Devisa Hasil Ekspor dan Penguatan Rupiah

Rabu, 07 Oktober 2015 - 12:32 WIB
Devisa Hasil Ekspor...
Devisa Hasil Ekspor dan Penguatan Rupiah
A A A
Pelemahan mata uang rupiah masih terus berlanjut seiring belum pastinya kondisi ekonomi global. Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter juga telah berupaya mencari cara menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.Termasuk mengumumkan strategi barunya sebagai tindak lanjut paket kebijakan ekonomi jilid II yang difokuskan pada tiga pilar kebijakan yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, memperkuat pengelolaan likuiditas rupiah, serta memperkuat pengelolaan penawaran dan permintaan valuta asing (valas). Menjaga stabilitas rupiah dilakukan melalui intervensi di pasar forward untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan di pasar berjangka tersebut.Menurut BI, upaya menjaga keseimbangan pasar forward begitu penting dalam mengurangi tekanan di pasar spot. Sementara pengendalian likuiditas rupiah diperkuat dengan menerbitkan Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) tiga bulan dan Reverse Repo SBN dengan tenor dua minggu.BI yakin penerbitan instrumen itu mampu mendorong penyerapan likuiditas sehingga bergeser ke instrumen yang bertenor lebih panjang dan dapat mengurangi risiko penggunaan likuiditas rupiah yang berlebihan. Pengelolaan penawaran dan permintaan terhadap valas akan diperkuat dengan berbagai kebijakan. Hal ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan penawaran dan mengendalikan permintaan terhadap valas.Khusus untuk pilar ketiga ini, BI menyiapkan lima aksi. Pertama, meningkatkan threshold forward jual yang wajib menggunakan underlying dari semula 1 juta dolar AS menjadi 5 juta dolar AS per transaksi per nasabah dan memperluas cakupan underlying khusus untuk forward jual, termasuk deposito valas di dalam negeri dan luar negeri.Kedua, menerbitkan Surat Berharga Bank Indonesia (SBBI) Valas. Penerbitan tersebut akan mendukung pendalaman pasar keuangan, khususnya pasar valas. Ketiga , menurunkan holding period SBI dari satu bulan menjadi satu minggu untuk menarik aliran masuk modal asing.Keempat, pemberian insentif pengurangan pajak bunga deposito kepada eksportir yang menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di perbankan Indonesia atau mengonversinya ke dalam rupiah. Kelima, meningkatkan transparansi atas penggunaan devisa dengan memperkuat laporan lalu lintas devisa (LLD). Dalam hal ini, pelaku LLD wajib melaporkan penggunaan devisanya dengan melengkapi dokumen pendukung untuk transaksi dengan nilai tertentu.Selama ini BI telah melakukan intervensi rupiah, namun efektivitasnya masih diragukan. Rupiah masih terus tergelincir. BI juga berhati hati dalam menggunakan cadangan devisa untuk mengintervensi pasar valas karena pelemahan rupiah yang terjadi hingga saat ini belum bisa diprediksi kapan berakhir.Bank Indonesia memiliki kewenangan yang sangat terbatas dan instrumennya juga sangat terbatas. Jika dilakukan intervensi pasar, sementara hanya punya 103 miliar dolar AS, dan itu seperti menggarami lautan jika tidak diimbangi dengan kepercayaan terhadap pasar domestik. Pelemahan rupiah yang terjadi memang banyak dipengaruhi faktor eksternal seperti pelemahan ekonomi global.Terlebih pertumbuhan ekonomi global yang sebelumnya diprediksi 3,8% direvisi menjadi 3,6%. Selain itu, China sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia juga mengalami perlambatan. Pada 2015 ini ekonomi China diperkirakan hanya tumbuh 6,4%. Ini pengaruhnya besar bagi kita karena setiap penurunan 1% di China ekonomi kita bisa turun 0,6%.Tidak kalah penting adalah dampak dari ketidakpastian dari The Fed mengenai rencana kenaikan suku bunga sehingga mendorong sentimen negatif bagi depresiasi rupiah. Pada sisi lain aliran modal masuk yang berkurang juga menjadi faktor lain pelemahan rupiah.Data pada Januari— September 2014 dana asing yang masuk mencapai Rp170 triliun, sedangkan dalam periode yang sama tahun ini hanya Rp43 triliun. Cadangan devisa kita juga terus merosot. Cadangan devisa nasional menurun menjadi USD103 miliar hingga akhir September dari total cadangan devisa pada Agustus yang berjumlah USD105,6 miliar.Cadangan devisa ini memang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan saat krisis global pada 1998 yang hanya sebesar USD53 miliar. Semakin besar kegiatan perekonomian, terutama kegiatan ekspor dan impor, memerlukan cadangan devisa yang besar dan pemerintah harus berusaha menambah cadangan devisa untuk memperkuat keuangan negara.Meski cadangan devisa Indonesia mencapai USD103 miliar, hal itu belum memadai di tengah gejolak rupiah terhadap dolar. Indonesia memerlukan pasokan dolar AS yang jauh lebih besar untuk bisa menstabilkan rupiah. Untuk mendatangkan lebih banyak valuta asing, pemerintah memutuskan memangkas pajak devisa hasil ekspor.Dengan pemangkasan itu, para eksportir diharapkan bisa menaruh devisa hasil ekspor di perbankan nasional, bukan di luar negeri. Insentif tersebut diberikan untuk deposito yang disimpan dalam bentuk dolar AS maupun rupiah. Untuk dolar AS, pemerintah saat ini memberlakukan pajak bunga deposito sebesar 20%.Namun, apabila devisa hasil ekspor (DHE) disimpan selama satu bulan dalam deposito berbentuk dolar AS, tarif yang ditetapkan menjadi 10%. Jika tiga bulan, menjadi 7,5%. Sedangkan enam bulan, tarif menjadi 2,5%. Di sisi lain, jika para eksportir menyimpan DHE miliknya dalam bidang rupiah, tarifnya menjadi 7,5%.Apabila menyimpan selama tiga bulan, tarif pajaknya hanya menjadi 5%. Pajak akan dibebaskan untuk eksportir yang menyimpan DHE dalam bentuk rupiah selama enam bulan di perbankan nasional. Kebijakan yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid kedua tersebut sangat penting karena selama ini eksportir sudah melaporkan DHE, tapi kebanyakan tidak disimpan di perbankan Indonesia, namun mampir ke negara lain.Perekonomian kita, di samping memerlukan pasokan dolar atau devisa yang besar, persoalan yang juga penting sekarang ini adalah bagaimana otoritas moneter bisa mengelola cadangan devisa dengan baik dan aman demi mendukung pembiayaan perekonomian nasional.Sesuai dengan konstitusi, Bank Indonesia mengelola cadangan devisa dan dalam pengelolaan cadangan devisa, Bank Indonesia melaksanakan berbagai jenis transaksi devisa. Cadangan devisa tidak hanya penting dari besaran jumlah devisa yang disimpan, tetapi juga pengelolaannya. Komposisi dan alokasi devisa, baik atas dasar currency diversification maupun assets class diversification (mencakup tidak hanya surat utang negara) juga sangat penting.Langkah lain adalah bagaimana devisa yang ada bisa mendukung baik dari sisi pendalaman pasar keuangan domestik maupun sebagai strategi pertahanan di saat krisis. Untuk menjaga cadangan devisa, bisa dilakukan dengan kerja sama antarbank sentral, baik bilateral maupun multilateral.Hal lain yang bisa dilakukan adalah melalui penempatan cadangan devisa pada lembaga kerja sama multilateral yang memiliki proyek investasi di Indonesia seperti Asian Development Bank atau Islamic Development Bank. Kita ketahui bahwa dalam pengelolaan devisa, lalu lintas devisa kita sangat bebas.Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Devisa, Indonesia termasuk salah satu negara dengan regulasi devisa paling liberal di dunia. Indonesia menganut rezim devisa bebas, di mana devisa bisa keluar-masuk dalam sistem perbankan atau perekonomian meski devisa tersebut hasil ekspor dari dalam negeri.Ini salah satu titik krusial yang membuat pasar valas Indonesia mudah goyah, saat perekonomian menghadapi tekanan. Saat terjadi pelemahan ekonomi atau risiko ekonomi naik, akan mudah terjadi capital outflow sehingga cenderung merugikan perekonomian. Karena itu, aturan tersebut perlu diperketat sehingga tidak merugikan perekonomian.Pada saat ekonomi stabil, kebijakan lalu lintas devisa bebas akan memberikan banyak manfaat positif. Namun, dalam kondisi perekonomian menghadapi tekanan seperti saat ini kebijakan rezim devisa bebas bisa merugikan perekonomian.Aunur RofiqSekjen DPP PPP/Praktisi Bisnis
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0534 seconds (0.1#10.140)