Saat Pasutri Sepakat Korupsi

Sabtu, 05 September 2015 - 09:03 WIB
Saat Pasutri Sepakat...
Saat Pasutri Sepakat Korupsi
A A A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas Bosowa 45, Makassar



Dua ormas besar umat Islam di negeri ini, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, belum lama ini menggelar muktamar di awal Agustus 2015.

Keduanya mengeluarkan rekomendasi sebagai peringatan keras terhadap semakin maraknya perilaku korupsi di negeri ini. Rekomendasi keras NU adalah agar koruptor dihukum mati, sedangkan dari Muhammadiyah muncul peringatan agar tak boleh disalati. Kendati bukan hal baru karena hukuman mati sudah diatur dalam UU Korupsi Nomor 31/1999 dengan syarat tertentu, seruan patut diapresiasi karena korupsi semakin sulit dibendung.

Korupsi mengancam kelangsungan pembangunan yang dibarengi beragam modus. Bukan hanya tercipta talenta baru koruptor dari kalangan usia muda, melainkan juga pasangan suami istri (pasutri) sudah bersepakat melakukan korupsi. Berdasarkan fakta yang terungkap dalam berbagai pemberitaan media, sudah lima pasutri penyelenggara negara yang digiring ke ruang terali besi karena diduga dan terbukti melakukan korupsi.

Sebut saja Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri dan istrinya, Suzanna; Wali Kota Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyito; mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dan istrinya, Neneng Sri Wahyuni; serta bekas Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah. Pasutri terbaru yang ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korusp (KPK) adalah Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evy Susanti pada Selasa (28/7/2015).

Keduanya langsung ditahan di Rutan Cipinang, Jakarta karena diduga terlibat kasus pemberian suap kepada hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Sebelumnya KPK menetapkan tiga hakim PTUN Medan, panitera, pengacara yang memberi suap, serta OC Kaligis yang juga diduga terlibat.

Basis Antikorupsi

Keluarga seharusnya menjadi benteng yang kuat untuk menangkal godaan dan serangan korupsi. Ia menjadi teladan sekaligus basis pendidikan dasar antikorupsi. Dalam keluargalah semua tatanan kehidupan dibangun berdasarkan nilai-nilai moral yang senantiasa memilah mana perbuatan baik dan tidak baik.

Keluarga seyogianya menjadi pintu pertama dan utama menanamkan nilainilai antikorupsi kepada anggota keluarga sejak dini. Tapi, celakanya, karena contoh buruk perilaku koruptif justru dilakukan anutan keluarga, bapak dan ibu. Berdasarkan fakta yang terungkap dalam berbagai sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (tipikor), suami yang penyelenggara negara menyeret istri dan anak-anaknya ke dalam kubangan korupsi dengan beragam modus.

Misalnya, istri, anak, dan menantu didesain sebagai pengusaha yang nantinya akan memenangkan setiap proyek. Ada juga yang dijadikan tempat penampungan hasil korupsi atau pencucian uang dengan cara: memasukkan uang hasil korupsi ke dalam rekening istri, anak-anak, dan menantu. Modus lainnya, harta bergerak dan tidak bergerak hasil korupsi diatasnamakan atau dialihkan kepemilikannya kepada istri, anak, dan menantu. Tidak sedikit dari keluarga dekat juga menjadi broker proyek terhadap pengusaha. Mereka menjadi penghubung atau penjamin kalau proposal lelang pengadaan barang dan jasa akan dimenangi bapaknya.

Tentu saja tidak gratis, jasanya memenangkan lelang (tender) proyek akan dibayar sebagai balas jasa (fee) oleh sang pengusaha. Modus ini dianggap seolah-olah halal alias bukan penyimpangan yang berbau korupsi. Seharusnya sang bapak yang memegang kendali anggaran, punya tanggung jawab mendidik anak-anaknya agar tidak melibatkan diri dari urusan kantor. Kalau jejaring korupsi terjadi dalam lingkungan keluarga, ke depan korupsi akan semakin sulit diperangi.

Sepertinya negeri ini mulai mengalami krisis keteladanan, sebab boleh jadi masih banyak penyelenggara negara seperti kepala daerah yang bersekongkol dengan istri dan anak-anaknya untuk korupsi. Kewenangan yang dimiliki terhadap penggunaan anggaran menjadi bumerang meruntuhkan martabat keluarga.

Bukan Terobosan

Dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Sumatera Utara dan istrinya rupanya lain lagi polanya. Sang istri yang berstatus pengusaha diduga sebagai penyandang dana sogokan kepada hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan. Gugatan ke PTUN terhadap penetapan penyidikan kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) digugat sebagai keputusan pejabat tata usaha negara. Padahal, penetapan penyidikan kasus hukum dan penetapan tersangka bukan ranah PTUN.

Kalau ada kekeliruan penetapan penyidikan atau penetapan tersangka, Mahkamah Konstitusi telah membuka ruang untuk digugat melalui praperadilan, meski sebelumnya tidak dibenarkan dalam KUHAP. Ada dugaan kalau gugatan itu karena ambisi tertentu sebagai “terobosan hukum” dengan menyatakan tidak sah penetapan penyidikan oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Hal itu diungkap pengacara Gubernur Sumatera Utara dan istrinya, Razman Arief Nasution (Tribuntimur.com, 4/8/2015). Terobosan hukum sah-sah saja diupayakan asal dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Fakta operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap transaksi suap terhadap majelis hakim PTUN dan panitera, bisa dijadikan indikasi kalau ada sesuatu yang hilang dari pemberantasan korupsi.

Hukum dan moral sebagai akar kehidupan masyarakat adalah dua entitas dalam penegakan hukum yang tidak boleh diingkari apalagi dipisahkan. Rupanya Indonesia dianggap sebagai “laboratorium hukum” seperti pernah diungkap oleh Satjipto Rahardjo lantaran hampir semua persoalan hukum dan penegakannya yang tidak ditemui di negara lain terjadi dan disaksikan dengan kasatmata. Itu yang menarik para pengamat hukum negara lain datang ke Indonesia melakukan penelitian.

Mereka ingin menyaksikan dan membuktikan penegakan hukum yang beragam dan aneh-aneh. Agar penegak hukum tidak terbelenggu pada paham bahwa apa pun bisa dilakukan untuk mencapai tujuan, mereka harus kembali pada formula penegakan hukum berbasis keadilan.

Rakyat harus diberi pemahaman bahwa negeri ini tidak akan pernah keluar dari kubangan korupsi, jika segala cara dilakukan di luar mekanisme hukum, apalagi menyogok hakim. Lebih mendasar lagi, perlu gerakan secara masif pendidikan antikorupsi dengan menjadikan keluarga sebagai basisnya.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0526 seconds (0.1#10.140)