Simalakama Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Kamis, 12 November 2015 - 07:25 WIB
Simalakama Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Simalakama Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
A A A
PROYEK kereta api cepat Jakarta- Bandung hingga saat ini masih menjadi topik yang hangat dan menarik untuk dicermati. Presiden Jokowi secara tegas menolak menyediakan dana jaminan dalam bentuk apa pun yang berasal dari kas negara untuk membantu pembangunan proyek tersebut. Pembangunan proyek ini diserahkan ke badan usaha milik negara dengan instruksi tegas agar analisisnya menggunakan konsep business to business (B to B).

Sebagai tindak lanjut, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Perpres ini langsung ditanggapi oleh menteri badan usaha milik negara dengan melanjutkan proyek dan menggandeng beberapa BUMN seperti PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, PT Kereta Api Indonesia, dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Empat BUMN tersebut membentuk satu badan usaha bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dengan PT Wijaya Karya Tbk sebagai pemimpinnya.

Selanjutnya PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan China Railway International Co Ltd membentuk perusahaan baru dengan nama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIK). Kepemilikan dari KCIK adalah 60% oleh PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia dan 40% oleh China Railway International Co Ltd.

Total nilai proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung sebesar USD5.5 miliar. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp13.600/USD, diperoleh nilai Rp74,8 triliun rupiah. Sebesar 75% dari biaya ini adalah pinjaman dari Bank Pembangunan China (CDB). Sisanya sebesar 25% (Rp18,7 triliun) harus disediakan oleh PT Kereta Cepat Indonesia China. Dengan porsi sebesar 60%, kewajiban dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia adalah menyetor sebesar Rp11,2 triliun. Jika dihitung per BUMN anggota konsorsium, PT Wijaya Karya Tbk mempunyai kewajiban sebesar Rp4,263 triliun (38%), PT Jasa Marga Tbk sebesar Rp1,346 triliun (12%), PT Kereta Api Indonesia sebesar Rp2,805 triliun (25%), dan PT Perkebunan Nusantara VIII sebesar Rp2,805 triliun (25%).

***

Mengenai perlu dan tidak kereta cepat Jakarta-Bandung sudah menjadi perdebatan publik selama beberapa bulan belakangan ini. Meneg BUMN bersikukuh untuk merealisasikan proyek kereta cepat ini dengan alasan pemerintah ingin membangun perekonomian di daerah sekitar jalur tersebut. Secara khusus Menteri Rini menunjuk lahan seluas sekitar 3000 hektare (ha) milik PT Perkebunan Nusantara VIII di kawasan wisata Agro Gunung Mas Bogor akan berubah dari kebun teh menjadi sentra ekonomi baru.

Tulisan ini lebih menyoroti partisipasi dari dua BUMN yang sudah go public yaitu PT Wijaya Karya Tbk dan PT Jasa Marga Tbk dalam proyek kereta cepat. Sebagai perusahaan publik, tanggung jawab dua perusahaan ini tidak saja terhadap pemerintah sebagai pemegang saham utama, tapi juga kepada investor publik, di pasar modal disebut sebagai pemegang saham minoritas. Bagi investor minoritas kenaikan harga saham dan deviden menjadi tolok ukur utama dalam pertimbangan investasi mereka.

Kita tentu masih mengingat betul saat Pemda DKI Jakarta yang saat itu masih dipimpin oleh Pak Jokowi berhitung secara cermat dan teliti atas aspek finansial dari proyek MRT. Hitungan finansial menyatakan bahwa harga tiket MRT menjadi sangat mahal jika hitungan investasinya B to B. Perlu ada subsidi dari Pemda DKI Jakarta agar masyarakat mampu membeli tiket. Ini menandakan bahwa jika murni dengan perhitungan bisnis, proyek MRT menjadi tidak feasible alias merugi. Kerugian ini menjadi beban pemerintah daerah dan pusat dengan argumen bahwa tingkat kemacetan di Jakarta sudah sangat parah. Untuk urusan MRT ini, penulis setuju akan keputusan Pemda DKI Jakarta.

Kita juga tentu masih ingat akan proyek monorel di Jakarta yang sampai saat ini tidak jelas penyelesaiannya. Penulis yakin bahwa mangkraknya proyek ini didasari kenyataan bahwa secara bisnis proyek ini tidak feasible, kecuali ada dukungan subsidi dari pemerintah.

Untuk urusan kereta cepat Jakarta-Bandung, hampir tidak ada analisis yang menggunakan angka-angka finansial sebagai ukurannya. Tidak ada juga dokumen yang bisa diakses oleh publik terkait proyeksi neraca, arus kas dan laba rugi dari PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pemilik proyek tersebut. Memang tidak ada kewajiban kepada publik. Namun, perlu dicatat bahwa ada BUMN publik yang terlibat. Sebelum membentuk PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, PT Wijaya Karya Tbk dan PT Jasa Marga Tbk harus mengadakan rapat umum pemegang saham untuk meminta persetujuan pemegang saham. Tentunya investor publik harus teryakinkan bahwa rencana ini memberi nilai tambah pada saham yang mereka miliki. Jika ternyata dalam proyeksinya ditemukan adanya potensi kerugian, sudah pada tempatnya jika penyertaan yang akan dilakukan tidak disetujui.

***

Berpedoman pada perhitungan finansial saat pembahasan proyek MRT Jakarta dan mangkraknya proyek monorel, patut diduga bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung secara finansial adalah proyek yang tidak menguntungkan. Keuntungan berupa terciptanya sentra ekonomi baru tidak bisa ditransfer menjadi laba dari PT Kereta Cepat Indonesia China. Jika terus merugi dan akhirnya tidak dapat mengembalikan utang, tentu ada tindakan dari pemberi utang yang ingin mengamankan investasi mereka.

Pembahasan mengenai tindakan yang akan dilakukan dapat menjadi panjang dengan berbagai opsi. Apa pun opsinya pasti akan berimbas kepada dua BUMN publik yang menjadi kakek pendiri dari PT Kereta Cepat Indonesia China. Jika hal ini terjadi, investor publik akan terkena getahnya. Belum lagi jika nanti harus diadakan penambahan modal. Pemerintah pun harus menanggung beban penambahan modal tersebut.

Jika demikian, perlu dilihat kembali pernyataan Presiden Jokowi yang dengan tegas menolak penjaminan oleh negara dalam bentuk apa pun. Memang benar pemerintah tidak menjamin proyek kereta cepat ini. Tapi, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di PT Wijaya Karya Tbk dan PT Jasa Marga Tbk harus menjamin kelangsungan usaha dua perusahaan ini. Termasuk jika dua BUMN ini merugi akibat penyertaan mereka di PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia.

Sebelum semuanya menjadi terlambat, marilah kita dengan sangat cermat berhitung mengenai untung-rugi dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Jika dasarnya adalah angka-angka yang dihasilkan hitungan secara finansial murni, rasanya hampir pasti proyek ini tidak feasible. Jika dimasukkan hitungan yang terkait pengembangan sentra ekonomi baru, harus dibuat sedemikian rupa agar pesan Presiden Jokowi tentang konsep B to B benar-benar terimplementasi. Kalaupun pilihannya adalah terus melaksanakan, adalah sangat bijaksana bila PT Wijaya Karya Tbk dan PT Jasa Marga Tbk tidak dilibatkan sebagai pemberi penyertaan modal.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4309 seconds (0.1#10.140)