Bang Buyung, Perjalanan Panjang Seorang Advokat-Pejuang

Jum'at, 25 September 2015 - 13:25 WIB
Bang Buyung, Perjalanan...
Bang Buyung, Perjalanan Panjang Seorang Advokat-Pejuang
A A A
Menulis sisi-sisi kehidupan Prof Dr (Iur) H Adnan Buyung Nasution, SH tak ubahnya seperti menelusuri sebuah jalan panjang yang bercabang.Meski bercabang, jalan itu semuanya benderang. Dalam diri Bang Buyung— demikian sapaan akrabnya— memang melekat tiga cabang kekuatan personal: pejuang hukum dan hak asasi manusia (HAM), advokat profesional dan intelektual. Ketiga kekuatan personal itu terpancar pada kehidupannya sebagai ”advokatpejuang”, istilah yang sesungguhnya ia populerkan untuk memberikan kebanggaan bagi para yunior dan penerusnya.Perjalanan panjang sang advokat- pejuang berawal dari kegundahannya terhadap situasi tidak tegaknya hukum dan rasa keadilan di negeri ini ketika ia menjadi seorang jaksa pada dekade 1950-an. Ia terbebani kenyataan bahwa manisnya kemerdekaan tidak dinikmati oleh sebagian besar bangsa kita. Hak hukum serta keadilan sering kali jauh jaraknya antara yang menjadi harapan dengan kenyataan.Gelora pikirannya tentang hukum dan keadilan ini bahkan terbawa sampai akhir hayatnya. Lihatlah apa yang ia tulis sebagai wasiat untuk para penerusnya di Ruang ICCU RS Pondok Indah, hanya tiga hari sebelum ia meninggal: ”Teruskan pemikiran dan perjuangan bagi si miskin dan tertindas .”Implementasi pikiran Bang Buyung tentang perjuangan hak hukum dan keadilan bagi masyarakat marginal mulai menemukan bentuknya setelah ia mempelajari bagaimana bantuan hukum terhadap masyarakat miskin dapat diberikan dan jaringan bantuan hukum dapat dibentuk di Australia pada akhir 1950-an. Namun statusnya sebagai seorang jaksa menghalangi dirinya untuk melembagakan pikirannya tersebut.Buyung akhirnya memilih mundur dari kejaksaan. Ia memasuki dunia baru sebagai aktivis hukum dan gerakan politik. Sebelum mundur, menyusul peristiwa G-30S/PKI, Buyung menjadi motivator dalam demonstrasi- demontrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa/Sarjana Indonesia (KAMI/KASI) yang menentang pengkhianatan PKI. Sebagai tokoh demonstran angkatan 1966, Buyung diminta menjadi anggota DPR/MPR sampai akhir periode 1960-an.Ia juga memasuki dunia baru, yakni menjadi advokat profesional dan mendirikan kantor hukum pribadinya: Adnan Buyung Nasution & Associates (ABNA). Cita-citanya membentuk jaringan bantuan hukum diwujudkannya dengan mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 28 Oktober 1970 atas dukungan sepenuhnya organisasi advokat yang ada pada saat itu, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin).Bantuan Hukum StrukturalLBH Jakarta menjadi cikalbakal gerakan bantuan hukum di Indonesia. Berdirinya LBH Jakarta menginspirasi munculnya banyak organisasi bantuan hukum lainnya, di antaranya yang kemudian langsung hadir di lingkungan pengadilan negeri: Pos-Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang dikelola para advokat Peradin.Sejak LBH Jakarta berdiri, Bang Buyung membangun persahabatan yang akrab dengan Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta pada era 1970-an. Bang Ali membantu LBH Jakarta dengan dukungan anggaran tahunan bantuan hukum melalui APBD DKI Jakarta. Hal yang patut dicatat adalah kebesaran jiwa Bang Buyung maupun Bang Ali.Meskipun menerima bantuan Pemda DKI, dalam banyak perkara, terutama penggusuran tanah, LBH Jakarta tetap bersuara vokal dan bahkan kerap berhadaphadapan dengan Pemda DKI Jakarta. Sikap kritis Bang Buyung terhadap pemerintah tidak berkurang sedikit pun. Sebaliknya, Bang Ali juga tidak menggunakan dukungan fasilitas dan anggaran untuk ”membungkam” kevokalan LBH Jakarta.Ketika melalui LBH Jakarta telah berhasil menginspirasi berdirinya organisasi bantuan hukum lainnya, Buyung melangkah lebih maju lagi dalam mewujudkan cita-citanya. Ia gulirkan konsep baru dalam bantuan hukum dengan apa yang disebut sebagai bantuan hukum struktural (BHS).BHS memperluas spektrum gerakan bantuan hukum, dari yang sifatnya ”tradisional”, yang berfokus pada pemberian bantuan hukum dalam proses hukum di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan menjadi gerakan advokasi penyadaran hak hukum dan hak-hak sipil lainnya, terutama kepada kelompok- kelompok masyarakat yang termarginalkan dalam proses pembangunan.Dengan BHS, para advokat pejuang terjun langsung memberikan penyadaran hukum dan hak-hak sipil lainnya kepada kaum buruh, pekerja ekonomi sektor informal dan kelompok- kelompok masyarakat bawah lainnya yang rentan menjadi korban proses pembangunan.Pada tahapan selanjutnya, BHS inilah yang menjadi inspirasi lahirnya kelompok-kelompok masyarakat sipil sebelum maupun sesudah era Reformasi tahun 1998 seperti Kontras, ICW, ICEL, PBHI, yang kebetulan para pendiri dan aktivisnya mayoritas adalah orang-orang muda yang pernah bekerja atau mendapat gemblengan langsung dari Bang Buyung.Intelektual yang HumblePada diri Bang Buyung sesungguhnya tidak hanya melekat jiwa praktisi hukum dan aktivis gerakan saja. Keistimewaan lain yang menonjol dari dirinya ialah tampilan seorang intelektual ketika berbicara atau berdiskusi tentang suatu isu hukum. Setiap pandangan yang disampaikannya disertai dengan nalar akademis.Contoh terakhirnya ialah ketika banyak aktivis ”hidup-mati” membela kewenangan dan tindakan KPK meskipun terdapat problem due process of law di sana, Bang Buyung tetap memilih mengkritisinya dengan basis argumentasi yang jelas. Kita memang bisa jadi tidak setuju dengan sudut pandangnya. Namun ia juga bukan orang yang ingin memaksakan sudut pandangnya.Sifat humble (ramah dan rendah hati) terhadap lawan bicaranya membuat siapa pun yang bertemu dengannya tahan untuk berdiskusi berjam-jam. Sifat inilah yang mengesankan semua lapisan masyarakat. Bang Buyung sama hangatnya ketika menjabat tangan atau menyambut tokoh penting ataupun orang biasa yang datang menyapanya.Ia bahkan tidak segan menyapa atau mengulurkan tangannya terlebih dahulu ketika bertemu para yuniornya maupun warga masyarakat yang bahkan baru dikenalnya. Kebesaran hati dan sikapnya itu tercermin dari beragamnya pelayat yang datang ke rumahnya atau mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya di TPU Tanah Kusir. Selamat beristirahat, Bang Buyung, jasamu memang tiada tara.ARSUL SANI Ketua Poksi FPPP di Komisi III & Badan Legislasi, DPR-RI, Alumni LBH Jakarta 1988
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0591 seconds (0.1#10.140)