Rekodifikasi Setengah Hati
A
A
A
Dimulai kembali pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) setelah dikeluarkan Surat Presiden pada 5 Juni 2015 patut menjadi perhatian.
Keinginan pemerintah untuk melakukan rekodifikasi KUHP warisan kolonial Belanda secara total justru mengundang sejumlah keraguan. Alhasil, rekodifikasi yang diharapkan mampu menciptakan kesatuan sistem pemidanaan yang terpadu yang antikolonial (dekolonisasi) pun terlihat klise dan secara eksplisit tak tampak dalam draf RKUHP yang diajukan pemerintah.
Keraguan ini pun bukan tanpa alasan, masih ditemukan sejumlah penyimpangan formil dalam RKUHP sebelum masuk pada substansi pasal per pasal. Adapun sejumlah penyimpangan itu di antaranya:
Pertama, RKUHP masih terasa kolonial. Rasa kolonial terlihat dari model pembukuan model pembukuan RKUHP yang tidak jauh berbeda dengan KUHP kolonial yang terdiri atas dua buku, buku pertama berbicara tentang ketentuan umum dan buku kedua tentang tindak pidana (kejahatan). Kendati demikian, RKUHP justru menyimpangi ketentuan aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini terlihat dari penempatan ketentuan istilah yang diletakkan pada bab terakhir mulai dari Pasal 164 sampai Pasal 217. Sejatinya, ketentuan istilah diletakkan pada Bab 1.
Kedua, RKUHP belum berhasil menyatukan sistem pemidanaan dan tumpang tindihnya ketentuan pidana dalam sejumlah peraturan perundangundangan. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 218 RKUHP yang menyatakan, ”Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang- undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut undangundang”.
Ketiga, RKUHP menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan penerapan pasal dalam peraturan perundang-undangan. Sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Narkotika, dan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi hanya diambil sebagian dan terkesan ”asal comot”. Dengan begitu, munculpertanyaantentang nasib pasal yang tetap dibiarkan dalam undang-undang asalnya.
Keempat, RKUHP terkesan memaksakan diri dengan mengakui ketentuan pidana lain di luarkodifikasi. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 2 yang mengakui kedudukan hukum pidana adat yang hidup di masyarakat. Kelima, masih ditemukan kontradiksi sistem kodifikasi dalam ketentuan peralihan RKUHP.
Hal ini terlihat dari sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa ketentuan undang- undang di luar KUHP harus menyesuaikan paling lama tiga tahun dan setelahnya undang- undang di luar KUHP tersebut dengan sendirinya merupakan bagian dari KUHP. Hal ini jelas melanggar asas lex certa (tidak multitafsir) dan lex stricta (harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca) dalam penyusunan sebuah perundangundangan.
Mengaburkan
Kondisi tersebut jelas menunjukkan rekodifikasi setengah hati dalam RKHUP. Damiano Canale (2009) mengatakan tujuan kodifikasi pada era modern adalah: untuk mendesain dan menyimplifikasi perbedaan peraturan perundang- undangan menjadi satu kumpulan dengan maksud memudahkan para praktisi hukum; untuk membuat sistematisasi hukum materiil serta unifikasi hukum sehingga antarpengaturan saling berhubungan; dan untuk membentuk suatu sistem hukum yang baru berdasarkan fundamental politik hukum sehingga masing-masing lembaga hukum saling mendukung untuk tercapainya kesatuan sistem.
Jika mengacu pada pengalaman sejumlah negara, model kodifikasi yang dilakukan jelas berbeda dengan yang dilakukan RKUHP di Indonesia. Sebut saja dalam Wetboek van Stafrecht (WvS), sejak awal pembentukannya tidak memungkinkan ada ketentuan pidana di luar kodifikasi dan semua pengaturan termuat dalam kodifikasi pidananya.
Dengan begitu, tidak diperlukan mekanisme peralihan antara aturan ketentuan pidana di luar kodifikasi untuk dimasukkan dalam kodifikasi pidana. Sekalipun ada pengaturan lebih khusus, hanya untuk menyelesaikan pengaturan yang lebih detail atau spesifik, dan tidak diperuntukkan untuk ada perbedaan asas dan prinsip.
Praktis, situasi politik hukum dalam menentukan rekodifikasi ini perlu mendapatkan perhatian serius. Pilihan politik hukum ini sejatinya dapat tuntas sebelum DPR dan pemerintah membahas pasal per pasal dalam RKUHP.
Peta Jalan
Berdasarkan hal tersebut, penulis memandang perlu ada roadmap atau peta jalan yang harus disepakati Presiden dan DPR sebelum melakukan pembahasan RKUHP. Peta jalan ini harus memuat sejumlah langkah strategis dalam membahas RKUHP ini. Adapun langkah tersebut antara lain:
Pertama, Presiden dan DPR harus membuat kesepakatan mendasar mengenai politik hukum apa yang akan diterapkan dalam rekodifikasi RKUHP ini. Pilihannya, apakah semua ketentuan pidana materiil harus disatukan ke dalam RKUHP atau dibiarkan terpisah-pisah dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan. Tentu masing-masing akan mempunyai implikasi dan akibat yang berbeda. Dengan demikian, akan jelas status undangundang dan perda yang selama ini mengatur ketentuan pidana di luar KUHP.
Kedua, perlu disepakati mekanisme pembahasan yang efektif dan efisien seperti model clustering agar memudahkan pembahasan pasal-pasal dalam RKUHP yang jumlahnya tersebut.
Langkah ketiga, membuat komitmen yang tinggi dari Presiden dan DPR untuk menyelesaikan RKUHP secara tepat waktu dengan kualitas yang baik dan mampu diterima masyarakat. Jika ini dilakukan, tentu merupakan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, RKUHP ini dapat dianggap sebagai masterpiece produk anak bangsa dalam upaya menyelesaikan salah satu persoalan terbesar dalam pemidanaan di Indonesia. Semoga!
M NASIR DJAMIL
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
Keinginan pemerintah untuk melakukan rekodifikasi KUHP warisan kolonial Belanda secara total justru mengundang sejumlah keraguan. Alhasil, rekodifikasi yang diharapkan mampu menciptakan kesatuan sistem pemidanaan yang terpadu yang antikolonial (dekolonisasi) pun terlihat klise dan secara eksplisit tak tampak dalam draf RKUHP yang diajukan pemerintah.
Keraguan ini pun bukan tanpa alasan, masih ditemukan sejumlah penyimpangan formil dalam RKUHP sebelum masuk pada substansi pasal per pasal. Adapun sejumlah penyimpangan itu di antaranya:
Pertama, RKUHP masih terasa kolonial. Rasa kolonial terlihat dari model pembukuan model pembukuan RKUHP yang tidak jauh berbeda dengan KUHP kolonial yang terdiri atas dua buku, buku pertama berbicara tentang ketentuan umum dan buku kedua tentang tindak pidana (kejahatan). Kendati demikian, RKUHP justru menyimpangi ketentuan aturan main pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini terlihat dari penempatan ketentuan istilah yang diletakkan pada bab terakhir mulai dari Pasal 164 sampai Pasal 217. Sejatinya, ketentuan istilah diletakkan pada Bab 1.
Kedua, RKUHP belum berhasil menyatukan sistem pemidanaan dan tumpang tindihnya ketentuan pidana dalam sejumlah peraturan perundangundangan. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 218 RKUHP yang menyatakan, ”Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab V buku kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang- undangan lain, kecuali ditentukan lain menurut undangundang”.
Ketiga, RKUHP menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan penerapan pasal dalam peraturan perundang-undangan. Sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Narkotika, dan Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi hanya diambil sebagian dan terkesan ”asal comot”. Dengan begitu, munculpertanyaantentang nasib pasal yang tetap dibiarkan dalam undang-undang asalnya.
Keempat, RKUHP terkesan memaksakan diri dengan mengakui ketentuan pidana lain di luarkodifikasi. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 2 yang mengakui kedudukan hukum pidana adat yang hidup di masyarakat. Kelima, masih ditemukan kontradiksi sistem kodifikasi dalam ketentuan peralihan RKUHP.
Hal ini terlihat dari sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa ketentuan undang- undang di luar KUHP harus menyesuaikan paling lama tiga tahun dan setelahnya undang- undang di luar KUHP tersebut dengan sendirinya merupakan bagian dari KUHP. Hal ini jelas melanggar asas lex certa (tidak multitafsir) dan lex stricta (harus ditafsirkan seperti apa yang dibaca) dalam penyusunan sebuah perundangundangan.
Mengaburkan
Kondisi tersebut jelas menunjukkan rekodifikasi setengah hati dalam RKHUP. Damiano Canale (2009) mengatakan tujuan kodifikasi pada era modern adalah: untuk mendesain dan menyimplifikasi perbedaan peraturan perundang- undangan menjadi satu kumpulan dengan maksud memudahkan para praktisi hukum; untuk membuat sistematisasi hukum materiil serta unifikasi hukum sehingga antarpengaturan saling berhubungan; dan untuk membentuk suatu sistem hukum yang baru berdasarkan fundamental politik hukum sehingga masing-masing lembaga hukum saling mendukung untuk tercapainya kesatuan sistem.
Jika mengacu pada pengalaman sejumlah negara, model kodifikasi yang dilakukan jelas berbeda dengan yang dilakukan RKUHP di Indonesia. Sebut saja dalam Wetboek van Stafrecht (WvS), sejak awal pembentukannya tidak memungkinkan ada ketentuan pidana di luar kodifikasi dan semua pengaturan termuat dalam kodifikasi pidananya.
Dengan begitu, tidak diperlukan mekanisme peralihan antara aturan ketentuan pidana di luar kodifikasi untuk dimasukkan dalam kodifikasi pidana. Sekalipun ada pengaturan lebih khusus, hanya untuk menyelesaikan pengaturan yang lebih detail atau spesifik, dan tidak diperuntukkan untuk ada perbedaan asas dan prinsip.
Praktis, situasi politik hukum dalam menentukan rekodifikasi ini perlu mendapatkan perhatian serius. Pilihan politik hukum ini sejatinya dapat tuntas sebelum DPR dan pemerintah membahas pasal per pasal dalam RKUHP.
Peta Jalan
Berdasarkan hal tersebut, penulis memandang perlu ada roadmap atau peta jalan yang harus disepakati Presiden dan DPR sebelum melakukan pembahasan RKUHP. Peta jalan ini harus memuat sejumlah langkah strategis dalam membahas RKUHP ini. Adapun langkah tersebut antara lain:
Pertama, Presiden dan DPR harus membuat kesepakatan mendasar mengenai politik hukum apa yang akan diterapkan dalam rekodifikasi RKUHP ini. Pilihannya, apakah semua ketentuan pidana materiil harus disatukan ke dalam RKUHP atau dibiarkan terpisah-pisah dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan. Tentu masing-masing akan mempunyai implikasi dan akibat yang berbeda. Dengan demikian, akan jelas status undangundang dan perda yang selama ini mengatur ketentuan pidana di luar KUHP.
Kedua, perlu disepakati mekanisme pembahasan yang efektif dan efisien seperti model clustering agar memudahkan pembahasan pasal-pasal dalam RKUHP yang jumlahnya tersebut.
Langkah ketiga, membuat komitmen yang tinggi dari Presiden dan DPR untuk menyelesaikan RKUHP secara tepat waktu dengan kualitas yang baik dan mampu diterima masyarakat. Jika ini dilakukan, tentu merupakan kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, RKUHP ini dapat dianggap sebagai masterpiece produk anak bangsa dalam upaya menyelesaikan salah satu persoalan terbesar dalam pemidanaan di Indonesia. Semoga!
M NASIR DJAMIL
Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
(ftr)