Mafia Asap Harus Diperangi Total
A
A
A
Prof. Tjipta lesmana
Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
Kira-kira dua tahun sebelum masa jabatan Presiden SBY habis, saya bertemu seorang diplomat Kedutaan Singapura di Jakarta. Ketika itu sebagian wilayah Singapura ”ditutup” oleh asap yang ”diekspor” dari daratan Riau.
Separuh penduduk Singapura sudah menggunakan masker karena jarak pandang hanya sekitar 1 km. Pemerintah Singapura sampai melayangkan surat protes kepada Pemerintah Indonesia. Aksi unjuk rasa beberapa kali dilancarkan di kawasan Orchard Road dan di depan Kedutaan Besar RI di Singapura. Saya heran kenapa pemerintah Anda tidak mampu mengatasi masalah asap ini, ya?” tanya diplomat itu dengan nada kesal.
”Ini kan masalah musiman, setiap tahun, saya perhatikan. Why? Why? ” Saya terus diberondong beberapa pertanyaan kritis dan sinis. ”Saya juga tidak mengerti, Tuan!” jawab saya jujur. ”Jangankan pemerintah Anda, saya pun gemas dan muak melihat fenomena asap di negara saya yang tidak pernah ditangani secara serius.” Bicara punya bicara, kemudian sampai menyerempet negara tetangga kita yang satunya lagi, Malaysia.
”Apakah pemerintah Anda takut dengan Malaysia? Bukankah sebagian pemilik lahan yang dibakar itu milik pengusaha Malaysia? Sudah jelas identitas dan alamatnya, kenapa tidak ditindak?” Indonesia memang patut malu kepada dunia internasional, khususnya pemerintah negara- negara tetangga karena urusan asap saja tidak mampu ditangani dan dihentikan.
Setiap tahun, setiap musim kemarau, ratusan hektare lahan dibakar dengan sengaja oleh orang-orang yang pasti disuruh pemiliknya, pengusaha kayu. Sebagian pengusaha kayu itu berkewarganegaraan Malaysia. Ketika lahannya dibakar para bos tentu saja sudah hengkang ke negeri mereka, alias berlibur selama beberapa bulan.
Presiden SBY pernah membawa puluhan pasukan dari keempat angkatan ke Riau untuk menghentikan kebakaran hutan. Dengan seragam berwarna oranye yang tampaknya dibuat khusus untuk itu, dengan latar belakang pesawat Hercules, disertai upacara formal bak upacara peringatan satu hari khusus TNI, Presiden berpidato di panggung, memberikan wejangan bagaimana pasukan yang dibentuk khusus itu harus secepatnya mematikan api di lahan hutan yang begitu luas.
Semua itu seolah menggambarkan keseriusan pemerintahan SBY melawan kebakaran hutan. Pertanyaannya: kenapa baru menjelang akhir tugasnya SBY melakukan gebrakan melawan asap? Kenapa tahun-tahun sebelumnya pemerintah tidak pernah serius membabat ”mafia asap”, sehingga membuat negara tetangga kesal? Rupanya, aksi mengerahkan pasukan TNI untuk mematikan api di hutan-hutan Riau ketika itu tidak lebih pencitraan semata.
Fenomena kebakaran hutan di Indonesia jangan disamakan dengan kebakaran hutan di California, Amerika Serikat. Di negara bagian terbesar di Amerika itu, kebakaran hutan juga terjadi setiap tahun. Tapi, yang terjadi bukanlah pembakaran hutan, melainkan hutan terbakar karena musim kemarau yang panas sekali.
Begitu panas sehingga sinar matahari yang sangat terik itu bisa membakar kayu-kayu ranting yang sangat kering. Sekali hutan terbakar, dibutuhkan waktu berminggu bahkan berbulan untuk menghentikannya. Kenapa? Karena hutannya luas sekali. Kita belum pernah membaca berita bahwa hutan di California memang sengaja dibakar oleh tangan-tangan jahat atau tangan usil.
Di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan, hutan sengaja dibakar karena pengusaha kayu ingin jalan pintas dalam berbisnis. Peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup) mewajibkan pengusaha untuk menanamkan kembali (reboisasi) lahannya setelah kayunya habis dibabat.
Tapi, penanaman kembali membutuhkan waktu bertahun- tahun. Peraturan juga mengatakan pengusaha dibebaskan dari kewajiban reboisasi kalau membayar retribusi kepada pemerintah. Pemerintah yang disuruh untuk menghijaukan kembali lahannya dengan biaya pengusaha pemilik konsesi lahan.
Karena penghijauan kembali membutuhkan waktu lama, di samping effort yang tidak sederhana, pengusaha akhirnya mengambil jalan pintas: menyuruh rakyat yang mau dibayar untuk membakar hutan-hutan tersebut! Setiap tahun ratusan hektare hutan sengaja dibakar. Pemerintah terkesan tidak berdaya. Pejabat pemerintah sudah sering meninjau ke lokasi.
Peta masalah sudah ada. Toh , pembakaran hutan terus berulang setiap tahun. Fenomena pembakaran hutan yang terjadi setiap tahun mencerminkan lemahnya penegakan hutan di negeri kita. Kalau pemerintah sungguh memiliki itikad serius, langkah untuk melawan ”mafia asap” sekaligus menghentikan pembakaran hutan sebetulnya tidak sulit.
Pertama, identifikasi perusahaan pemilik lahan yang sengaja dibakar dan siapa penanggung jawab perusahaan tsb. Kedua, tangkap dan tahan pengusaha itu, kemudian cepat diproses secara hukum. Ketiga, jatuhkan hukuman seberatnya kepada pemilik lahan yang nakal itu dan langsung jebloskan mereka dalamseltahanan.
Keempat, jika kejahatan sudah dilakukan lebih dari sekaliataulebihdari duakali, cabut izin usahanya. Yang terjadi selama ini: yang ditangkap dan diproses hukum adalah rakyat atau penduduk setempat yang tertangkap basah membakar lahan hutan. Hukuman yang dijatuhkan pengadilan biasanya rendah sekali, bahkan kadang cuma 2-3 bulan.
Akibatnya, polisi kehilangan motivasi untuk melawan ”mafia asap”, kata Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Pengusaha kakap si pemilik lahan hutan sepertinya manusia-manusia unctouchable, tidak tersentuh hukum. Kenapa? Aparat pasti disuap. Pasti! Pengusaha-pengusaha hutan, terutama yang dari luar negeri, pasti tahu bahwa penegakan hukum di Indonesia dalam semua sektor kehidupan sangat lemah.
Maka, mereka dengan mudah dan sukses gemilang memanfaatkan salah satu kelemahan utama pemerintah kita. Alhasil, mereka menganggap enteng kasus-kasus pembakaran hutan milik mereka, apa pun konsekuensi yang diakibatkannya. Konsekuensi pembakaran hutan tentu sangat serius. Dari aspek materi, triliunan rupiah kerugian yang diderita pemerintah.
Dari aspek imateriil, khususnya di bidang kesehatan, tidak kalah besar kerugiannya. Ribuan penduduk Riau dewasa ini menderita penyakit ISPA. Aktivitas kehidupan sangat terganggu. Anak-anak sekolah banyak yang terpaksa diliburkan. Bandara udara pun kerap ditutup sehingga mengganggu penerbangan dari dan ke Pekanbaru.
Maka, betapa besar dosa para pengusaha kayu yang melakukan pembakaran lahannya. Dosa memang urusan akhirat. Namun, di dunia sini pemerintah mempunyai tanggung jawab besar untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan serius, melindungi rakyatnya, dan untuk terus meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, pemerintah yang sekarang harus punya keberanian menjerat setiap pengusaha kayu yang sengaja membakar lahan hutannya. Kewajiban hakim juga untuk menjatuhkan hukuman seberat- beratnya terhadap penjahat hutan itu. Kalau Presiden Jokowi juga gagal memerangi kejahatan hutan sehingga pembakaran hutan masih terus berulang dan berulang, Presiden pasti akan kehilangan kredibilitasnya. Rakyat akan serta-merta menuding kerja Presiden kita Cuma ”omong doang ”!
Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
Kira-kira dua tahun sebelum masa jabatan Presiden SBY habis, saya bertemu seorang diplomat Kedutaan Singapura di Jakarta. Ketika itu sebagian wilayah Singapura ”ditutup” oleh asap yang ”diekspor” dari daratan Riau.
Separuh penduduk Singapura sudah menggunakan masker karena jarak pandang hanya sekitar 1 km. Pemerintah Singapura sampai melayangkan surat protes kepada Pemerintah Indonesia. Aksi unjuk rasa beberapa kali dilancarkan di kawasan Orchard Road dan di depan Kedutaan Besar RI di Singapura. Saya heran kenapa pemerintah Anda tidak mampu mengatasi masalah asap ini, ya?” tanya diplomat itu dengan nada kesal.
”Ini kan masalah musiman, setiap tahun, saya perhatikan. Why? Why? ” Saya terus diberondong beberapa pertanyaan kritis dan sinis. ”Saya juga tidak mengerti, Tuan!” jawab saya jujur. ”Jangankan pemerintah Anda, saya pun gemas dan muak melihat fenomena asap di negara saya yang tidak pernah ditangani secara serius.” Bicara punya bicara, kemudian sampai menyerempet negara tetangga kita yang satunya lagi, Malaysia.
”Apakah pemerintah Anda takut dengan Malaysia? Bukankah sebagian pemilik lahan yang dibakar itu milik pengusaha Malaysia? Sudah jelas identitas dan alamatnya, kenapa tidak ditindak?” Indonesia memang patut malu kepada dunia internasional, khususnya pemerintah negara- negara tetangga karena urusan asap saja tidak mampu ditangani dan dihentikan.
Setiap tahun, setiap musim kemarau, ratusan hektare lahan dibakar dengan sengaja oleh orang-orang yang pasti disuruh pemiliknya, pengusaha kayu. Sebagian pengusaha kayu itu berkewarganegaraan Malaysia. Ketika lahannya dibakar para bos tentu saja sudah hengkang ke negeri mereka, alias berlibur selama beberapa bulan.
Presiden SBY pernah membawa puluhan pasukan dari keempat angkatan ke Riau untuk menghentikan kebakaran hutan. Dengan seragam berwarna oranye yang tampaknya dibuat khusus untuk itu, dengan latar belakang pesawat Hercules, disertai upacara formal bak upacara peringatan satu hari khusus TNI, Presiden berpidato di panggung, memberikan wejangan bagaimana pasukan yang dibentuk khusus itu harus secepatnya mematikan api di lahan hutan yang begitu luas.
Semua itu seolah menggambarkan keseriusan pemerintahan SBY melawan kebakaran hutan. Pertanyaannya: kenapa baru menjelang akhir tugasnya SBY melakukan gebrakan melawan asap? Kenapa tahun-tahun sebelumnya pemerintah tidak pernah serius membabat ”mafia asap”, sehingga membuat negara tetangga kesal? Rupanya, aksi mengerahkan pasukan TNI untuk mematikan api di hutan-hutan Riau ketika itu tidak lebih pencitraan semata.
Fenomena kebakaran hutan di Indonesia jangan disamakan dengan kebakaran hutan di California, Amerika Serikat. Di negara bagian terbesar di Amerika itu, kebakaran hutan juga terjadi setiap tahun. Tapi, yang terjadi bukanlah pembakaran hutan, melainkan hutan terbakar karena musim kemarau yang panas sekali.
Begitu panas sehingga sinar matahari yang sangat terik itu bisa membakar kayu-kayu ranting yang sangat kering. Sekali hutan terbakar, dibutuhkan waktu berminggu bahkan berbulan untuk menghentikannya. Kenapa? Karena hutannya luas sekali. Kita belum pernah membaca berita bahwa hutan di California memang sengaja dibakar oleh tangan-tangan jahat atau tangan usil.
Di Indonesia, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan, hutan sengaja dibakar karena pengusaha kayu ingin jalan pintas dalam berbisnis. Peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan (kini Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup) mewajibkan pengusaha untuk menanamkan kembali (reboisasi) lahannya setelah kayunya habis dibabat.
Tapi, penanaman kembali membutuhkan waktu bertahun- tahun. Peraturan juga mengatakan pengusaha dibebaskan dari kewajiban reboisasi kalau membayar retribusi kepada pemerintah. Pemerintah yang disuruh untuk menghijaukan kembali lahannya dengan biaya pengusaha pemilik konsesi lahan.
Karena penghijauan kembali membutuhkan waktu lama, di samping effort yang tidak sederhana, pengusaha akhirnya mengambil jalan pintas: menyuruh rakyat yang mau dibayar untuk membakar hutan-hutan tersebut! Setiap tahun ratusan hektare hutan sengaja dibakar. Pemerintah terkesan tidak berdaya. Pejabat pemerintah sudah sering meninjau ke lokasi.
Peta masalah sudah ada. Toh , pembakaran hutan terus berulang setiap tahun. Fenomena pembakaran hutan yang terjadi setiap tahun mencerminkan lemahnya penegakan hutan di negeri kita. Kalau pemerintah sungguh memiliki itikad serius, langkah untuk melawan ”mafia asap” sekaligus menghentikan pembakaran hutan sebetulnya tidak sulit.
Pertama, identifikasi perusahaan pemilik lahan yang sengaja dibakar dan siapa penanggung jawab perusahaan tsb. Kedua, tangkap dan tahan pengusaha itu, kemudian cepat diproses secara hukum. Ketiga, jatuhkan hukuman seberatnya kepada pemilik lahan yang nakal itu dan langsung jebloskan mereka dalamseltahanan.
Keempat, jika kejahatan sudah dilakukan lebih dari sekaliataulebihdari duakali, cabut izin usahanya. Yang terjadi selama ini: yang ditangkap dan diproses hukum adalah rakyat atau penduduk setempat yang tertangkap basah membakar lahan hutan. Hukuman yang dijatuhkan pengadilan biasanya rendah sekali, bahkan kadang cuma 2-3 bulan.
Akibatnya, polisi kehilangan motivasi untuk melawan ”mafia asap”, kata Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya. Pengusaha kakap si pemilik lahan hutan sepertinya manusia-manusia unctouchable, tidak tersentuh hukum. Kenapa? Aparat pasti disuap. Pasti! Pengusaha-pengusaha hutan, terutama yang dari luar negeri, pasti tahu bahwa penegakan hukum di Indonesia dalam semua sektor kehidupan sangat lemah.
Maka, mereka dengan mudah dan sukses gemilang memanfaatkan salah satu kelemahan utama pemerintah kita. Alhasil, mereka menganggap enteng kasus-kasus pembakaran hutan milik mereka, apa pun konsekuensi yang diakibatkannya. Konsekuensi pembakaran hutan tentu sangat serius. Dari aspek materi, triliunan rupiah kerugian yang diderita pemerintah.
Dari aspek imateriil, khususnya di bidang kesehatan, tidak kalah besar kerugiannya. Ribuan penduduk Riau dewasa ini menderita penyakit ISPA. Aktivitas kehidupan sangat terganggu. Anak-anak sekolah banyak yang terpaksa diliburkan. Bandara udara pun kerap ditutup sehingga mengganggu penerbangan dari dan ke Pekanbaru.
Maka, betapa besar dosa para pengusaha kayu yang melakukan pembakaran lahannya. Dosa memang urusan akhirat. Namun, di dunia sini pemerintah mempunyai tanggung jawab besar untuk menghukum siapa saja yang melakukan kejahatan serius, melindungi rakyatnya, dan untuk terus meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Karena itu, pemerintah yang sekarang harus punya keberanian menjerat setiap pengusaha kayu yang sengaja membakar lahan hutannya. Kewajiban hakim juga untuk menjatuhkan hukuman seberat- beratnya terhadap penjahat hutan itu. Kalau Presiden Jokowi juga gagal memerangi kejahatan hutan sehingga pembakaran hutan masih terus berulang dan berulang, Presiden pasti akan kehilangan kredibilitasnya. Rakyat akan serta-merta menuding kerja Presiden kita Cuma ”omong doang ”!
(ars)