Bela Negara atau Memberdayakan Pemuda?

Rabu, 11 November 2015 - 07:55 WIB
Bela Negara atau Memberdayakan...
Bela Negara atau Memberdayakan Pemuda?
A A A
WACANA bela negara menjadi topik yang hangat dalam beberapa minggu belakangan. Publik menangkap bela negara sebagai mobilisasi warga negara untuk diberi pelatihan militer dan kemudian dijadikan komponen cadangan untuk pertahanan nasional. Walaupun kemudian pihak Kementerian Pertahanan menegaskan bahwa garis besar dari konsep bela negara ini adalah upaya menumbuhkan dan memantapkan kesadaran berbangsa terhadap berbagai ancaman multidimensi. Lewat beragam tingkat pelatihan diharapkan akan lahir seratus juta kader pembina, kader bela negara ataupun kader muda bela negara. Sebagaimana gagasan baik lainnya dalam rangka mewujudkan Revolusi Mental, tentu hal ini kita sambut baik. Pertanyaan yang muncul hanyalah, seberapa efektif program ini? Adakah program ini akan menciptakan pemuda yang berdaya atau justru hanya bergaya?

Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar 1945, telah mengamanatkan bahwa persoalan bela negara adalah hak dan kewajiban warga negara. Revolusi kemerdekaan kita telah memberi pelajaran penting bagaimana aplikasi sesungguhnya dari konsep bela negara ini. TB Simatupang dalam catatan perjuangannya ”Laporan Dari Banaran” melukiskan hubungan TNI dengan rakyat seperti ikan di dalam air: TNI menjadi ikan, rakyat yang menjadi airnya. Gagasan kebangsaan dan cinta Tanah Air seluruh rakyat Indonesia pada masa itu tumbuh secara organik sebab setiap orang merasa jadi pemilik dari republik ini. Suatu hal yang pantas mereka perjuangkan atas nama apa pun. Semangat kebangsaan dan cinta Tanah Air itu tidak tumbuh dengan instan. Perlu proses perjuangan politik dan kesadaran nasional yang panjang.

Dimulai sejak masa Indische Partij pada 1912 diikuti kemudian dengan era Sarekat Islam hingga perjuangan politik mencapai puncaknya di bawah pimpinan Soekarno dan Mohammad Hatta. Tentu kita pantas mengajukan pertanyaan berikutnya, bisakah program selama sebulan, dua minggu, atau satu minggu mampu menggugah kesadaran yang sama?

***

Para pemuda tentu saja menjadi sasaran utama dari program bela negara ini. Gemuknya populasi Indonesia pada usia produktif ini tidak saja memberikan bonus demografi untuk kita, tetapi juga memunculkan tantangan untuk memaksimalkan potensi yang ada. Mereka, para pemuda, adalah kelompok paling dinamis dan paling peka terhadap perubahan dibandingkan kelompok usia lainnya. Apalagi di era kecepatan informasi dan nyaris hilangnya batas-batas negara saat ini, mereka juga menjadi kelompok yang paling rentan menghadapi krisis identitas. Upaya menggalang para pemuda lewat program bela negara ini memang bisa jadi salah satu pilihan solusi untuk menghadapi perkembangan dunia saat ini. Tetapi, menurut hemat saya, apabila seluruh energi diarahkan pada pelatihan yang sifatnya temporer tanpa didukung oleh program-program yang bersifat jangka panjang dan mampu memberdayakan mereka, bisa jadi program ini tidak mampu menjawab persoalan yang ada. Sebab, bagaimana bisa para pemuda berdaya membela negara apabila mereka tidak berdaya menghadapi nasibnya sendiri?

Saya tidak memiliki kapasitas untuk menghitung atau menilai berapa besaran anggaran yang harus dikeluarkan untuk program bela negara ini, tetapi tentu butuh anggaran yang tidak sedikit jumlahnya. Kebijakan ini sudah mulai bergulir, kritik saja tentu tidak cukup. Harapan saya, pemerintah masih terbuka untuk menerima saran dan masukan agar program ini tidak berakhir sebagai doktrin dan kata-kata belaka.

Saya menyarankan agar program bela negara ini harus didukung lintas kementerian dan apabila perlu melibatkan pihak swasta. Para pemuda tidak hanya dibekali pemantapan semangat kebangsaan dan kesediaan untuk membela negara, tetapi juga dilengkapi dengan training atau pelatihan yang membuat mereka bisa berguna untuk diri sendiri maupun masyarakat. Kader bela negara ini seharusnya bukan saja para pemuda yang siap membela negara, tetapi memiliki energi lebih untuk bekerja dengan keahlian tertentu dan lebih baik lagi apabila bisa menciptakan kesempatan kerja untuk orang lain.

Pemerintah bisa menyiapkan program lanjutan dengan mengirim pemuda-pemuda ini untuk berkarya di seluruh pelosok Tanah Air. Mereka bisa terlibat dalam proyek-proyek pembangunan daerah, membangun basis-basis industri baru di tingkat UKM, dan dalam jangka panjang ikut terlibat dalam pemberdayaan dan pelatihan masyarakat di sekitarnya. Upaya mengonsolidasikan soft power sebagaimana sering disitir oleh Menteri Pertahanan terkait program bela negara ini seharusnya dilakukan dalam bentuk empowerment dan bukan sekadar doktrin belaka. Kita tentu tidak ingin program bela negara ini hanya akan menghasilkan jagoan-jagoan baru tanpa skill yang keberadaan mereka justru meresahkan masyarakat. Seyogianya alumni program bela negara adalah mereka yang memahami kata-kata dari penyair W S Rendra, perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.

***

Cinta Tanah Air bukanlah sebuah kewajiban, melainkan kesadaran. Saya memiliki keyakinan, potensi ancaman terbesar kita justru berasal dari ketidakberdayaan sosial dan ekonomi. Apabila kerentanan itu tidak bisa kita atasi, musuh dari mana pun akan dengan mudahnya menusuk jantung Republik Indonesia.

Saya senantiasa percaya, pemberdayaan, kemandirian ekonomi, dan kemampuan untuk berwirausaha adalah aspek penting pertahanan nasional. Dinamika perjuangan sosial dan ekonomi senantiasa menumbuhkan semangat cinta Tanah Air. Kerja-kerja kecil yang dilakukan secara terusmenerus oleh banyak orang akan memupuk kesadaran pentingnya mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara. Sebab ”Indonesia” ini bukanlah warisan sempurna, Ibu Pertiwi ini harus terus disempurnakan lewat kerja nyata kita. Bukankah jauh-jauh hari Bung Hatta sudah mengingatkan kita lewat sitiran sajak Rene de Clerq, ”Hanya satu tanah yang disebut tanah airku. Ia tumbuh dari perbuatan. Dan, perbuatan itu adalah perbuatanku”.
(hyk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0767 seconds (0.1#10.140)