. Tanpa komitmen dari dosen untuk selalu hadir di kampus dan melakukan penelitian, maka mustahil perguruan tinggi di Indonesia mampu bersaing dengan perguruan tinggi di belahan dunia lainnya.
Yang jelas, dulu profesor banyak yang menderita karena gajinya hanya Rp5 juta per bulan, tetapi di era pemerintahan SBY jabatan profesor diberi apresiasi, yaitu tunjangan guru besar senilai dua kali gaji pokok ditambah tunjangan sertifikasi yang juga diterima dosen-dosen nonguru besar sebesar satu kali gaji pokok. Saat ini banyak profesor yang sudah bisa bernapas lega, tidak lagi dikejar-kejar kebutuhan hidup.
Profesor atau guru besar mempunyai tugas utama mendidik mahasiswa. Saking pentingnya darma pendidikan ini, seorang dosen apalagi profesor diharapkan tidak pernah absen dalam mengajar. Kalau toh sampai tidak hadir di kelas, maka dia harus mencari hari lain sebagai gantinya. Urutan kedua yang menjadi tugas profesor adalah melakukan darma penelitian. Kinerja guru besar dapat diukur dari publikasinya di berbagai jurnal ilmiah nasional maupun internasional. Publikasi ini tentunya berdasarkan hasil riset yang bersangkutan. Tugas ketiga adalah pengabdian pada masyarakat, yang sering hanya menjadi pelengkap, namun tetap harus ada dan dilakukan. Ketiga tugas ini disebut tridarma perguruan tinggi.
Tulisan ini akan memfokuskan pada riset yang memang lebih banyak disorot untuk mengukur kinerja profesor. Kegiatan riset menjadi kurang menantang kalau dana riset terbatas. Dana penelitian dari Ditjen Dikti yang sebagian besar “hanya” Rp100 juta atau Rp150 juta per judul riset ibarat hanya menggoyang-goyang peneliti untuk melakukan riset, tetapi tidak peduli kualitas riset seperti apa yang dihasilkan. Kualitas riset akan sangat ditentukan oleh besarnya dana penelitian. Menurut saya, sebuah riset yang bagus rata-rata memerlukan dana sekitar Rp300 juta.
Penulis sejak 2005 dan secara berkesinambungan tiap 1-2 tahun mendapatkan dana hibah penelitian (research grants) dari luar negeri, misalnya dari Neys-van Hoogstraten Foundation, Belanda; juga dari the Nestle Foundation, Swiss. Dalam hibah ini penulis sebagai seorang guru besar juga melibatkan dosen-dosen muda baik yang masih bergelar S-2 maupun S-3. Ini merupakan bentuk pembinaan staf muda agar mereka mampu berkompetisi dengan peneliti dan dosen luar negeri untuk mendapatkan hibah penelitian. Besar dana yang dapat diraih adalah USD25.000 - 70.000 per judul penelitian, suatu jumlah yang signifikan untuk menghasilkan karya penelitian yang berkualitas.
Ketika hasil riset tersebut akan dipublikasikan di jurnal internasional, sebagian pengelola jurnal mengenakan publication fee yang besarnya USD300-600. Untungnya, sponsor riset dari luar negeri mau menanggung fee tersebut sehingga peneliti tidak terbebani dengan biaya publikasi yang cukup mahal untuk ukuran kantong dosen Indonesia. Bahkan bila hasil penelitian akan diseminarkan dalam forum internasional yang biayanya bisa mencapai Rp20 juta (termasuk ongkos pesawat, hotel, dan akomodasi lainnya), sponsor luar negeri bersedia menanggungnya karena masih terkait dengan riset yang dulu didanainya. Urusan administrasinya tidak bertele-tele, cepat, dan membuat peneliti merasa nyaman.
Evaluasi proposal dari hibah luar negeri sepanjang pengalaman penulis biasanya bersifat desk evaluation, artinya penilai (reviewer) yang berada di Belanda dan Swiss hanya melihat draf proposal riset yang dikirim melalui email. Penilai bisa langsung menolak kalau proposal dianggap tidak bermutu, atau menerima dengan perbaikan sesuai usulan perbaikan dari tim reviewer. Sistem penilaian ini saya anggap lebih sederhana dibandingkan yang selama ini dilakukan Ditjen Dikti. Evaluasi di Ditjen Dikti bersifat desk evaluation (sama) dan ditambah dengan kewajiban presentasi proposal untuk kemudian dilakukan tanya jawab antara penilai dengan dosen yang menulis proposal. Ironisnya, anggota tim reviewer-nya terkadang harus menelaah puluhan proposal dari dosen-dosen se-Indonesia dalam waktu beberapa hari saja, yang saya anggap terlalu singkat, sehingga saran perbaikan yang muncul tidak optimal.
Salah satu indikator universitas bermutu adalah publikasi ilmiah para dosennya. Publikasi ilmiah harus didasarkan pada hasil-hasil penelitian. Peringkat perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti ITB, UGM, IPB, Unpad di tingkat dunia belum cukup membanggakan. Mungkin hanya UI yang bisa menembus world class university. Saat ini peneliti/dosen di Indonesia yang mendapatkan hibah riset dari dalam negeri justru disibukkan oleh laporan pertanggungjawaban keuangan yang njlimet dan dapat menyurutkan semangat untuk meneliti. Tidak jarang kegiatan penelitian belum tuntas sudah dikejar-kejar deadline penyampaian laporan akhir. Ini wujud manajemen penelitian yang seadanya. Laporan administrasi dianggap lebih penting daripada hasil penelitian.
Kita semua menyadari bahwa dunia riset di perguruan tinggi Indonesia memang masih lemah. Mungkin ada yang berpendapat bahwa penelitian yang dilakukan hanya sekadar untuk membantu kenaikan pangkat. Setelah laporan riset dijilid dan disimpan di perpustakaan, dosen sudah memperoleh kum (angka kredit).
Dosen-dosen di perguruan tinggi harus lebih proaktif berdiversifikasi menjaring dana penelitian dari berbagai sumber, termasuk dari sponsor luar negeri. Terbuka kesempatan bagi dosen-dosen yang kreatif untuk mendapatkan research grants dari mancanegara. Semuanya tergantung kemauan dan kemampuan masing-masing dosen.
Era Jokowi-JK diharapkan mampu menggugah para dosen dan peneliti untuk menghasilkan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) melalui riset. Ditjen Dikti harus mengalokasikan hibah riset per penelitian dengan jumlah dana yang lebih bermakna. Kekuatan riset perguruan tinggi juga didukung keberadaan mahasiswa pascasarjana, khususnya S-3, yang salah satu persyaratan disertasinya adalah adanya unsur kebaruan dalam karya ilmiahnya. Sinergi dosen atau guru besar dengan mahasiswa pascasarjana akan semakin mengukuhkan riset sebagai tulang punggung perkembangan iptek di perguruan tinggi.
Agenda riset di perguruan tinggi harus diimplementasikan oleh semua dosennya. Sesungguhnya bukan hanya kinerja profesor yang harus ditingkatkan, tetapi kinerja seluruh dosen (termasuk yang belum guru besar) agar mereka semua mau berkomitmen membangun kampus melalui kegiatan penelitian. Visi-misi sebagian perguruan tinggi di Indonesia untuk menjadi universitas unggul di Asia Tenggara atau bahkan di dunia, atau keinginan agar universitas kita membumi dan mendunia, bisa-bisa hanya mimpi kalau roadmap riset tidak digarap dengan serius. Jalan menuju research university masih panjang. Tanpa komitmen dari dosen untuk selalu hadir di kampus dan melakukan penelitian, maka mustahil perguruan tinggi di Indonesia mampu bersaing dengan perguruan tinggi di belahan dunia lainnya.
()