Jurus Rajawali Ngepret

Sabtu, 29 Agustus 2015 - 10:33 WIB
Jurus Rajawali Ngepret
Jurus Rajawali Ngepret
A A A
Dalam ilmu bela diri, jurus rajawali, jurus harimau, juru naga, jurus ular, jurus kera, jurus bangau, dan jurus- jurus lainnya yang menggunakan nama-nama hewan atau tumbuhan atau benda lainnya dianggap merepresentasikan keunggulan tersendiri khususnya dalam mempertahankan hidup sekaligus menaklukkan lawan.

Jurus-jurus tersebut berkembang hampir di sebagian ilmu bela diri apakah kungfu, judo, jiujitsu, karate, sumo, taekwondo, maupun pencak silat. Argumentasi penggunaan jurus-jurus yang memakai nama makhluk hidup (hewan atau tumbuhan) dimaksudkan untuk mengadopsi perilaku dan gerakan hewan atau tumbuhan tersebut untuk bertahan hidup sekaligus dalam menaklukkan serangan yang mengancamnya.

Secara alami hewan atau tumbuhan akan mempertahankan tingkat keamanan dan keselamatannya dengan berbagai keunggulan yang dimilikinya. Inilah yang kemudian ditiru oleh ilmu bela diri dan dijadikan jurus-jurus tertentu. Dalam sejarah Nusantara, ilmu bela diri yang kita kenal juga berkembang di setiap kebudayaan yang masuk di Indonesia mulai dari zaman masuknya kebudayaan Hindu, Buddha, hingga Islam.

Masing-masing memberikan corak tersendiri dalam seni ilmu bela diri. Memang pengaruh seperti kungfu (China) atau karate (Jepang) cukup dominan dalam seni ilmu bela diri di Indonesia.

Namun, sejak zaman Kerajaan Majapahit, Singosari, hingga Sriwijaya, ilmu bela diri terus berkembang dengan menggunakan jurus-jurus seperti yang dijelaskan di atas, bahkan dengan menyebut gerak spesifik seperti jurus daun melayang, pukulan pedangan, maju selangkah memukul, cakar harimau, tapak naga, rajawali terbang, dan sebagainya. ***

Terkait sejumlah jurus-jurus di atas, beberapa waktu terakhir ini masyarakat diperkenalkan dengan jurus ”rajawali ngepret ”. Jurus ini diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli sebagai manifestasi atas apa yang dilakukannya sesaat setelah dilantik menjadi menteri oleh Presiden Jokowi.

Kritik terkait pembangunan listrik 35.000 MW dan rencana pembelian armada Garuda Indonesia, menurut Rizal Ramli, merupakan terapi kejut (shock therapy) sekaligus jurus ”rajawali ngepret ”. Jurus ini tentu terkesan nyeleneh dan sepertinya mengikuti jurus-jurus ilmu bela diri yang ada dalam sejumlah cerita apakah fiksi, drama, maupun komik.

Taruhlah misalnya serial drama Pendekar Rajawali Sakti dan novelnya berjudul Trilogi Rajawali yang banyak menggunakan jurus-jurus nyeleneh seperti tapak besi, golok naga, penakluk naga, cakar elang, tapak besi, kodok beracun, telapak duka, teratai sakti, dan seterusnya.

Atau, di Tanah Air sendiri mungkin kita masih mengingat serial fiksi Wiro Sableng, pendekar kapak maut naga geni 212 dengan segudang jurus yang terkesan nyeleneh . Sebut saja jurus kunyuk melempar buah, pukulan harimau dewa, pukulan sinar matahari, orang gila mengebut lalat, naga sebatkan ekor, ular gila membelit pohon menarik gendewa, ular naga menggelung bukit, burung walet menembus awan, rajawali membubarkan anak ayam, dan seterusnya.

Dari sejumlah jurus baik dari tinjauan historis maupun fiksi memang kita tidak menemukan jurus ”rajawali ngepret ”. Jurus yang menurut Rizal Ramli dapat membawa ”angin dari luar yang kencang ke dalam agar bawa perubahan”. Bisa jadi jurus ini adalah jurus baru yang coba diperkenalkan Menteri Rizal Ramli. ***

Dalam kamus bahasa Indonesia memang kita tidak akan menemui kata ”ngepret ”. Kata itu mungkin relatif dapat ditemui dalam bahasa lokal setempat seperti Jawa, atau dalam kamus Boso Osing, bahasa suku asli Banyuwangi. Dalam kamus Boso Osing, ngepret berarti ”lari ketakutan”.

Jika dipadukan dalam jurus rajawali ngepret, berarti jurus tersebut bertujuan menyerang sang rajawali hingga lari ketakutan. Memang pertanyaannya kemudian siapakah yang dimaksud sang rajawali tersebut? Apakah Wakil Presiden Jusuf Kalla? Atau, ada yang lain?

Dari segi substansi dan semangat Nawacita, Presiden Joko Widodo memang mengingatkan perubahan yang mendasar dan kemudian dikam-panyekan sebagai gerakan ”Revolusi Mental”. Namun, dari sisi etika komunikasi dan komunikasi politik, tindakan yang dilakukan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli tentu sulit untuk diterima oleh siapa pun yang memahami etika komunikasi dan komunikasi politik.

Sebagai bagian dari tim kabinet pemerintahan Jokowi- JK, tentu Rizal Ramli tidak pada tempatnya mengeluarkan jurus ”rajawali ngepret” karena seolah- olah ada bentuk perlawanan terhadap pemimpinnya sendiri. Ini tentu berkesan tidak etis baik dari aspek komunikasi maupun manajemen pemerintahan.

Berbeda jika jurus itu dikeluarkan apabila beliau tidak berada dalam bagian kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Dalam paradigma demokrasi populis (a populistic democratic paradigm ), komunikasikomunikasi publik biasa dilakukan oleh elite politik melalui media diharapkan dapat mendorong legitimasinya di hadapan publik (Page, 2002).

Tentu legitimasi ini dibutuhkan untuk mendapatkan sokongan politik yang memadai, khususnya terkait eksistensi sang elite dalam pusaran politik. Sosiolog Jerman Ulrich Bech (1994) menyebut gejala ini sebagai refleksi kebutuhan masyarakat yang cenderung mengedepankan appearance dibanding substansinya. Ini yang kemudian dikenal sebagai budaya pop.

Namun, dalam kasus ”rajawali ngepret”, hal ini sulit diterima mengingat Rizal Ramli merupakan bagian dari kabinet yang diangkat oleh Presiden. Artinya, jika benar ada ”rajawali” yang ingin ”di-kepret ”, pertanyaannya dialamatkan ke mana pernyataan tersebut? Sadar atau tidak, Rizal Ramli mencoba mencuri perhatian publik untuk mendapatkan legitimasi politik melalui opini yang berkembang di publik (ini konsekuensi logis dari sistem demokrasi modern).

Namun, juga patut dicatat bahwa komunikasi ini berimplikasi setidaknya pada dua hal. Pertama, derajat kesimpatian publik belum tentu membenarkan Rizal Ramli baik secara substansi apalagi dari etika komunikasi.

Kedua, legitimasi politik JK tentu lebih dipercaya publik mengingat JK merupakan pasangan Presiden yang dipilih langsung oleh pemilih (voters). Berbeda dengan Rizal Ramli yang diangkat oleh Presiden. Ini yang menjadi persoalan pelik dalam proses komunikasi politik saat ini, bahkan di tengah pusat rezim yang tengah berkuasa. ***

Memang dalam banyak hal, pemerintahan Jokowi-JK perlu menata kembali pola komunikasi dalam armada kepemimpinannya. Sepanjang 10 bulan kepemimpinan Jokowi-JK, ada persoalan komunikasi internal kabinet yang tidak berjalan optimal, bahkan kontraproduktif. Belum lagi persoalan komunikasi politik ke publik yang menurut saya sangat minimalis.

Saat ini publik membutuhkan dorongan optimisme, kepercayaan diri pemerintah, dan keyakinan pemerintah bahwa program dan kebijakan yang sekarang ditempuh merupakan pilihan terbaik demi mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

Revolusi Mental tentu sangat dibutuhkan tidak hanya dalam membawa perubahan fundamental dalam penyelenggaraan negara, tetapi juga dalam komunikasi internal penyelenggara negara, antara kemenetrian- lembaga, antara Presiden-Wakil Presiden.

Harmonisasi komunikasi antara penyelenggara negara perlu ditonjolkan dalam gesture politik pemerintahan Jokowi-JK sehingga kepercayaan masyarakat bisa terus ditingkatkan khususnya di tengah situasi ekonomi yang terus melambat, daya beli masyarakat menurun, dan sejumlah indikator makro yang tidak menggembirakan.

Hemat saya, perlu gerakan konkret dari Presiden Jokowi untuk mengendalikan situasi ini. Tanpa menegasikan kemampuan komunikasi dan empati Presiden Jokowi, strong leadership juga menjadi kebutuhan mendesak bagi rezim Jokowi- JK saat ini.

RIZAL E HALIM
Direktur Lingkar Studi Efokus, Peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0960 seconds (0.1#10.140)