Meruwat Indonesia
A
A
A
Dalam kosmologi Jawa, tradisi ruwatan adalah rangkaian aktivitas kebudayaan untuk membersihkan diri kita dari beban maupun kesalahan di masa silam yang membatasi langkah kita untuk menatap masa depan.Prosesi meruwat adalah tradisi ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk merehabilitasi hidup, baik dalam diri seseorang maupun hubungan antarkelompok dalam sebuah komunitas bersama. Dalam pemahaman akan makna kosmologis dari tradisi ruwatan inilah penting kiranya menghubungkan relevansinya dengan gagasan rekonsiliasi nasional atas peristiwa kekerasan struktural era 1965 yang kita kenang 50 tahun yang lampau.Seperti halnya prosesi meruwat, perjuangan mewujudkan rekonsiliasi nasional dalam konteks kekerasan struktural negara era 1965 didasari pandangan filosofis bahwa manusia hidup di masa lalu, saat ini, dan masa depan. Kemampuan manusia untuk menuliskan kisah masa depannya kerap kali dibatasi oleh konsekuensi dari perbuatannya di masa lalu.Hal ini tak terlepas dari kondisi psikologisnya maupun hubungan interpersonal dan relasi sosialnya dengan yang lain pada masa lalu. Meruwat bertujuan untuk membangun harmoni, yaitu keselarasan antara sukmo (jiwa), kerso (kehendak), dan laku (tindakan). Sementara rekonsiliasi dalam wilayah politik memiliki tiga maksud yang berjalin kelindan.Pertama, mengembalikan posisi sentral nalar publik dalam kehidupan bernegara untuk merawat kebinekaan dan mencegah ancaman despotisme politik. Kedua, menjadi pengingat bagi entitas negara agar tidak melakukan malapraktik kekuasaan yang telah terpola dan berakar pada masa silam. Ketiga, memberikan roh kemerdekaan warga negara dalam menatap masa depan kehidupan berbangsa.Solidaritas dan Nalar PublikSeperti diuraikan filosof perempuan asal Jerman Hannah Arendt (1968) dalam karyanya Men in Dark Times, efek mengerikan dari kekuasaan totalitarian fasisme Nazi di Jerman adalah merajalelanya ketakutan dari setiap warga negara untuk mengekspresikan pandangan dan memperjuangkan hajat hidupnya di ruang publik.Teror, intimidasi, dan propaganda monolitik dari negara membuat tiap orang enggan untuk membicarakan aspirasi maupun kepentingannya di ruang publik, mereka mengungsi ke ruang privat masing-masing. Dalam konteks Indonesia pada masa Orde Baru, stigmatisasi ”PKI” dan ”komunis” dilekatkan pada sebagian orang yang menanggung penistaan bersama keluarga mereka selama lebih dari 32 tahun lamanya.Kekerasan, diskriminasi, dan penistaan terhadap korban yang dilakukan aparatus negara tersebut berjalan dengan mulus karena sebagian besar warga negara lain memilih untuk bersembunyi dalam ruang privat mereka masing-masing, tanpa keberanian untuk membela yang lain dalam ruang publik yang bebas.Dalam suasana politik pasca- otoritarianisme, rekonsiliasi memiliki peran penting untuk membangkitkan solidaritas dari tiap warga negara untuk memperjuangkan martabat dan kemerdekaan baik bagi korban maupun warga pada umumnya. Salah satu problem bernegara dalam konteks Indonesia pasca-otoritarianisme adalah begitu melekatnya mimpi buruk kekerasan 1965 pada berbagai kasus diskriminasi terhadap subjek-subjek manusia Indonesia yang termarginalkan.Stigmatisasi ”komunis” dan ”PKI” sebagai bukan warga negara atau warga negara kelas dua kita saksikan di berbagai peristiwa seperti yang menimpa kaum muslim Syiah dan Ahmadiyah maupun ketika kelompok minoritas lain mempertahankan haknya. Seperti halnya mereka yang diberi cap ”komunis” dan ”PKI” yang sejak era Orde Baru dianggap pantas menerima perlakuan diskriminatif, saat ini pun banyak kelompok identitas tertentu yang dianggap pantas menerima peminggiran oleh negara dan masyarakat tanpa ada pembelaan yang layak.Prosesi meruwat dalam rekonsiliasi politik tidak hanya bertujuan saling memaafkan, tetapi juga membangun kembali keberanian kita menatap pluralitas dalam ruang publik. Solidaritas dan keberanian untuk membela harkat dan kemerdekaan dari ”yang lain”. Rekonsiliasi adalah momen yang mengundang kita untuk keluar dari belenggu ruang privat menuju ruang publik yang mentransformasikan diri kita dari seseorang menjadi warga negara.Merehabilitasi NegaraSeperti halnya dalam prosesi ritual meruwat, proses rekonsiliasi nasional juga mensyaratkan kemauan untuk menyadari kesalahan kita di masa lalu yang diikuti oleh ikrar bersama untuk tidak mengulangi kembali kesalahan yang telah diperbuat. Dalam hubungannya dengan perjalanan sejarah kita, kekerasan struktural, sistemik, dan terpola yang dilakukan negara semenjak tahun 1965 telah menubuh,yaitu negara berulang kali mereplikasi kekerasan terhadap wargan egara dengan pola-pola sejenis pada kasuskasus lain. Seperti pernah diungkapkan aktivis idealis Angkatan 66 yang wafat di usia muda, Soe Hok Gie (2005), dalam Catatan Seorang Demonstran, kekecewaannya terhadap rezim Orde Baru yang ia ikut melahirkannya terjadi ketika proyek-proyek pembangunan dijalankan oleh negara dilakukan tidak saja dengan penggusuran paksa, tetapi juga dengan ancaman dan stigma komunis bagi mereka yang mempertanyakan program pembangunan tersebut.Seperti spiral kekerasan yang terus berlanjut, teror dan pembangunan terus bergulir bahkan tidak berakhir pada era pasca- otoritarianisme. Kasus-kasus penggusuran paksa sampai penganiayaan sadis hingga meninggal dunia yang baru saja dialami seorang petani Salim Kancil di Lumajang karena menolak penambangan pasir di daerahnya adalah contoh telanjang betapa kekerasan, intimidasi, dan pembangunan masih berjalin kelindan di republik kita.Oleh karena itu, proses rekonsiliasi politik yang berangkat dari introspeksi atas kekerasan negara pada era 1965 memiliki makna mendalam yang melampaui peristiwa itu sendiri. Seperti halnya dalam proses meruwat yang bertujuan menyembuhkan kesalahan masa lalu dari orang yang diruwat untuk menatap masa depannya;rekonsiliasi nasional berperan untuk merehabilitasi negara dari penyimpangan peran yang menyejarah, terpola, dan berulang kali ketika negara menggunakan kekerasan terhadap warga untuk mencapai tujuantujuan pembangunannya. Politik rekonsiliasi berperan untuk mengembalikan kehidupan sosial yang lebih manusiawi dari dehumanisasi menuju humanisasi sosial dalam kehidupan interpersonal, relasi sosial, maupun hidup bernegara. Kinilah saatnya kita meruwat Indonesia!Airlangga Pribadi KusmanPengajar Departemen PolitikFISIP Universitas Airlangga,Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
(bhr)