Sistem Logistik Lemah
A
A
A
SALAH satu sumbatan daya saing produk dalam negeri terletak pada Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang belum memadai bagi pengusaha dalam menjalankan aktivitas bisnis. Persoalan Sislognas begitu kompleks yang disebabkan berbagai faktor, mulai dari keragaman komoditas, luas wilayah, kondisi geografis, hingga penyediaan infrastruktur yang terbatas.
Dengan segala kompleksitas tersebut, tercermin pada ketersediaan barang yang tidak memadai, fluktuasi dan disparitas harga antarwilayah untuk sejumlah komoditas pokok di Indonesia. Adapun implementasi dari blue print pengembangan Sislognas belum menunjukkan perkembangan sebagaimana yang diharapkan.
Untuk mendongkrak daya saing produk dalam negeri, peran Sislognas yang efektif dan efisien tak bisa ditawar lagi. Sebagai negara kepulauan yang luas, tantangan pemerintah adalah membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang dibarengi dengan penguatan sistem logistik yang dapat menjalin konektivitas di antara pusat-pusat ekonomi yang ada.
Memang, sejak era pemerintahan Orde Baru pembangunan kawasan ekonomi terpadu bukanlah berita, hampir setiap kawasan yang dianggap memiliki nilai strategis telah lahir kawasan ekonomi yang diharapkan bisa memutar roda perekonomian setempat. Tetapi, faktanya sebagian besar hanya tinggal nama. Mengapa? Persoalannya, tidak didukung oleh sistem logistik yang efektif dan efisien.
Sejak enam tahun lalu persoalan yang membelenggu Sislognas sudah dibedah tuntas. Setidaknya terungkap tujuh masalah dasar yang harus mendapat perhatian serius. Pertama, masalah komoditas yang belum ada komitmen secara nasional untuk dikembangkan. Kedua, persoalan infrastruktur terutama menyangkut pengelolaan bandara dan pelabuhan yang memiliki standar baku.
Ketiga, pelaku dan penyedia jasa logistik yang masih mempunyai daya saing rendah. Keempat, dari sisi sumber daya manusia juga terkendala karena kompetensi yang rendah. Hal itu terjadi karena keberadaan lembaga pendidikan dan pelatihan bidang logistik masih minim.
Kelima, terkait penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang masih sederhana. Keenam , masalah regulasi yang masih bersifat parsial. Ketujuh, perlunya kelembagaan yang kuat untuk memayungi Sislognas.
Apa akibat dari Sislognas yang tidak efisien dan efektif? Pihak Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengklaim biaya logistik di Indonesia termasuk sangat tinggi dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Data tahun lalu menunjukkan biaya logistik berada pada kisaran 24% hingga 27% dari harga produk, bandingkan dengan sejumlah negara tetangga dengan biaya logistik hanya berkontribusi sebesar 10% dari harga produk.
Soal biaya logistik yang tinggi di negeri ini tidak ditampik oleh Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution. Secara gamblang mantan petinggi Bank Indonesia (BI) itu bahkan mengakui Indonesia jauh tertinggal urusan logistik dibandingkan Vietnam, apalagi dengan Malaysia. Darmin bertekad meski tertinggal jauh dari sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, urusan pembenahan Sislognas tidak ada istilah terlambat.
Salah satu upaya pemerintah selain membenahi sejumlah kawasan ekonomi, juga fokus pada urusan infrastruktur terutama berkaitan dengan perbaikan dan pembangunan pelabuhan laut dan udara.
Meski persoalan Sislognas begitu kompleks dan butuh perhatian khusus mengurai masalahnya, masih terdapat optimisme di kalangan para pelaku bisnis yang bergerak di sektor logistik. Setidaknya pertumbuhan pasar logistik di dalam negeri masih memberi harapan yang besar.
Berdasarkan prediksi dari ALFI pertumbuhan pangsa pasar sektor logistik bakal menembus sebesar Rp1.700 triliun hingga akhir tahun ini. Sebelumnya pangsa pasar logistik hanya berada di level Rp1.400 triliun.
Walau demikian, perasaan ”panas dingin” di kalangan pelaku bisnis di sektor logistik tak bisa disembunyikan mengingat akhir bulan depan mulai diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam kondisi Sislognas yang masih memprihatinkan tentu ini persoalan besar bagi Indonesia mengahadapi era liberalisasi ekonomi di lingkungan negeri serumpun.
Dengan segala kompleksitas tersebut, tercermin pada ketersediaan barang yang tidak memadai, fluktuasi dan disparitas harga antarwilayah untuk sejumlah komoditas pokok di Indonesia. Adapun implementasi dari blue print pengembangan Sislognas belum menunjukkan perkembangan sebagaimana yang diharapkan.
Untuk mendongkrak daya saing produk dalam negeri, peran Sislognas yang efektif dan efisien tak bisa ditawar lagi. Sebagai negara kepulauan yang luas, tantangan pemerintah adalah membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang dibarengi dengan penguatan sistem logistik yang dapat menjalin konektivitas di antara pusat-pusat ekonomi yang ada.
Memang, sejak era pemerintahan Orde Baru pembangunan kawasan ekonomi terpadu bukanlah berita, hampir setiap kawasan yang dianggap memiliki nilai strategis telah lahir kawasan ekonomi yang diharapkan bisa memutar roda perekonomian setempat. Tetapi, faktanya sebagian besar hanya tinggal nama. Mengapa? Persoalannya, tidak didukung oleh sistem logistik yang efektif dan efisien.
Sejak enam tahun lalu persoalan yang membelenggu Sislognas sudah dibedah tuntas. Setidaknya terungkap tujuh masalah dasar yang harus mendapat perhatian serius. Pertama, masalah komoditas yang belum ada komitmen secara nasional untuk dikembangkan. Kedua, persoalan infrastruktur terutama menyangkut pengelolaan bandara dan pelabuhan yang memiliki standar baku.
Ketiga, pelaku dan penyedia jasa logistik yang masih mempunyai daya saing rendah. Keempat, dari sisi sumber daya manusia juga terkendala karena kompetensi yang rendah. Hal itu terjadi karena keberadaan lembaga pendidikan dan pelatihan bidang logistik masih minim.
Kelima, terkait penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang masih sederhana. Keenam , masalah regulasi yang masih bersifat parsial. Ketujuh, perlunya kelembagaan yang kuat untuk memayungi Sislognas.
Apa akibat dari Sislognas yang tidak efisien dan efektif? Pihak Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mengklaim biaya logistik di Indonesia termasuk sangat tinggi dibandingkan sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara. Data tahun lalu menunjukkan biaya logistik berada pada kisaran 24% hingga 27% dari harga produk, bandingkan dengan sejumlah negara tetangga dengan biaya logistik hanya berkontribusi sebesar 10% dari harga produk.
Soal biaya logistik yang tinggi di negeri ini tidak ditampik oleh Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution. Secara gamblang mantan petinggi Bank Indonesia (BI) itu bahkan mengakui Indonesia jauh tertinggal urusan logistik dibandingkan Vietnam, apalagi dengan Malaysia. Darmin bertekad meski tertinggal jauh dari sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, urusan pembenahan Sislognas tidak ada istilah terlambat.
Salah satu upaya pemerintah selain membenahi sejumlah kawasan ekonomi, juga fokus pada urusan infrastruktur terutama berkaitan dengan perbaikan dan pembangunan pelabuhan laut dan udara.
Meski persoalan Sislognas begitu kompleks dan butuh perhatian khusus mengurai masalahnya, masih terdapat optimisme di kalangan para pelaku bisnis yang bergerak di sektor logistik. Setidaknya pertumbuhan pasar logistik di dalam negeri masih memberi harapan yang besar.
Berdasarkan prediksi dari ALFI pertumbuhan pangsa pasar sektor logistik bakal menembus sebesar Rp1.700 triliun hingga akhir tahun ini. Sebelumnya pangsa pasar logistik hanya berada di level Rp1.400 triliun.
Walau demikian, perasaan ”panas dingin” di kalangan pelaku bisnis di sektor logistik tak bisa disembunyikan mengingat akhir bulan depan mulai diberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Dalam kondisi Sislognas yang masih memprihatinkan tentu ini persoalan besar bagi Indonesia mengahadapi era liberalisasi ekonomi di lingkungan negeri serumpun.
(hyk)