Transparansi dan Urgensi
A
A
A
Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menggarap kereta berkecepatan sedang Jakarta-Bandung. China akhirnya dipilih ketimbang Jepang sebagai pemegang proyek prestisius tersebut.
Proyek ini adalah kelanjutan dari gagalnya proyek kereta cepat. Proyek kereta cepat urung dilakukan karena setelah dikaji tidak efektif untuk jarak Jakarta-Bandung yang hanya 150 km. China dan Jepang memang berlomba untuk mendapatkan proyek sekaligus pamer keperkasaan teknologi yang mereka miliki.
Pada akhirnya China yang dipilih karena katanya tidak meminta jaminan dari pemerintah Indonesia. Proyek ini tetap dikatakan prestisius karena ini merupakan jenis kereta api premium dengan kecepatan antara 200-250 km per jam. Selain itu, proyek yang murni business to business ini akan menelan anggaran cukup besar yaitu Rp78 triliun.
Selain itu, pemerintah juga mengklaim bahwa dalam proyek ini akan ada transfer pengetahuan teknologi dari China ke Indonesia. Belum diketahui berapa kisaran harga tiket kereta api berkecepatan sedang ini. Namun jika ditilik dari jenisnya yang premium, pasti harga tiket akan di atas kereta api yang sudah ada saat ini. Banyak pihak yang mempertanyakan tentang proyek ini.
Jika anggota DPR mempertanyakan tentang transparansi anggaran dan pemilihan China sebagai pemenang tender, beberapa pengamat transportasi mempertanyakan tentang urgensinya. Tentu kedua hal tersebut patut dijawab oleh pemerintah. Hingga saat ini memang pemerintah belum menjelaskan secara gamblang.
Transparansi dan urgensi patut dijawab agar tidak menimbulkan analisis miring atau dugaan yang kurang tepat tentang proyek ini. Soal transparansi dan urgensi adalah hal yang wajar dipertanyakan. Tentang transparansi anggaran, adalah dari mana dana tersebut. Memang benar dari China, namun apakah dari pemerintah, perbankan, atau masih ada pihak ketiga.
Memang benar, pemerintah tidak dibebani anggaran, lalu adakah konsesi bagi China terkait hal ini. Lalu tentang terpilihnya China yang terkesan mendadak juga harus dijelaskan secara rinci. Kekhawatiran Wakil Ketua DPR Fadli Zon tentang hal ini adalah wajar. Fadli (KORAN SINDO, 2/10) meminta pemerintah jangan ada suatu silent take over.
Pertanyaan lain, tentang apakah pemilihan China tidak akan memengaruhi hubungan bilateral dengan Jepang. Pun tentang urgensi. Pemerintah perlu menjawab apakah sudah melakukan studi tentang kebutuhan masyarakat tentang transportasi Jakarta-Bandung. Apakah dengan jalur kereta api yang sudah ada belum memenuhi syarat?
Ataukah dengan jalur tol yang mampu memangkas jarak waktu dua jam dari jalur biasa, juga belum cukup? Jika memang dibutuhkan tentang sebuah transportasi yang lebih nyaman dan cepat, apakah kereta berkecepatan sedang sebagai solusinya? Lalu, tentang harga tiket yang premium, apakah masyarakat kota selain Jakarta dan Bandung bisa membelinya?
Karena kereta api berkecepatan sedang akan berhenti di Karawang dan Walini, Kabupaten Bandung Barat. Pemerintah hingga saat ini memang belum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pemerintah hanya menjelaskan jumlah anggaran, konsorsium, dan bagaimana proses pembangunannya.
Padahal, persoalan transparansi dan urgensi adalah dua hal mendasar yang semestinya bisa dijelaskan sebelum menjelaskan tentang bagaimana proyek tersebut dibangun. Pemerintah melalui kementerian BUMN punya kewajiban untuk menjawab ini karena kementerian ini yang paling berhasrat agar proyek ini bisa terwujud.
Jika tidak dijawab secara gamblang maka akan memunculkan pertanyaan, apakah proyek prestisius ini kebutuhan atau keinginan? Bagaimana dengan saudara-saudara kita di luar Pulau Jawa?
Bukankah mereka semakin gigit jari karena hanya infrastruktur di Pulau Jawa yang diwujudkan sedangkan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua semakin tertinggal. Apakah ini sesuai janji pemerintahan Jokowi-JK tentang fokus pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa.
Proyek ini adalah kelanjutan dari gagalnya proyek kereta cepat. Proyek kereta cepat urung dilakukan karena setelah dikaji tidak efektif untuk jarak Jakarta-Bandung yang hanya 150 km. China dan Jepang memang berlomba untuk mendapatkan proyek sekaligus pamer keperkasaan teknologi yang mereka miliki.
Pada akhirnya China yang dipilih karena katanya tidak meminta jaminan dari pemerintah Indonesia. Proyek ini tetap dikatakan prestisius karena ini merupakan jenis kereta api premium dengan kecepatan antara 200-250 km per jam. Selain itu, proyek yang murni business to business ini akan menelan anggaran cukup besar yaitu Rp78 triliun.
Selain itu, pemerintah juga mengklaim bahwa dalam proyek ini akan ada transfer pengetahuan teknologi dari China ke Indonesia. Belum diketahui berapa kisaran harga tiket kereta api berkecepatan sedang ini. Namun jika ditilik dari jenisnya yang premium, pasti harga tiket akan di atas kereta api yang sudah ada saat ini. Banyak pihak yang mempertanyakan tentang proyek ini.
Jika anggota DPR mempertanyakan tentang transparansi anggaran dan pemilihan China sebagai pemenang tender, beberapa pengamat transportasi mempertanyakan tentang urgensinya. Tentu kedua hal tersebut patut dijawab oleh pemerintah. Hingga saat ini memang pemerintah belum menjelaskan secara gamblang.
Transparansi dan urgensi patut dijawab agar tidak menimbulkan analisis miring atau dugaan yang kurang tepat tentang proyek ini. Soal transparansi dan urgensi adalah hal yang wajar dipertanyakan. Tentang transparansi anggaran, adalah dari mana dana tersebut. Memang benar dari China, namun apakah dari pemerintah, perbankan, atau masih ada pihak ketiga.
Memang benar, pemerintah tidak dibebani anggaran, lalu adakah konsesi bagi China terkait hal ini. Lalu tentang terpilihnya China yang terkesan mendadak juga harus dijelaskan secara rinci. Kekhawatiran Wakil Ketua DPR Fadli Zon tentang hal ini adalah wajar. Fadli (KORAN SINDO, 2/10) meminta pemerintah jangan ada suatu silent take over.
Pertanyaan lain, tentang apakah pemilihan China tidak akan memengaruhi hubungan bilateral dengan Jepang. Pun tentang urgensi. Pemerintah perlu menjawab apakah sudah melakukan studi tentang kebutuhan masyarakat tentang transportasi Jakarta-Bandung. Apakah dengan jalur kereta api yang sudah ada belum memenuhi syarat?
Ataukah dengan jalur tol yang mampu memangkas jarak waktu dua jam dari jalur biasa, juga belum cukup? Jika memang dibutuhkan tentang sebuah transportasi yang lebih nyaman dan cepat, apakah kereta berkecepatan sedang sebagai solusinya? Lalu, tentang harga tiket yang premium, apakah masyarakat kota selain Jakarta dan Bandung bisa membelinya?
Karena kereta api berkecepatan sedang akan berhenti di Karawang dan Walini, Kabupaten Bandung Barat. Pemerintah hingga saat ini memang belum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pemerintah hanya menjelaskan jumlah anggaran, konsorsium, dan bagaimana proses pembangunannya.
Padahal, persoalan transparansi dan urgensi adalah dua hal mendasar yang semestinya bisa dijelaskan sebelum menjelaskan tentang bagaimana proyek tersebut dibangun. Pemerintah melalui kementerian BUMN punya kewajiban untuk menjawab ini karena kementerian ini yang paling berhasrat agar proyek ini bisa terwujud.
Jika tidak dijawab secara gamblang maka akan memunculkan pertanyaan, apakah proyek prestisius ini kebutuhan atau keinginan? Bagaimana dengan saudara-saudara kita di luar Pulau Jawa?
Bukankah mereka semakin gigit jari karena hanya infrastruktur di Pulau Jawa yang diwujudkan sedangkan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua semakin tertinggal. Apakah ini sesuai janji pemerintahan Jokowi-JK tentang fokus pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa.
(bhr)