Rebut FIR!
A
A
A
Setelah sekian lama tenang, hubungan Indonesia-Singapura kembali gaduh. Gejolak terakhir dipicu pelanggaran pesawat tempur negeri jiran tersebut di wilayah udara Indonesia, tepatnya di Kepulauan Natuna di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Atas pelanggaran tersebut TNI mengambil tindakan tegas dengan mengusir seluruh pesawat milik Angkatan Udara Republik Singapura (RSAF) tersebut. Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo secara tegas menggariskan, sebagai pengelola navigasi udara atau Flight Information Region (FIR), Negeri Singa hanya berhak menentukan danger area untuk keselamatan penerbangan, bukan untuk latihan militer.
Jika melakukan latihan militer tanpa izin Indonesia, Singapura berarti melanggar regulasi Konvensi Annex 11 ayat 2 Pasal 1 poin 1. Di sisi lain, TNI juga menganggap perjanjian Military Tranining Area (2007) di wilayah Natuna yang kemudian berganti menjadi Defence Cooperation Agreement (DCA) di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak berlaku karena tidak mendapat persetujuan DPR.
Munculnya persoalan tersebut telah mengingatkan kembali bahwa FIR di Kepri dan Natuna, dengan unsur utamanya air traffic control (ATC), merupakan satu titik kritis dalam konteks hubungan bilateral kedua negara, yang hingga kini belum ada ujungnya. Di sisi lain, munculnya konflik FIR mengingatkan keprihatinan akan terampasnya martabat Indonesia karena sebagian kedaulatannya telah direnggut Singapura.
Sampai kapan kondisi tersebut terjadi? Sejauh ini, langkah yang diambil pemerintah untuk kembali mengambil kembali wilayah udara secara utuh yang sudah dimulai sejak 1993 terhenti pada di wacana. Padahal, langkah tersebut terbuka lebar dengan adanya UU Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, artikel 1 dan 2 dari Konvensi Chicago 1944 tentang FIR, konvensi hukum laut internasional, dan UU Nomor 43/2008 tentang Otoritas Negara.
TNI pantas terus berteriak lantang untuk mengingatkan agar pemerintah kembali merebut supremasi udara di wilayah yang dikuasai negeri jiran tersebut sejak mendapatkan mandat dari International Civil Aviaton Organization (ICAO) pada 1946. Bagi TNI, kedaulatan negara dan aspek strategi pertahanan tidak bisa ditawar-tawar. Belum lagi nilai ekonomi yang terlepas dari genggaman Indonesia.
Dalam konteks kedaulatan negara, kesadaran akan ruang dan garis batas (space conception) sangat esensial untuk menjaga kelangsungan hidup dan keutuhan wilayah suatu negara, dalam hal ini NKRI. TNI sebagai tulang punggung pertahanan negara harus berpegang teguh pada UU Nomor 3/ 2002 tentang Pertahanan Negara dengan pesan utama pertahanan negara untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
Dalam aspek strategi pertahanan, penguasaan FIR pasti berimplikasi luas pada aspek pertahanan udara. Dalam konteks geopolitik, ada pemahaman bahwa penguasaan udara merupakan cermin keberhasilan suatu negara dalam menjaga kedaulatannya. Dengan FIR di tangan Singapura, wilayah udara seluas 100 nautica mile membentang di atas Natuna, Kepri dan Riau, hingga Tanjung Pinang dan Palembang otomatis kontrol udara berada di bawah kendali negara yang disebut mantan Presiden BJ Habibie sebagai a little dot red .
“Bagaimana kita bisa mengamankan wilayah udara kita jika beberapa daerah masih diawasi oleh negara lain?” seru KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna pada pertemuan eksekutif Angkatan Udara di Cilangkap, Jakarta Timur, awal Februari lalu. Dalam konteks perang modern, supremasi udara akan sangat berpengaruh pada supremasi di darat maupun laut. Dengan demikian, merebut FIR secepatnya adalah keharusan yang tidak bisa ditawar.
Namun, Indonesia tidak boleh asal merebut karena di dalamnya ada tanggung jawab keselamatan penerbangan, di antaranya terkait informasi penerbangan dan alert service (ALRS). Karena itu, bersamaan dengan perjuangan merebut kembali kedaulatan udara Indonesia juga menyiapkan SDM, infrastruktur navigasi, dan penguatan diplomasi.
Atas pelanggaran tersebut TNI mengambil tindakan tegas dengan mengusir seluruh pesawat milik Angkatan Udara Republik Singapura (RSAF) tersebut. Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo secara tegas menggariskan, sebagai pengelola navigasi udara atau Flight Information Region (FIR), Negeri Singa hanya berhak menentukan danger area untuk keselamatan penerbangan, bukan untuk latihan militer.
Jika melakukan latihan militer tanpa izin Indonesia, Singapura berarti melanggar regulasi Konvensi Annex 11 ayat 2 Pasal 1 poin 1. Di sisi lain, TNI juga menganggap perjanjian Military Tranining Area (2007) di wilayah Natuna yang kemudian berganti menjadi Defence Cooperation Agreement (DCA) di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak berlaku karena tidak mendapat persetujuan DPR.
Munculnya persoalan tersebut telah mengingatkan kembali bahwa FIR di Kepri dan Natuna, dengan unsur utamanya air traffic control (ATC), merupakan satu titik kritis dalam konteks hubungan bilateral kedua negara, yang hingga kini belum ada ujungnya. Di sisi lain, munculnya konflik FIR mengingatkan keprihatinan akan terampasnya martabat Indonesia karena sebagian kedaulatannya telah direnggut Singapura.
Sampai kapan kondisi tersebut terjadi? Sejauh ini, langkah yang diambil pemerintah untuk kembali mengambil kembali wilayah udara secara utuh yang sudah dimulai sejak 1993 terhenti pada di wacana. Padahal, langkah tersebut terbuka lebar dengan adanya UU Nomor 1/2009 tentang Penerbangan, artikel 1 dan 2 dari Konvensi Chicago 1944 tentang FIR, konvensi hukum laut internasional, dan UU Nomor 43/2008 tentang Otoritas Negara.
TNI pantas terus berteriak lantang untuk mengingatkan agar pemerintah kembali merebut supremasi udara di wilayah yang dikuasai negeri jiran tersebut sejak mendapatkan mandat dari International Civil Aviaton Organization (ICAO) pada 1946. Bagi TNI, kedaulatan negara dan aspek strategi pertahanan tidak bisa ditawar-tawar. Belum lagi nilai ekonomi yang terlepas dari genggaman Indonesia.
Dalam konteks kedaulatan negara, kesadaran akan ruang dan garis batas (space conception) sangat esensial untuk menjaga kelangsungan hidup dan keutuhan wilayah suatu negara, dalam hal ini NKRI. TNI sebagai tulang punggung pertahanan negara harus berpegang teguh pada UU Nomor 3/ 2002 tentang Pertahanan Negara dengan pesan utama pertahanan negara untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.
Dalam aspek strategi pertahanan, penguasaan FIR pasti berimplikasi luas pada aspek pertahanan udara. Dalam konteks geopolitik, ada pemahaman bahwa penguasaan udara merupakan cermin keberhasilan suatu negara dalam menjaga kedaulatannya. Dengan FIR di tangan Singapura, wilayah udara seluas 100 nautica mile membentang di atas Natuna, Kepri dan Riau, hingga Tanjung Pinang dan Palembang otomatis kontrol udara berada di bawah kendali negara yang disebut mantan Presiden BJ Habibie sebagai a little dot red .
“Bagaimana kita bisa mengamankan wilayah udara kita jika beberapa daerah masih diawasi oleh negara lain?” seru KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna pada pertemuan eksekutif Angkatan Udara di Cilangkap, Jakarta Timur, awal Februari lalu. Dalam konteks perang modern, supremasi udara akan sangat berpengaruh pada supremasi di darat maupun laut. Dengan demikian, merebut FIR secepatnya adalah keharusan yang tidak bisa ditawar.
Namun, Indonesia tidak boleh asal merebut karena di dalamnya ada tanggung jawab keselamatan penerbangan, di antaranya terkait informasi penerbangan dan alert service (ALRS). Karena itu, bersamaan dengan perjuangan merebut kembali kedaulatan udara Indonesia juga menyiapkan SDM, infrastruktur navigasi, dan penguatan diplomasi.
(bhr)