Moratorium Setengah Hati
A
A
A
Presiden Joko Widodo telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2015 pada 13 Mei 2015. Inpres ini perpanjangan Inpres Nomor 6/2013 juncto Inpres Nomor 10/2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.Inpres ini lebih dikenal dengan sebutan Inpres Moratorium (Jeda Sementara) Izin Baru Tata Kelola Hutan. Inpres ini dikeluarkan dalam rangka menyelesaikan berbagai upaya untuk penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut yang tengah berlangsung dalam rangka penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.Inpres ini ditujukan pada tujuh alamat yaitu menteri lingkungan hidup dan kehutanan, menteri dalam negeri, menteri agraria dan tata ruang/kepala Badan Pertanahan Nasional, sekretaris kabinet, kepala Badan Informasi Geospasial, para gubernur, dan para bupati/wali kota.Presiden menginstruksikan kepada para pejabat tersebut untuk melanjutkan penundaan pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi), dan area penggunaan lain sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.Namun, sejak awal diterbitkan inpres tersebut banyak kalangan merasa pesimistis terhadap keseriusan Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan itu. Salah satu bukti yang menunjukkan kurang seriusnya pemerintah menjalankan inpres ini adalah dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehari sebelum inpres itu ditandatangani.Selain itu, secara substansi terdapat beberapa hal yang harus dikritisi dari inpres ini. Antara lain masih diberikan ruang pengecualian seperti tertuang dalam diktum kedua khususnya poin (a) dan (c). Yaitu, pengecualian diberikan pada permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip dari menteri kehutanan, serta perpanjangan izin pemanfaatan hutan dan/atau penggunaan kawasan hutan yang telah ada sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku.Tidak TerulangTujuan yang terkandung dalam kebijakan moratorium pembalakan hutan ini adalah agar deforestasi dan degradasai hutan yang pernah berlangsung masif dan ekstraktif tidak terulang lagi. Karena itu, selama moratorium berlangsung seharusnya dilakukan kaji ulang terhadap peraturan-peraturan tentang kehutanan, lahan gambut, peraturan yang menyangkut tata ruang, serta peraturanperaturan terkait lainnya.Namun, pada kenyataannya aktivitas pembakaran hutan dan lahan masih berlangsung masif di sejumlah daerah. Beberapa hari terakhir media dalam dan luar negeri gencar memberitakan masalah ini. Hingga hari ini sudah enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan yang dinyatakan dalam kondisi darurat kabut asap.Memang, sejak awal sudah banyak yang memprediksi bahwa pelaksanaan moratorium ini bukanlah pekerjaan mudah. Dalam tataran implementasi akan selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan akut di bidang kehutanan dan perkebunan. Termasuk di dalamnya praktik- praktik kolutif yang mendegradasi hutan dan lingkungan.Permasalahan utama yang harus segera dipecahkan adalah masalah tata ruang. Tidak sinkronnya interpretasi undangundang/ peraturan seperti Undang- Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan serta Undang- Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang telah membuka peluang terjadi deforestasi. Permasalahan besar lain yang perlu segera dituntaskan adalah masalah penguasaan lahan (tenurial).Secara kasatmata kita menyaksikan maraknya konflik agraria struktural yang melibatkan masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan di berbagai daerah di Indonesia. Menurut hemat penulis, fenomena seperti ini fenomena puncak gunung es yang menyimpan bom waktu jika dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian secara bijaksana.Lebih jauh pemerintah juga harus segera memperbaiki koordinasi antara pusat dan daerah serta memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut yang masih buruk. Perlu lebih diintensifkan jalinan dalam distribusi pendapatan, peningkatan transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan hutan. Semua itu pekerjaan rumah pemerintah yang harus segera dituntaskan.Setengah HatiHeboh bencana asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan di Pulau Sumatera dan Kalimantan beberapa hari terakhir salah satu fakta yang menunjukkan bahwa pelaksanaan moratorium Izin Baru Tata Kelola Hutan masih setengah hati. Ingat, peristiwa seperti ini bukan yang pertama kali. Selain menguras energi bangsa, bencana kebakaran hutan itu juga mempermalukan martabat bangsa di mata internasional.Di samping sebagai penyempurnaan tata kelola hutan dan lahan gambut, kebijakan moratorium ini juga dimaksudkan sebagai upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) ditempuh melalui skema reduce emissions from deforestation and forest degradation (REDD).Dalam praktiknya skema REDD ini perlu dilengkapi dengan inisiatif reforestasi (REDD+). Pemerintah Indonesia telah mengambil keputusan yang sangat berani dengan mematok target penurunan emisi GRK sebesar 26% pada 2020. Tekad dan ambisi tersebut telah disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat berpidato pada pertemuan negaranegara yang tergabung dalam kelompok G-20 di Pitsburg, AS, September 2009.Komitmen tersebut harus didukung seluruh pemangku kepentingan di negeri ini secara berkelanjutan agar ambisi besar tersebut bukan sekadar utopia. Penyiapan lahan dengan pembakaran yang sering dilakukan di lahan gambut akan menimbulkan kerusakan lingkungan. Suhu akibat pembakaran merusak gambut, menghilangkan kapasitas penyimpanan air, menghilangkan kapasitas penyerapan karbon, serta menghilangkan berbagai fungsi ekologis dan ekonomis.Jika tiga unsur bertemu yaitu bahan organik, api, dan zat asam (oksigen), kebakaran hutan dan belukar tak terhindarkan lagi. Karena itu, pemerintah harus melakukan penegakan hukum yang lebih tegas bagi para pelanggar hukum dan ketentuan. Tanpa penegakan hukum yang tegas, semuanya jadi siasia.Deforestasi akan tetap berlangsung ekstraktif dan masif. Stigma buruk di mata internasional sebagai bangsa yang tak becus mengelola lingkungan akan terus melekat. Moratorium Izin Baru Tata Kelola Hutan hanya menjadi sebuah ironi karena masih terus berasap.Toto SubandriyoPengamat Sosial-Ekonomi Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed
(bhr)