Pilkada Calon Tunggal
A
A
A
Akhirnya, penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di beberapa daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon atau calon tunggal mendapatkan kepastian landasan hukum.Sebelumnya UU Nomor 8 Tahun 2015 mempersyaratkan paling sedikit ada dua pasangan calon kepala daerah. Demikian pula, ketentuan Pasal 54 ayat (5) Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 pada dasarnya menegaskan bahwa pemilihan kepala daerah tidak dapat diikuti oleh calon tunggal. Jika hanya ada calon tunggal, pemilihan akan ditunda pada pilkada serentakberikutnya. Itupun dengan syarat ada lebih dari satu pasangan calon. Ketentuan itu mengkhawatirkan berbagai pihak karena penundaan ke pilkada serentak berikutnya pada dasarnya telah menghilangkan hak rakyat untuk dipilih dan memilih pada pilkada serentak saat itu.Penundaan tidak berarti menjamin akan ada pasangan calon lain yang mendaftar dan memenuhi persyaratan. Namun, penundaan sudah pasti merugikan masyarakat, baik dari sisi hak untuk dipilih dan memilih maupun dari sisi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.Putusan MKSetelah sekitar satu bulan setengah sejak permohonan perkara calon tunggal pilkada dimohonkan, MK telah membacakan putusannya pada Senin, 22 September 2015. MK menyatakan bahwa pilkada dapat tetap diselenggarakan walau hanya terdapat satu pasangan calon. Putusan MK dilandasi oleh ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menentukan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratis.Frasa “dipilih secara demokratis” menunjukkan bahwa keberadaan kepala daerah harus melalui proses pemilihan yang demokratis yaitu ada kontestasi. Suatu kontestasi tidak dapat dimaknai sekadar ada lebih dari satu pasangan calon, melainkan lebih substansial yaitu ada jaminan ruang bagi rakyat untuk mewujudkan kedaulatannya melalui hak dipilih dan hak memilih.Mekanisme pemilihan yang mengakibatkan tertunda atau hilangnya hak dipilih dan memilih dengan sendirinya bukan merupakan mekanisme yang demokratis. Pembentuk UU Nomor 8 Tahun 2015 menghendaki di dalam pilkada ada kontestasi antara dua pasang calon atau lebih. Mekanisme pun dibuat untuk mencapai tujuan itu antara lain dengan perpanjangan masa pendaftaran. Namun, pembentuk undang-undang tidak memberikan jalan keluar jika sampai akhir hanya terdapat satu pasangan calon.Tiadanya jalan keluar itu dinilai oleh MK sebagai kekosongan hukum yang mengakibatkan pilkada tidak dapat dilaksanakan, harus ditunda pada periode berikutnya. Padahal, pilkada merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat. Pilkada merupakan mekanisme pemilihan kepala daerah secara demokratis di mana hak dipilih dan hak memilih ditunaikan. Karena itu, kekosongan hukum yang terjadi telah merugikan hak rakyat dan menciderai prinsip kedaulatan rakyat.Dalam putusan ini MK memberikan jalan keluar yaitu menyatakan pilkada dapat diikuti oleh calon tunggal tanpa menghilangkan aspek kontestasi atau pemilihan. MK juga memberikan penegasan bahwa pilkada yang hanya diikuti oleh calon tunggal hanya dapat dilaksanakan apabila telah diusahakandengansungguh- sungguh untukterpenuhinyasyarat paling sedikit dua pasangan calon kepala daerah.Calon tunggal tetap harus berkompetisi untuk mendapat suara pemilih agar mendapatkan suara terbanyak dan terpilih menjadi kepala daerah. Jika mayoritas pemilih tidak menyetujui, calon pun tidak akan menjadi kepala daerah terpilih. Selain argumentasi di atas, MK juga menyatakan bahwa penundaan pelaksanaan pilkada juga merugikan karena pasti akan mengganggu penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini terjadi karena telah habisnya masa jabatan kepala daerah sehingga akan diangkat pelaksana tugas yang tentu saja tidak memiliki kewenangan yang setara dengan kepala daerah.Pelaksanaan Putusan MKMenyadari bahwa pelaksanaan putusan ini tentu membutuhkan pengaturan lebih lanjut oleh penyelenggara pilkada, MK dalam putusan ini juga memberikan pedoman yang bersifat operasional. Pilkada dengan calon tunggal dilakukan dengan memberikan hak kepada rakyat untuk menyatakan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap pasangan calon.Dengan sendirinya format surat suara berbeda dengan yang diikuti oleh lebih dari satu pasang calon. Apabila pilihan “setuju” memperoleh suara terbanyak, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila pilihan “tidak setuju” memperoleh suara terbanyak, pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.Walau putusan MK telah memberikan pedoman, KPU tentu tetap membutuhkan aturan yang bersifat teknis operasional, baik berkaitan dengan mekanisme penyelenggaraan tahapan pilkada yang diikuti oleh calon tunggal, model kampanye, maupun desain logistik. Peraturan teknis ini perlu segera dibuat dengan harapan pilkada di empat daerah yaitu di Kabupaten Blitar, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Mataram, dan Kabupaten Timor Tengah Utara, yang semula ditunda hingga 2017 tetap dapat diselenggarakan pada 2015 ini. Bagi MK putusan ini juga perlu ditindaklanjuti dengan mengadopsi kemungkinan perselisihan hasil pilkada dengan calon tunggal dimohonkan ke MK.Keputusan KPU yang menetapkan perolehan suara hasil pilkada calon tunggal merupakan hasil penghitungan suara yang menjadi objek perkara perselisihan hasil pilkada sehingga dapat diajukan ke MK. Perselisihan hasil pilkada adalah sengketa antara peserta pilkada yaitu pasangan calon dengan penyelenggara yaitu KPU. Karena itu, hanya ada satu pasangan calon tidak menghilangkan potensi perselisihan hasil pilkada.Suara “setuju” dan suara “tidak setuju” dapat dianalogikan sebagai suara pasangan calon yang berbeda. Terhadap permohonan perselisihan hasil pilkada dapat diterapkan pembatasan seperti dianut dalam UU Pilkada. Untuk menyaring perkara yang masuk dapat disyaratkan ada batasan selisih maksimal antara suara “setuju” yang diperoleh pasangan calon dengan suara “tidak setuju”.Janedjri M GaffarAlumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
(bhr)