Solusi Calon Tunggal
A
A
A
Pilkada serentak gelombang pertama yang sedianya diselenggarakan pada 9 Desember 2015 terancam tidak serentak untuk sejumlah daerah yang sampai akhir perpanjangan masa pendaftaran hanya diikuti calon tunggal.
Awalnya terdapat 13 daerah dengan calon tunggal, bahkan satu daerah tidak ada satu pun pendaftar, namun setelah KPU memperpanjang masa pendaftaran tersisa tujuh daerah dengan calon tunggal. Pada perkembangannya kemudian, Bawaslu melalui Surat Nomor 0213/Bawaslu/VIII/ 2015 tertanggal 5 Agustus merekomendasikan agar KPU memperpanjang (kembali) masa pendaftaran pilkada di tujuh daerah dimaksud.
Meski rekomendasi Bawaslu ini dipertanyakan legitimasinya menyangkut dasar hukum yang dijadikan pijakan–karena sejatinya UU hanya memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk merekomendasikan ihwal terkait dugaan pelanggaran dan sengketa pilkada, dan bukan yang lainnya–KPU memutuskan mengikuti rekomendasi Bawaslu dengan memperpanjang masa pendaftaran selama 3 (tiga) hari terhitung mulai 9 hingga 11 Agustus.
Alhasil, daerah dengan calon tunggal saat ini tersisa menjadi tiga daerah saja yaitu Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, Kabupaten Blitar di Jawa Timur, serta Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur (NTT). Terhadap tiga daerah tersebut, KPU telah memutuskan pilkadanya ditunda sampai gelombang berikutnya pada 2017.
Jumlah ini masih akan bertambah karena Kota Surabaya, Kota Samarinda, dan Kabupaten Pacitan, yang sebelumnya calon tunggal lalu bertambah menjadi dua pasang calon, masih baru akan ditetapkan hasil verifikasinya pada 30 Agustus mendatang. Pun masih terdapat 78 daerah dengan dua pasang calon yang bisa saja tidak lolos verifikasi KPU pada penetapan 24 Agustus.
Namun, keputusan KPU untuk menunda pilkada bagi daerah dengan calon tunggal ini rupanya masih mendapatkan sorotan ihwal agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sehingga pilkada tetap dapat digelar serentak.
Problematik Legalitas dan Legitimasi
Jika perppu menjadi pilihan kebijakan Presiden/pemerintah untuk mengatasi calon tunggal, setidaknya terdapat 2 (dua) alternatif yang diwacanakan sebagai penyelesaian calon tunggal. Dalam hemat penulis, keduanya problematik dengan catatan kritis penulis sebagai berikut.
Pertama, calon tunggal langsung ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Usul ini bertentangan dengan Konstitusi Pasal 18 Ayat (4) yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Kedua, calon tunggal tetap dipilih rakyat dengan suara mayoritas (semacam referendum) sehingga yang bersangkutan hanya dapat ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih hanya jika mendapatkan suara mayoritas pemilih.
Alternatif lain adalah pemilihan dilakukan antara calon tunggal dengan kolom atau bumbung/kotak kosong. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Pilkada yang mengatur bahwa pilkada diikuti minimal oleh dua pasang calon. Di luar persoalan substansi, penerbitan perppu juga akan dipertanyakan dan diperdebatkan mengenai ihwal legalitas dan legitimasinya.
Pertama, oleh sebagian kalangan perppu dianggap menyelamatkan hak memilih dan dipilih rakyat dalam pilkada sebagaimana dijamin UUD, tetapi di sisi lain UUD juga mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut untuk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang (vide: Pasal 28J ayat (2)). UU Pilkada jelas menegaskan bahwa pilkada diikuti minimal oleh dua pasang calon.
Hal ini harus dibaca sebagai pembatasan yang dilakukan UU untuk menjamin pilkada memenuhi prinsip-prinsip demokrasi. Pertanyaannya, apakah mungkin perppu membela hak di satu sisi, tapi bertentangan dengan UU di sisi yang lain?
Kedua, penerbitan perppu akan menambah komplikasi permasalahan menyangkut keabsahan alasan ”kegentingan yang memaksa” dikeluarkannya perppu sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 22 ayat (1). Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/ 2009 memberi ”rambu” sebagai parameterada” kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan perppu.
Pertanyaannya, apakah benar ada kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi calon tunggal di tujuh daerah, benarkah terjadi kekosongan hukum atau undangundang tidak memadai? Bukankah secara normatif terdapat aturan terkait pendaftaran pasangan calon dan antisipasi jika hanya diikuti calon tunggal sebagaimana diatur dalam PKPU 12/ 2015? Tentu perppu tidak dapat menabrak aturan UU.
Ketiga, jika perppu diberlakukan, dalam realisasi belum tentu sesuai rencana karena sangat dimungkinkan saat pengajuan kepada DPR ada manuver politik/kepentingan politik. Bagaimana legalitas perppu yang sudah dilaksanakan lalu dibatalkan oleh DPR? Bisa saja perppu ditolak DPR sehingga kembali terjadi kekosongan hukum berikut komplikasinya mengingat tahap pilkada masih berjalan dan masih akan ada pilkada serentak gelombang berikutnya. Jika kondisi politik tidak stabil, akan memicu masalah sosial.
Tunda dan Revisi UU
Penulis berpendapat Presiden/ pemerintah harus cermat dan berhati-hati dalam memutuskan polemik calon tunggal ini, terutama jika ingin mengeluarkan perppu. Penulis berharap Presiden mempertimbangkan komplikasi permasalahan yang akan terjadi.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, ketika era Presiden Habibie telah dirumuskan perppu terkait penanganan konflik di Maluku dan Aceh, namun tidak jadi keluarkan karena salah satu pertimbangan pandangan dunia internasional sehingga berbagai alasan menjadi penting untuk dicermati.
Semua alternatif materi perppu yang diwacanakan di atas mengandung problematik baik dari sisi legalitas maupun legitimasinya. Menetapkan langsung calon tunggal sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih jelas bertentangan dengan UUD. Melakukan pemilihan calon tunggal, tapi tanpa lawan/ lawan kotak kosong juga bertentangan dengan UU Pilkada.
Atas semua problematik diatas, yang paling aman adalah kembali mengikuti PKPU 12/2015 yakni dilakukan penundaan pilkada sampai 2017 dengan catatan pengangkatan Plt harus dipastikan dilakukan secara profesional dan menutup ruang gerak terjadi politisasi oleh Plt dalam memenangkan calon tertentu (petahana atau partai yang dekat dengan penguasa).
Penulis melihat akar permasalahan pilkada serentak ada pada UU sehingga revisi UU Pilkada memang perlu dilakukan. Hanya, revisi dimaksud tidak hanya menyoal antisipasi calon tunggal, tapi juga dilakukan secara komprehensif diorientasikan untuk peningkatan kualitas pilkada dan calon pemimpin terpilih.
Fenomena calon tunggal harus dilihat faktor penyebabnya antara lain karena undang-undang mengetatkan syarat dukungan pencalonan baik bagi partai politik (20% kursi DPRD atau 25% perolehan suara) maupun perseorangan (minimal 6,5%-10% berdasarkan kluster jumlah penduduk) sehingga sulit bagi parpol dan perseorangan memenuhi syarat tersebut.
Karena itu, syarat dukungan pencalonan mutlak diringankan terutama untuk calon perseorangan. Revisi ke depan juga perlu memuat ancaman pidana bagi permintaan uang mahar kepada calon yang dalam banyak kasus juga menyebabkan keengganan sejumlah tokoh potensial untuk mencalonkan diri.
Penulis menilai putusan MK terbaru yang mengharuskan calon yang merupakan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk mengundurkan diri saat pendaftaran juga memberi andil semakin minimnya tokoh yang berminat dalam kontestasi pilkada.
Putusan ini juga terkesan kontradiktif jika dibandingkan dengan putusan MK atas calon petahana yang cukup mengajukan cuti sejak pendaftaran sampai ditetapkan calon terpilih, padahal posisi petahana jauh lebih berpotensi mengganggu pemilu yang luber dan jurdil akibat politisasi birokrasi yang kerap terjadi selama ini.
Hemat penulis, revisi UU Pilkada harus dapat memperkuat tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas sehingga revisi hendaknya fokus pada penguatan/ pengetatan persyaratan/kualifikasi personal calon di satu sisi dan pelonggaran/peringanan syarat dukungan pencalonan di sisi yang lain. Dengan cara itu, diharapkan akan lahir banyak alternatif calon kepala daerah yang berkualitas.
PROF DR FAROUK MUHAMMAD
Anggota DPD RI
Awalnya terdapat 13 daerah dengan calon tunggal, bahkan satu daerah tidak ada satu pun pendaftar, namun setelah KPU memperpanjang masa pendaftaran tersisa tujuh daerah dengan calon tunggal. Pada perkembangannya kemudian, Bawaslu melalui Surat Nomor 0213/Bawaslu/VIII/ 2015 tertanggal 5 Agustus merekomendasikan agar KPU memperpanjang (kembali) masa pendaftaran pilkada di tujuh daerah dimaksud.
Meski rekomendasi Bawaslu ini dipertanyakan legitimasinya menyangkut dasar hukum yang dijadikan pijakan–karena sejatinya UU hanya memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk merekomendasikan ihwal terkait dugaan pelanggaran dan sengketa pilkada, dan bukan yang lainnya–KPU memutuskan mengikuti rekomendasi Bawaslu dengan memperpanjang masa pendaftaran selama 3 (tiga) hari terhitung mulai 9 hingga 11 Agustus.
Alhasil, daerah dengan calon tunggal saat ini tersisa menjadi tiga daerah saja yaitu Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, Kabupaten Blitar di Jawa Timur, serta Kabupaten Timor Tengah Utara di Nusa Tenggara Timur (NTT). Terhadap tiga daerah tersebut, KPU telah memutuskan pilkadanya ditunda sampai gelombang berikutnya pada 2017.
Jumlah ini masih akan bertambah karena Kota Surabaya, Kota Samarinda, dan Kabupaten Pacitan, yang sebelumnya calon tunggal lalu bertambah menjadi dua pasang calon, masih baru akan ditetapkan hasil verifikasinya pada 30 Agustus mendatang. Pun masih terdapat 78 daerah dengan dua pasang calon yang bisa saja tidak lolos verifikasi KPU pada penetapan 24 Agustus.
Namun, keputusan KPU untuk menunda pilkada bagi daerah dengan calon tunggal ini rupanya masih mendapatkan sorotan ihwal agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sehingga pilkada tetap dapat digelar serentak.
Problematik Legalitas dan Legitimasi
Jika perppu menjadi pilihan kebijakan Presiden/pemerintah untuk mengatasi calon tunggal, setidaknya terdapat 2 (dua) alternatif yang diwacanakan sebagai penyelesaian calon tunggal. Dalam hemat penulis, keduanya problematik dengan catatan kritis penulis sebagai berikut.
Pertama, calon tunggal langsung ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Usul ini bertentangan dengan Konstitusi Pasal 18 Ayat (4) yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis. Kedua, calon tunggal tetap dipilih rakyat dengan suara mayoritas (semacam referendum) sehingga yang bersangkutan hanya dapat ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih hanya jika mendapatkan suara mayoritas pemilih.
Alternatif lain adalah pemilihan dilakukan antara calon tunggal dengan kolom atau bumbung/kotak kosong. Hal ini jelas bertentangan dengan UU Pilkada yang mengatur bahwa pilkada diikuti minimal oleh dua pasang calon. Di luar persoalan substansi, penerbitan perppu juga akan dipertanyakan dan diperdebatkan mengenai ihwal legalitas dan legitimasinya.
Pertama, oleh sebagian kalangan perppu dianggap menyelamatkan hak memilih dan dipilih rakyat dalam pilkada sebagaimana dijamin UUD, tetapi di sisi lain UUD juga mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut untuk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang (vide: Pasal 28J ayat (2)). UU Pilkada jelas menegaskan bahwa pilkada diikuti minimal oleh dua pasang calon.
Hal ini harus dibaca sebagai pembatasan yang dilakukan UU untuk menjamin pilkada memenuhi prinsip-prinsip demokrasi. Pertanyaannya, apakah mungkin perppu membela hak di satu sisi, tapi bertentangan dengan UU di sisi yang lain?
Kedua, penerbitan perppu akan menambah komplikasi permasalahan menyangkut keabsahan alasan ”kegentingan yang memaksa” dikeluarkannya perppu sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 22 ayat (1). Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/ 2009 memberi ”rambu” sebagai parameterada” kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan perppu.
Pertanyaannya, apakah benar ada kebutuhan yang mendesak untuk mengatasi calon tunggal di tujuh daerah, benarkah terjadi kekosongan hukum atau undangundang tidak memadai? Bukankah secara normatif terdapat aturan terkait pendaftaran pasangan calon dan antisipasi jika hanya diikuti calon tunggal sebagaimana diatur dalam PKPU 12/ 2015? Tentu perppu tidak dapat menabrak aturan UU.
Ketiga, jika perppu diberlakukan, dalam realisasi belum tentu sesuai rencana karena sangat dimungkinkan saat pengajuan kepada DPR ada manuver politik/kepentingan politik. Bagaimana legalitas perppu yang sudah dilaksanakan lalu dibatalkan oleh DPR? Bisa saja perppu ditolak DPR sehingga kembali terjadi kekosongan hukum berikut komplikasinya mengingat tahap pilkada masih berjalan dan masih akan ada pilkada serentak gelombang berikutnya. Jika kondisi politik tidak stabil, akan memicu masalah sosial.
Tunda dan Revisi UU
Penulis berpendapat Presiden/ pemerintah harus cermat dan berhati-hati dalam memutuskan polemik calon tunggal ini, terutama jika ingin mengeluarkan perppu. Penulis berharap Presiden mempertimbangkan komplikasi permasalahan yang akan terjadi.
Berdasarkan pengalaman pribadi penulis, ketika era Presiden Habibie telah dirumuskan perppu terkait penanganan konflik di Maluku dan Aceh, namun tidak jadi keluarkan karena salah satu pertimbangan pandangan dunia internasional sehingga berbagai alasan menjadi penting untuk dicermati.
Semua alternatif materi perppu yang diwacanakan di atas mengandung problematik baik dari sisi legalitas maupun legitimasinya. Menetapkan langsung calon tunggal sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih jelas bertentangan dengan UUD. Melakukan pemilihan calon tunggal, tapi tanpa lawan/ lawan kotak kosong juga bertentangan dengan UU Pilkada.
Atas semua problematik diatas, yang paling aman adalah kembali mengikuti PKPU 12/2015 yakni dilakukan penundaan pilkada sampai 2017 dengan catatan pengangkatan Plt harus dipastikan dilakukan secara profesional dan menutup ruang gerak terjadi politisasi oleh Plt dalam memenangkan calon tertentu (petahana atau partai yang dekat dengan penguasa).
Penulis melihat akar permasalahan pilkada serentak ada pada UU sehingga revisi UU Pilkada memang perlu dilakukan. Hanya, revisi dimaksud tidak hanya menyoal antisipasi calon tunggal, tapi juga dilakukan secara komprehensif diorientasikan untuk peningkatan kualitas pilkada dan calon pemimpin terpilih.
Fenomena calon tunggal harus dilihat faktor penyebabnya antara lain karena undang-undang mengetatkan syarat dukungan pencalonan baik bagi partai politik (20% kursi DPRD atau 25% perolehan suara) maupun perseorangan (minimal 6,5%-10% berdasarkan kluster jumlah penduduk) sehingga sulit bagi parpol dan perseorangan memenuhi syarat tersebut.
Karena itu, syarat dukungan pencalonan mutlak diringankan terutama untuk calon perseorangan. Revisi ke depan juga perlu memuat ancaman pidana bagi permintaan uang mahar kepada calon yang dalam banyak kasus juga menyebabkan keengganan sejumlah tokoh potensial untuk mencalonkan diri.
Penulis menilai putusan MK terbaru yang mengharuskan calon yang merupakan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk mengundurkan diri saat pendaftaran juga memberi andil semakin minimnya tokoh yang berminat dalam kontestasi pilkada.
Putusan ini juga terkesan kontradiktif jika dibandingkan dengan putusan MK atas calon petahana yang cukup mengajukan cuti sejak pendaftaran sampai ditetapkan calon terpilih, padahal posisi petahana jauh lebih berpotensi mengganggu pemilu yang luber dan jurdil akibat politisasi birokrasi yang kerap terjadi selama ini.
Hemat penulis, revisi UU Pilkada harus dapat memperkuat tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas sehingga revisi hendaknya fokus pada penguatan/ pengetatan persyaratan/kualifikasi personal calon di satu sisi dan pelonggaran/peringanan syarat dukungan pencalonan di sisi yang lain. Dengan cara itu, diharapkan akan lahir banyak alternatif calon kepala daerah yang berkualitas.
PROF DR FAROUK MUHAMMAD
Anggota DPD RI
(ftr)