Spirit Hari Pahlawan
A
A
A
A HELMY FAISHAL ZAINI
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
BEBERAPA waktu lalu saya terlibat diskusi serius dengan sejarawan NU Ki Ng Agus Sunyoto. Diskusi hangat yang kami selenggarakan secara informal itu berawal dari pernyataan Mas Agus (sapaan karib Agus Sunyoto) soal masifnya usaha untuk menutup-nutupi fakta sejarah tentang meletusnya perang di Surabaya pada 26- 29 Oktober 1945.
Ia dengan sangat meyakinkan mengatakan pada saya bahwa banyak fakta dan dokumen yang mendukung ihwal meletusnya pertempuran selama kurang lebih empat hari itu. Ia melakukan riset sejarah yang cukup intensif dengan melibatkan data faktual sekaligus dokumentasi ihwal renik-renik berlangsungnya peperangan itu.
Dia menjelaskan bahwa sesungguhnya proklamasi kemerdekaan RI itu baru berarti di mata dunia pasca meletusnya peperangan Surabaya itu. Perlawanan rakyat itulah yang kemudian hari dipandang oleh PBB dan dunia internasional bahwa sesungguhnya ”Indonesia” itu ada.
Yang menarik dari apa yang diungkapkan Mas Agus adalah sebuah fakta bahwa meletusnya peperangan 26-29 Oktober di Surabaya itu adalah fakta yang tidak berdiri sendiri. Ia bertaut dan berkelindan dengan sebuah sebab. Meminjam adagium lawas, di mana ada asap tentu di sanalah terdapat api. Sebab paling rasional dari meletusnya semangat perlawanan terhadap penjajahan itu adalah fatwa dari Rais Akbar PBNU kala itu yakni KH Hasyim Asyari yang kemudian hari dikenal dengan Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad adalah asupan energi yang menjadi bahan bakar utama semangat perlawanan yang dikobarkan arek-arek Suroboyo. Tentu saja fatwa itu dibumbui dengan kondisi psikologis masyarakat Surabaya dan sebagian tapal kuda di sepanjang Pulau Jawa yang ekstrovert, terbuka, dan egaliter.
Budaya pesisir adalah budaya keterbukaan, demikian kata Nur Syam (2007). Dengan keterbukaan itu, sangat mungkin kerap terjadi gesekan antara satu dan yang lainnya. Keadaan yang demikian membuat budaya tawuran sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Bisa kita bayangkan, betapa manusia-manusia yang terbiasa dengan budaya terbuka tersebut, yang biasa berkelahi, memiliki beban psikologis dengan memendam rasa kecewa akibat diperlakukan sebagai rakyat nomor dua, diperlakukan tidak adil dan dijajah, tiba-tiba mendapat angin segar bernama fatwa yang merupakan legitimasi agama. Adonan antara kebudayaan terbuka dengan ”stempel” agama berupa fatwa membela Tanah Air atau Resolusi Jihad itulah yang membuat pertempuran Surabaya meletus dengan begitu dahsyatnya.
Seruan Resolusi Jihad ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menggerakkan umat Islam. Pesantren-pesantren dan kantor-kantor NU di tingkat cabang dan ranting dengan cepat menjadi markas laskar Hizbullah yang menghimpun pemuda-pemuda santri yang ingin berjuang penuh semangat meski harus berhadapan dengan kenyataan keterbatasan persenjataan.
Penting untuk dicatat bahwa seruan Resolusi Jihad adalah bahan baku utama atas meletusnya peristiwa 10 November yang terkenal kemudian sebagai Hari Pahlawan itu. Soetomo (Bung Tomo) yang merupakan pemimpin laskar BPRI faktanya memiliki hubungan dekat dengan kalangan umat Islam, termasuk dengan Wahid Hasyim.
Soetomo juga kerap bertandang ke Tebuireng untuk sowan dan meminta restu ke KH Hasyim Asyari. Seruan dan pekikan ”Allahu Akbar” di awal dan akhir orasinya adalah bukti nyata bahwa ia sangat karib dengan kalangan ulama dan santri.
Konseptor Cinta Tanah Air
Dalam diktum pertimbangan Resolusi Jihad disebutkan ”Bahwa untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia menurut agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam”. Diktum pertimbangan ini adalah bukti nyata bahwa betapa ulama-ulama NU kala itu sudah sangat menjiwai konsep hubbul wathonminalIman, cinta Tanah Air adalah bagian dari keimanan.
Konsep cinta Tanah Air ini bukan hal yang sepele. Di tangan ulama-ulama NU, yang terbiasa dan karib dengan tradisi Balaghah, mulai dari konsep sampai penggunaan istilah dilakukan dengan teliti dan seksama. Istilah Tanah Air dipilih, meminjam analisis Said Aqil Siroj (2007), sebab karakter manusia Indonesia adalah karakter tanah dan air. Tanah dan air adalah dua unsur yang jika disatukan ia akan menjelma kekuatan dan kepaduan yang sekaligus mengandung unsur keindahan. Contoh mudahnya adalah kerajinan gerabah. Adonan tanah dan air menjadi sedemikian indah. Di sanalah watak serta karakter manusia Indonesia. Manusia yang secara naluriah diciptakan untuk cenderung bersatu-padu.
Berbeda dengan misalnya konsep yang ditawarkan Arab Saudi. Watak penduduknya sebagaimana watak pasir. Hal ini tidak jauh dari karakter geografis daerahnya yang didominasi oleh sebagian besar padang pasir. Karakter pasir adalah semakin ia digenggam atau disatukan semakin pula ia bercerai-berai dan berantakan. Semakin kitamerekatkan genggaman telapak tangan yang berisi pasir, semakin pula ia akan bercerai berai tak keruan. Faktanya hari ini bisa kita lihat sejarah ”Barat Daya” (Timur Tengah dalam pandangan orang-orang Barat), termasuk Arab Saudi adalah sejarah perceraian dan pertikaian.
Ketepatan memilih konsep dan istilah itu menjadi bagian sangat diperhatikan oleh ulama-ulama NU kala itu. Termasuk tatkala menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah.
Redefinisi Makna
Lepas dari akar sejarah Hari Pahlawan yang dipantik oleh Resolusi Jihad tersebut, saya teringat pada sosok YB Mangunwijaya (1997). Romo Mangun pernah mengatakan bahwa makna pahlawan harus kita perbarui sepanjang waktu.Pahlawan bukan saja mereka yang baku hantam berjuang melawan penjajah. Namun, lebih dari itu, pahlawan adalah siapa saja yang hari ini masih memiliki kecintaan pada negeri ini serta berkomitmen untuk mengisi pembangunan dengan perbuatan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, tanpa memedulikan sekecil apa pun perbuatan itu.
Alakullihal, menjadi pahlawan bukan selalu soal peperangan. Menjadi pahlawan adalah kemauan untuk berbuat dan untuk selalu melakukan usaha-usaha perubahan untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Selamat Hari Pahlawan
Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
BEBERAPA waktu lalu saya terlibat diskusi serius dengan sejarawan NU Ki Ng Agus Sunyoto. Diskusi hangat yang kami selenggarakan secara informal itu berawal dari pernyataan Mas Agus (sapaan karib Agus Sunyoto) soal masifnya usaha untuk menutup-nutupi fakta sejarah tentang meletusnya perang di Surabaya pada 26- 29 Oktober 1945.
Ia dengan sangat meyakinkan mengatakan pada saya bahwa banyak fakta dan dokumen yang mendukung ihwal meletusnya pertempuran selama kurang lebih empat hari itu. Ia melakukan riset sejarah yang cukup intensif dengan melibatkan data faktual sekaligus dokumentasi ihwal renik-renik berlangsungnya peperangan itu.
Dia menjelaskan bahwa sesungguhnya proklamasi kemerdekaan RI itu baru berarti di mata dunia pasca meletusnya peperangan Surabaya itu. Perlawanan rakyat itulah yang kemudian hari dipandang oleh PBB dan dunia internasional bahwa sesungguhnya ”Indonesia” itu ada.
Yang menarik dari apa yang diungkapkan Mas Agus adalah sebuah fakta bahwa meletusnya peperangan 26-29 Oktober di Surabaya itu adalah fakta yang tidak berdiri sendiri. Ia bertaut dan berkelindan dengan sebuah sebab. Meminjam adagium lawas, di mana ada asap tentu di sanalah terdapat api. Sebab paling rasional dari meletusnya semangat perlawanan terhadap penjajahan itu adalah fatwa dari Rais Akbar PBNU kala itu yakni KH Hasyim Asyari yang kemudian hari dikenal dengan Resolusi Jihad.
Resolusi Jihad adalah asupan energi yang menjadi bahan bakar utama semangat perlawanan yang dikobarkan arek-arek Suroboyo. Tentu saja fatwa itu dibumbui dengan kondisi psikologis masyarakat Surabaya dan sebagian tapal kuda di sepanjang Pulau Jawa yang ekstrovert, terbuka, dan egaliter.
Budaya pesisir adalah budaya keterbukaan, demikian kata Nur Syam (2007). Dengan keterbukaan itu, sangat mungkin kerap terjadi gesekan antara satu dan yang lainnya. Keadaan yang demikian membuat budaya tawuran sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Bisa kita bayangkan, betapa manusia-manusia yang terbiasa dengan budaya terbuka tersebut, yang biasa berkelahi, memiliki beban psikologis dengan memendam rasa kecewa akibat diperlakukan sebagai rakyat nomor dua, diperlakukan tidak adil dan dijajah, tiba-tiba mendapat angin segar bernama fatwa yang merupakan legitimasi agama. Adonan antara kebudayaan terbuka dengan ”stempel” agama berupa fatwa membela Tanah Air atau Resolusi Jihad itulah yang membuat pertempuran Surabaya meletus dengan begitu dahsyatnya.
Seruan Resolusi Jihad ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menggerakkan umat Islam. Pesantren-pesantren dan kantor-kantor NU di tingkat cabang dan ranting dengan cepat menjadi markas laskar Hizbullah yang menghimpun pemuda-pemuda santri yang ingin berjuang penuh semangat meski harus berhadapan dengan kenyataan keterbatasan persenjataan.
Penting untuk dicatat bahwa seruan Resolusi Jihad adalah bahan baku utama atas meletusnya peristiwa 10 November yang terkenal kemudian sebagai Hari Pahlawan itu. Soetomo (Bung Tomo) yang merupakan pemimpin laskar BPRI faktanya memiliki hubungan dekat dengan kalangan umat Islam, termasuk dengan Wahid Hasyim.
Soetomo juga kerap bertandang ke Tebuireng untuk sowan dan meminta restu ke KH Hasyim Asyari. Seruan dan pekikan ”Allahu Akbar” di awal dan akhir orasinya adalah bukti nyata bahwa ia sangat karib dengan kalangan ulama dan santri.
Konseptor Cinta Tanah Air
Dalam diktum pertimbangan Resolusi Jihad disebutkan ”Bahwa untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia menurut agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam”. Diktum pertimbangan ini adalah bukti nyata bahwa betapa ulama-ulama NU kala itu sudah sangat menjiwai konsep hubbul wathonminalIman, cinta Tanah Air adalah bagian dari keimanan.
Konsep cinta Tanah Air ini bukan hal yang sepele. Di tangan ulama-ulama NU, yang terbiasa dan karib dengan tradisi Balaghah, mulai dari konsep sampai penggunaan istilah dilakukan dengan teliti dan seksama. Istilah Tanah Air dipilih, meminjam analisis Said Aqil Siroj (2007), sebab karakter manusia Indonesia adalah karakter tanah dan air. Tanah dan air adalah dua unsur yang jika disatukan ia akan menjelma kekuatan dan kepaduan yang sekaligus mengandung unsur keindahan. Contoh mudahnya adalah kerajinan gerabah. Adonan tanah dan air menjadi sedemikian indah. Di sanalah watak serta karakter manusia Indonesia. Manusia yang secara naluriah diciptakan untuk cenderung bersatu-padu.
Berbeda dengan misalnya konsep yang ditawarkan Arab Saudi. Watak penduduknya sebagaimana watak pasir. Hal ini tidak jauh dari karakter geografis daerahnya yang didominasi oleh sebagian besar padang pasir. Karakter pasir adalah semakin ia digenggam atau disatukan semakin pula ia bercerai-berai dan berantakan. Semakin kitamerekatkan genggaman telapak tangan yang berisi pasir, semakin pula ia akan bercerai berai tak keruan. Faktanya hari ini bisa kita lihat sejarah ”Barat Daya” (Timur Tengah dalam pandangan orang-orang Barat), termasuk Arab Saudi adalah sejarah perceraian dan pertikaian.
Ketepatan memilih konsep dan istilah itu menjadi bagian sangat diperhatikan oleh ulama-ulama NU kala itu. Termasuk tatkala menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajah.
Redefinisi Makna
Lepas dari akar sejarah Hari Pahlawan yang dipantik oleh Resolusi Jihad tersebut, saya teringat pada sosok YB Mangunwijaya (1997). Romo Mangun pernah mengatakan bahwa makna pahlawan harus kita perbarui sepanjang waktu.Pahlawan bukan saja mereka yang baku hantam berjuang melawan penjajah. Namun, lebih dari itu, pahlawan adalah siapa saja yang hari ini masih memiliki kecintaan pada negeri ini serta berkomitmen untuk mengisi pembangunan dengan perbuatan yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, tanpa memedulikan sekecil apa pun perbuatan itu.
Alakullihal, menjadi pahlawan bukan selalu soal peperangan. Menjadi pahlawan adalah kemauan untuk berbuat dan untuk selalu melakukan usaha-usaha perubahan untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Selamat Hari Pahlawan
(hyk)