Perangkat Desa dan Kebakaran Hutan

Rabu, 23 September 2015 - 12:39 WIB
Perangkat Desa dan Kebakaran Hutan
Perangkat Desa dan Kebakaran Hutan
A A A
Hutan terbakar yang menimbulkan kabut asap merupakan bencana tahunan bagi bangsa Indonesia. Saat ini kebakaran hutan hebat yang menyebabkan kabut asap pekat setidaknya terjadi di Provinsi Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat.Akibatnya, bahkan sekolah di Malaysia ikut diliburkan sebagai akibat kabut asap kiriman dari Indonesia. Pertengahan September 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 156 titik panas sumber kabut asap di Sumatera dan Kalimantan. Dari 156 titik tersebut, 95 titik di Sumatera dan 61 titik di Kalimantan.Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80% wilayahnya. Setidaknya 25,6 juta jiwa terpapar asap. Alat perlengkapan negara kita memang bergerak cukup cepat. Kementerian terkait langsung berkoordinasi. Hujan buatan diupayakan dengan berbagai cara yang tentu saja mengeluarkan biaya sangat besar.Helikopter juga dikerahkan untuk memadamkan api, walaupun air yang diangkut oleh helikopter itu tidak memadai dibandingkan skala kebakaran. Bahkan ribuan tentara juga dikerahkan untuk memadamkan api yang sudah menjalar ke mana-mana. Faktanya hingga menjelang Idul Adha asap pekat di beberapa provinsi yang disebutkan tadi masih pada level mengkhawatirkan.Bahkan untuk beberapa wilayah kebakaran hutan beralih ke kebakaran lahan gambut yang pemadamannya ternyata jauh lebih sulit ketimbang pemadaman hutan biasa. Kalender tahunan kita seakan- akan sudah mencatat bahwa kabut asap pekat akibat kebakaran hutan sebagai musibah tahunan.Tetapi solusi yang diberikan hanya bersifat sporadis nonpermanen. Sejak beberapa tahun lalu kita rutin menyiapkan tim untuk memadamkan api, belum ada jaminan adanya solusi permanen.Perangkat HukumLuar biasa perangkat hukum yang dimiliki Indonesia yang seharusnya dapat mencegah terjadinya kebakaran hutan yang menyebabkan asap pekat. Namun, ”seperti biasa” banyak aturan perundang-undangan kita yang hanya bagus di atas kertas. Soal larangan pembakaran hutan diatur dalam UU Nomor 18/2013 tentang Pemberantasan dan Perusakan Hutan.Selanjutnya ada UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ada juga UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan. Malah ada Peraturan Pemerintah Nomor 45/2004 tentang Perlindungan Hutan.Memang ada yang menyalahkan salah satu pasal dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.Hal ini karena masih diperbolehkannya masyarakat melakukan land clearing dengan pembakaran lahan maksimal seluas dua hektare.Tanggung Jawab SiapaSeharusnya ada yang bertanggung jawab secara hukum atas kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap pekat sehingga merugikan kesehatan dan ekonomi masyarakat. Sejauh ini terkesan penanganannya masih bersifat sporadis dan benar- benar menjalankan fungsi sebagai pemadam api, bukan langkah preventif.Apalagi masingmasing daerah terkesan enggan dikategorikan sedang menghadapi bencana nasional. Faktanya, bandara tidak dapat didarati pesawat, walaupun pengelola bandara menyatakan tidak ada bandara yang ditutup. Ditambah lagi negara kita menolak uluran bantuan negara tetangga untuk ikut serta memadamkan api. Mungkin karena itu menyangkut ”harga diri” bangsa Indonesia.Akibatnya, berbagai penderitaan rakyat itu menguap saja bersama asap yang kian pekat. Biasanya”kambinghitam” kebakaran hitam selalu ditujukan kepada masyarakat lokal yang dituduh membersihkan lahan dengan cara membakar. Apalagi peraturan perundang-undangan memang melegalkan itu.Namun, pada 2015 ini apakah tuduhan tersebut masih relevan ditujukan kepada penduduk lokal setelah memperhatikan dua hal. Pertama, memang penduduk lokal membakar lahan secara sengaja untuk melakukan pembersihan lahan. Namun, pada masa sebelum ini tidak pernah terjadi kebakaran lahan yang sangat luas dan menyebabkan kabut asap pekat luar biasa sebagaimana sekarang.Hal ini menunjukkan bahwa pembakaran lahan oleh masyarakat lokal memang pada luasan terbatas. Tidak salah juga perumus UU Nomor 32/1999 yang mengizinkan masyarakat setempat membersihkan lahan dengan cara membakar. Para pembuat undang-undang paham bahwa penduduk lokal hanya membakar di areal terbatas, itu pun mungkin dapat dikategorikan sebagai kearifan lokal.Soal kedua yang mestinya menjadi alasan untuk tidak hanya menyalahkan penduduk lokal ialah adanya perubahan kepemilikan lahan secara signifikan. Sekarang hampir semua lahan di Sumatera dan Kalimantan dikuasai oleh para investor besar, termasuk dari negara-negara tetangga. Mereka sangat rakus ”melahap” lahan.Tidak ada artinya luas lahan yang dimiliki pekebun tradisional dibandingkan kepemilikan lahan oleh para investor dengan modal sangat luar biasa besarnya itu. Indikasi keterlibatan perkebunan- perkebunan besar itu dalam kebakaran lahan sangatlah kuat. Jika selama republik ini ada, pembakaran lahan oleh pekebun tradisional tidak pernah menyebabkan kebakaran hebat, setelah kepemilikan lahan dikuasai oleh pemodal besar barulah kebakaran itu menjadi sangat hebat.Anehnya, kebakaran yang sudah berlangsung ”belasan tahun” itu tidak mampu menjerat para pemilik konsesi perkebunan dengan lahan sangat luas. Selama ini mereka yang dijadikan tersangka adalah penduduk kelas sandal jepit.Mereka ini, jika bukan pemilik kebun yang semata- mata untuk berkebun, adalah orang-orang suruhan para investor besar bidang perkebunan untuk melakukan pembakaran lahan. Salah satu bukti nyata ketika diusut serius, setelah kunjungan Presiden Jokowi ke Sumatera Selatan pada 7 September 2015, beberapa pengelola perkebunan besar mulai ditindak karena melakukan pembakaran lahan.Kapolda menyatakan bahwa sudah ada 33 kasus di Polda Sumsel ditambah ditangani Mabes Polri. Untuk korporasi ada 19 perusahaan dan 14 kasus untuk perorangan yang sudah tertangkap tangan. Saat ini ditingkatkan jadi penyidikan. Bahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah membekukan izin operasi tiga perusahaan.Telah pula dirilis 13 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan (PT FSL, PT HSL, PT NWR, PT CSS, PT AUS, PT HSL, PT GAP, PT SCP, PT MKM, PT T, PT WM, PT WAJ dan PT PSM). Perusahaan-perusahaan itu ada di Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah.Solusi PermanenKita menghargai kerja keras semua komponen terkait upaya mengatasi kabut asap pekat yang sudah merugikan banyak orang. Namun, apakah kerja keras semacam ini harus berulang setiap tahun hanya karena solusi yang bersifat sporadis. Harus ada solusi permanen agar kita tidak seolah-olah menantang bencana yang setiap tahun menantikan kehadirannya.Kita meyakini sosok menteri sekaliber Ibu Siti Nurbaya pastilah memiliki kepedulian dan konsep soal solusi, walaupun memerlukan waktu untuk disebut solusi permanen. Penegakan hukum terhadap para investor perkebunan besar harus masuk dalam agenda. Selama ini justru tuduhan itu hanya dilayangkan kepada para penduduk lokal.Terkesan aparat negara ”sungkan” menindak tegas perusahaan-perusahaan besar yang bersalah. Walaupun kita tidak juga boleh menuduh bahwa semua perusahaan perkebunan melakukan pembakaran. Alternatif lain yang mesti dipertimbangkan dalam upaya solusi permanen adalah pelibatan para perangkat desa sebagai ujung tombak alat perlengkapan negara/pemerintahan.Perlu dibuat suatu mekanisme agar kepala desa memiliki kewenangan mengawasi perkebunan- perkebunan yang terdapat di wilayahnya. Selama ini perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di berbagai wilayah seakanakan steril dari kontrol kepala desa.Kepala desa tidak memiliki jangkauan dan kemampuan untuk mengontrol aktivitas perusahaan perkebunan yang ada di wilayahnya. Sebagai bagian dari solusi permanen para kepala desa diberi kewenangan penuh oleh negara untuk mengontrol aktivitas perusahaan perkebunan, khususnya dalam upaya mencegah kegiatan membakar lahan ini.Selama ini kondisi kebun yang luas ditambah ketiadaan akses kepala desa terhadap perusahaan perkebunan. Apabila para kepala desa memiliki akses untuk mengontrol semua perusahaan perkebunan yang ada, tentu dengan melibatkan para camat juga, saya meyakini pembakaran oleh perusahaan- perusahaan perkebunan besar itu tidak akan terjadi karena dapat dicegah secara dini.Kepala desa juga ”dengan mudah” mengontrol warganya yang melakukan pembakaran lahan. Ironisnya, selama ini memangpelibatanseriusperangkat desa agak terlupakan dalam urusan investasi besar di bidang perkebunan. Kepala desa dinilai sebagai pelengkap saja.Bahkan terkadang pengurusan izin penguasaan lahan seakan dapat meniadakan kepala desa sepanjang telah mendapat persetujuan pemerintah pusat dan petinggi di daerah. Surat sakti dari pemerintah pusat dalam urusan kebun dan hutan, seakan-akan menjadi pembungkam alat perlengkapan negara di daerah.Aparat negara, dengan berbagai perlengkapannya, memang dapat datang di saat api tidak terkendali lagi. Namun, solusi permanen tidak mungkin bisa tercipta tanpa melibatkan birokrasi paling bawah. Saya meyakini keterlibatan para kepala desa dalam mengontrol perkebunan besar di daerahnya dapat mencegah terjadinya pembakaran lahan.Untuk itu, mereka harus diberi ”kewenangan lebih” khusus untuk hal-hal yang terkait dengan pencegahan pembakaran lahan. Mungkin selama ini justru hal kecil seperti ini yang terlewatkan. Semoga tahun depan kita tidak lagi mengalami musibah yang sama, asap pekat dengan berbagai implikasi luar biasanya.Prof Amzulian Rifai, PHDDekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5358 seconds (0.1#10.140)