Jurnalisme Positif & Kearifan Lokal

Jum'at, 20 November 2015 - 08:09 WIB
Jurnalisme Positif & Kearifan Lokal
Jurnalisme Positif & Kearifan Lokal
A A A
KETIKA menuliskan judul di atas, penulis teringat dengan beberapa kejadian belakangan ini yang terkait dengan kekerasan terhadap jurnalis. Kekerasan yang terjadi bisa berasal dari penguasa, kelompok tertentu, dan masyarakat itu sendiri. Berdasarkan catatan LBH Pers dan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, sepanjang 2014 sampai pertengahan 2015 telah terjadi 37 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Dari 37 kasus itu, 11 di antaranya dilakukan polisi, enam kasus dilakukan orang tak dikenal, empat kasus dilakukan petugas keamanan, empat kasus dilakukan massa, dan lainnya pelakunya dari berbagai macam profesi.

Kebebasan pers yang ada saat ini rawan terhadap berbagai gangguan, sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Gangguan, menurut penulis, ada dua bagian. Pertama adalah gangguan kebebasan pers dari pihak-pihak yang tidak suka dengan kebebasan pers itu sendiri, dan yang kedua adalah penyalahgunaan kebebasan pers itu sendiri, dalam konteks ini harus juga diakui ada sebagian dari insan pers yang memanfaatkan kebebasan pers bertentangan dengan fungsi dan peranan yang ada.

Terlepas dari itu, mafhum kiranya penilaian bahwa kebebasan pers dewasa ini, bisa digambarkan sebagai euforia kebebasan yang nyaris tanpa batas. Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengedepankan jurnalisme positif dalam kehidupan jurnalisme Indonesia.

Jurnalisme Positif dan Kearifan Lokal

Jurnalisme positif sendiri sebenarnya tidak dikenal dalam kamus jurnalisme yang ada. Disebabkan jurnalisme itu sendiri seharusnya sudah menyuguhkan hal yang positif, karena di dalamnya sudah baku apa yang dikenal dalam 5W1H. Rumus baku seperti ini ditambah dengan Kode Etik Jurnalistik dan P3 SPS (bagi jurnalis televisi) seharusnya sudah menjadi formula yang baku.

Meski demikian, jurnalisme positif di sini bisa saja diartikan ketika para editor dan reporter membuat pilihan tentang cerita yang ingin dilaporkan yang menciptakan kesempatan bagi khalayak ramai untuk mempertimbangkan hal-hal yang positif bagi perilaku personal dan interaksi antara mereka. Definisi ini memberikan pengertian bahwa β€œwhat”dan β€œhow” tidaklah semata-mata permasalahan teknik jurnalistik, tetapi juga menyangkut nilai yang dipegang oleh para jurnalis.

Jika dikaitkan dengan kearifan lokal (local wisdom), menjadi sangat menarik membicarakan kebebasan pers dalam konteks kearifan lokal. Dalam konteks demokrasi saat ini, kearifan lokal dalam sebuah masyarakat sepatutnya turut dimengerti dan dipahami, sehingga tidak terjadi persinggungan yang berakibat kepada konflik horizontal. Dengan adanya dinamika media saat ini yang sangat dinamis, informasi yang cepat menjadikan masyarakat saat ini overload information.

Persaingan bisnis media yang semakin marak, dan demi mengejar deadline media, jurnalis mengorbankan etika yang seharusnya menjadi kitab dasar para jurnalis dalam bekerja. Selain itu, jurnalis tidak boleh melupakan apa yang dimaksud dengan kearifan lokal dalam konteks ini. Etika pers yang harus dihormati dan kearifan lokal yang menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa bisa membuat pers objektif, sehingga produk yang dihasilkan bukan merupakan konten yang berkualitas, bukan konten yang sensasional hanya mengejar share/ratting, oplah dan viewer belaka.

Share/rating dalam khasanah layar kaca adalah dewa. Seakan meminggirkan semua aspek etika dan juga apa yang boleh dan tidak dalam keyakinan masyarakat, serentetan aksi kekerasan dan teror gelayaran dan ditujukan kepada media.

Mungkin kita masih ingat pada tahun 2006 tepatnya 12 April 2006, sekelompok orang yang tergabung dalam Front Pembela Islam menyerang dan merusak kantor majalah Playboy Indonesia. Mereka geram dan marah, dikarenakan keberadaan majalah yang identik dengan pornografi asal Negeri Paman Sam itu tidak sesuai dengan etika dan budaya di Indonesia. Meski tidak menampilkan gambar porno, berbagai ormas Islam dan perkumpulan masyarakat langsung melancarkan protes. Umumnya mereka menilai majalah itu mengandung unsur pornografi yang merusak moral bangsa.

Persoalan etika pers dalam kasus ini menjadi rumit, karena budaya berlainan mendefinisikan standar etis dan kebebasan secara berlainan pula. Penilaian atas pemberitaan, baik cetak maupun elektronik tidak bersifat universal, tetapi bergantung pada budaya (culture-bound) dan terikat pada konteks waktu.

Jika dilihat dari konteks Indonesia, penulis menilai ada persinggungan antara sistem pers Indonesia saat ini dengan budaya masyarakat, dan etika yang ada. Masing-masing etika punya penawaran yang berbeda- beda, mulai dari etika yang bersifat pribadi, etika situasional, etika utilitarian (untuk kebahagiaan sebanyak-banyaknya orang), hingga etika religius yang ketat yang diwahyukan (Johannesen:1990). Untuk kasus di atas, persinggungan itu menjadi sangat terlihat.

Sementara itu, kerja-kerja jurnalistik sepatutnya juga dipahami dan dimengerti oleh masyarakat. Sebagai pilar keempat demokrasi, peran pers dewasa ini menjadi sangat signifikan. Tentunya harus dilandasi dengan etika profesi yang semuanya bisa mengarah kepada jurnalisme positif yang dimaksud dalam tulisan ini.

Berkaca pada banyak kejadian dan ulasan di atas, dalam Konferensi Jurnalis TV Asia-Pasifik ke-3 di Palembang, Sumatera Utara, 19 hingga 21 November mendatang, hendaknya bisa dijadikan acuan terkait kebebasan jurnalistik yang merupakan hak dan berkah harus dimanfaatkan bagi kemajuan bangsa dan menjaga perdamaian bangsa-bangsa, dengan mengedepankan jurnalisme positif dan sepenuhnya menentang segala bentuk penunggangan kepentingan politik, ekonomi dan industri, sehingga kekerasan dalam bentuk apapun yang dialami oleh jurnalis tidak terulang kembali.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5570 seconds (0.1#10.140)