Rakyat Miskin Bertambah
A
A
A
Hiruk-pikuk suasana pusat perbelanjaan di salah satu kota satelit sebagai kota penyangga wilayah Jakarta sama sekali tidak mencerminkan suasana perekonomian nasional yang sedang muram dihajar mata uang Negeri Paman Sam.
Tawa dan canda riang pengunjung kafe dan restoran lintas negara seakan tak ada yang perlu dicemaskan mengenai daya beli masyarakat yang melemah. Padahal, tak jauh dari pusat perbelanjaan megah yang bertaburkan penerangan berwarna-warni itu, masih banyak masyarakat yang sulit memenuhi kebutuhan standar, misalnya untuk makan tiga kali sehari karena sulitnya mencari pekerjaan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak perlemahan perekonomian nasional.
Memang, ini sebuah ironi, tetapi demikianlah fakta lapangan. Kondisi tersebut terkonfirmasi dengan publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah menjadi 11,22% atau sebanyak 28,59 juta jiwadari total penduduk per Maret lalu.
Berdasarkan kategori, wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbesar tetap berada di Pulau Jawa sebanyak 15,45 juta jiwa, disusul Pulau Sumatera sekitar 6,37 juta orang, Pulau Bali dan Nusa Tenggara sejumlah 2,18 juta orang, selanjutnya Pulau Sulawesi sebanyak 2,12 juta jiwa, dan Pulau Maluku dan Papua sekitar 1,49 juta orang serta Pulau Kalimantan 0,98 juta jiwa.
Saat mengumumkan data angka kemiskinan tersebut di awal pekan ini, Kepala BPS Suryamin menyebutkan kenaikan harga beras dan rokok menjadi pemicu utama kenaikan angka kemiskinan. Selain mengumumkan data terbaru angka kemiskinan, pihak BPS juga merilis indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia.
Ternyata, antara angka kemiskinan, indeks kedalaman, dan keparahan kemiskinan sejalan dalam arti semuanya mencatatkan peningkatan per Maret 2015. Dari tahun ke tahun indeks keparahan kemiskinan terus bergerak naik, pada Maret 2013 berada di level 0,432, kemudian naik menjadi 0,435 pada Maret 2014 dan kini bertengger di level 0,535.
Begitu pula indeks kedalaman kemiskinan mengalami peningkatan, pada Maret 2013 tercatat 1,745, lalu meningkat menjadi 1,753 pada Maret 2014 dan naik lagi di level 1,971 pada Maret 2015. Indeks kedalaman kemiskinan mengukur jarak pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan.
Intinya, makin tinggi indeks kedalaman kemiskinan, makin jauh jarak pengeluaran dari garis kemiskinan. Secara spesifik berdasarkan data yang dipublikasikan BPS, ternyata sepanjang September 2014 hingga Maret 2015 jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 860.000 jiwa. Terdapat 4 faktor utama sebagai pemicu pertambahan jumlah penduduk miskin tersebut.
Pertama, pengaruh tingkat inflasi yang tercatat sekitar 4,03%. Kedua, kenaikan harga sejumlah komoditas utama. Pada periode tersebut rata-rata harga beras mengalami kenaikan sekitar 14,48%, harga cabai rawit naik 26,28%, dan gula pasir meningkat 1,92%. Ketiga, penurunan upah rata-rata buruh tani sekitar 1,34% pada Maret 2015 dibandingkan September 2014 dari Rp39.045 menjadi Rp38.522 per hari.
Keempat, tingkat inflasi perdesaan yang mencapai 4,40%. Empat faktor tersebut memang sulit dihindari pemerintah. Sebelum diumumkan BPS, kenaikan angka kemiskinan di Indonesia sudah diprediksi oleh pihak Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Perkiraan Indef bahwa angka kemiskinan meningkat dari September 2014 di level 10,96% menjadi 11,50% pada Maret 2015 tidak terpaut jauh dari angka yang dipublikasi BPS sekitar 11,22%. Karena itu, ketika BPS menunda mengumumkan kenaikan angka kemiskinan tersebut, pihak Indef menengarai ada sesuatu yang perlu dipertanyakan, apakah BPS harus meminta persetujuan pemerintah terlebih dahulu sebelum dipublikasikan?
Kecurigaan pihak Indef itu sah saja meski susah untuk membuktikan. Sekarang yang terpenting bagaimana langkah pemerintah menahan laju angka kemiskinan di tengah perlemahan ekonomi nasional yang buntutnya sudah mengibas sejumlah perusahaan yang berujung pada PHK karyawan.
Apalagi pihak BPS sudah menyatakan sulit menurunkan tingkat kemiskinan ke level 10% hingga 11%. Tentu ini persoalan serius yang butuh upaya keras mengatasinya.
Tawa dan canda riang pengunjung kafe dan restoran lintas negara seakan tak ada yang perlu dicemaskan mengenai daya beli masyarakat yang melemah. Padahal, tak jauh dari pusat perbelanjaan megah yang bertaburkan penerangan berwarna-warni itu, masih banyak masyarakat yang sulit memenuhi kebutuhan standar, misalnya untuk makan tiga kali sehari karena sulitnya mencari pekerjaan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai dampak perlemahan perekonomian nasional.
Memang, ini sebuah ironi, tetapi demikianlah fakta lapangan. Kondisi tersebut terkonfirmasi dengan publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah menjadi 11,22% atau sebanyak 28,59 juta jiwadari total penduduk per Maret lalu.
Berdasarkan kategori, wilayah dengan jumlah penduduk miskin terbesar tetap berada di Pulau Jawa sebanyak 15,45 juta jiwa, disusul Pulau Sumatera sekitar 6,37 juta orang, Pulau Bali dan Nusa Tenggara sejumlah 2,18 juta orang, selanjutnya Pulau Sulawesi sebanyak 2,12 juta jiwa, dan Pulau Maluku dan Papua sekitar 1,49 juta orang serta Pulau Kalimantan 0,98 juta jiwa.
Saat mengumumkan data angka kemiskinan tersebut di awal pekan ini, Kepala BPS Suryamin menyebutkan kenaikan harga beras dan rokok menjadi pemicu utama kenaikan angka kemiskinan. Selain mengumumkan data terbaru angka kemiskinan, pihak BPS juga merilis indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia.
Ternyata, antara angka kemiskinan, indeks kedalaman, dan keparahan kemiskinan sejalan dalam arti semuanya mencatatkan peningkatan per Maret 2015. Dari tahun ke tahun indeks keparahan kemiskinan terus bergerak naik, pada Maret 2013 berada di level 0,432, kemudian naik menjadi 0,435 pada Maret 2014 dan kini bertengger di level 0,535.
Begitu pula indeks kedalaman kemiskinan mengalami peningkatan, pada Maret 2013 tercatat 1,745, lalu meningkat menjadi 1,753 pada Maret 2014 dan naik lagi di level 1,971 pada Maret 2015. Indeks kedalaman kemiskinan mengukur jarak pengeluaran penduduk miskin dengan garis kemiskinan.
Intinya, makin tinggi indeks kedalaman kemiskinan, makin jauh jarak pengeluaran dari garis kemiskinan. Secara spesifik berdasarkan data yang dipublikasikan BPS, ternyata sepanjang September 2014 hingga Maret 2015 jumlah penduduk miskin bertambah sebanyak 860.000 jiwa. Terdapat 4 faktor utama sebagai pemicu pertambahan jumlah penduduk miskin tersebut.
Pertama, pengaruh tingkat inflasi yang tercatat sekitar 4,03%. Kedua, kenaikan harga sejumlah komoditas utama. Pada periode tersebut rata-rata harga beras mengalami kenaikan sekitar 14,48%, harga cabai rawit naik 26,28%, dan gula pasir meningkat 1,92%. Ketiga, penurunan upah rata-rata buruh tani sekitar 1,34% pada Maret 2015 dibandingkan September 2014 dari Rp39.045 menjadi Rp38.522 per hari.
Keempat, tingkat inflasi perdesaan yang mencapai 4,40%. Empat faktor tersebut memang sulit dihindari pemerintah. Sebelum diumumkan BPS, kenaikan angka kemiskinan di Indonesia sudah diprediksi oleh pihak Institute for Development of Economics and Finance (Indef).
Perkiraan Indef bahwa angka kemiskinan meningkat dari September 2014 di level 10,96% menjadi 11,50% pada Maret 2015 tidak terpaut jauh dari angka yang dipublikasi BPS sekitar 11,22%. Karena itu, ketika BPS menunda mengumumkan kenaikan angka kemiskinan tersebut, pihak Indef menengarai ada sesuatu yang perlu dipertanyakan, apakah BPS harus meminta persetujuan pemerintah terlebih dahulu sebelum dipublikasikan?
Kecurigaan pihak Indef itu sah saja meski susah untuk membuktikan. Sekarang yang terpenting bagaimana langkah pemerintah menahan laju angka kemiskinan di tengah perlemahan ekonomi nasional yang buntutnya sudah mengibas sejumlah perusahaan yang berujung pada PHK karyawan.
Apalagi pihak BPS sudah menyatakan sulit menurunkan tingkat kemiskinan ke level 10% hingga 11%. Tentu ini persoalan serius yang butuh upaya keras mengatasinya.
(bhr)