Pidato Megawati: KPK Bisa Dibubarkan!
A
A
A
Romli Atmasasmita
Guru Besar (Emeritus) Unpad dan Unpas; Direktur LPIKP
Pernyataan Megawati, mantan presiden, pada seminar kebangsaan di DPR RI memang mengejutkan.
Tetapi jangan sampai pernyataan tersebut terburu-buru dinilai membabi buta, karena Megawati mengatakan ada syaratnya, yaitu jika korupsi telah tidak ada lagi di bumi pertiwi. Tidak ada satu pun dari mantan presiden dan presiden yang tengah berkuasa berani mengeluarkan pernyataan tersebut.
Penulis sangat mengapresiasi pernyataan tersebut karena, pertama, ia seorang wanita dan kedua ia mengetahui kapan harus menyatakan pendapatnya ke hadapan publik, dan ia bukan seorang pengecut dan pecundang. Namun demikian, di balik pernyataan tersebut kita harus mengkritisi dengan objektif tanpa berburuk sangka bahwa mutatis mutandis PDI Perjuangan antipemberantasan korupsi dan anti-KPK karena di bawah kepemimpinan Megawati-lah KPK dilahirkan. Penulis yang menyampaikan draf RUU KPK kepada Megawati ketika itu.
*** Hasil penelitian penulis dan berasal dari sumber data yang dipercaya, sejak tahun 2009-2013, Kejaksaan telah mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar kurang lebih sebesar Rp6 triliun; kepolisian sebesar Rp2 triliun, dan KPK sebesar Rp716 miliar. Asumsi dalam bagian menimbang UU KPK 2002 justru keberadaan KPK diperlukan karena kinerja kepolisian dan kejaksaan tidak efektif dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara sejalan dengan unsur ”kerugian keuangan negara” di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tahun 1999.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI terhadap kinerja KPK 2012/2013 dicantumkan bahwa hasil implementasi fungsi pencegahan (bukan penindakan) korupsi di sektor hulu migas adatemuanyangtakkalahmenarik. Laporan itu disampaikan di bawah ”catatan penting lainnya” denganjudul,”PenyelamatanKeuangan dan Kekayaan Negara yang berasal dari fungsi Pencegahan yang dimiliki oleh KPK pada sektor hulu migas”.
Di sana tertulis: ”Penyelamatan keuangan dan kekayaan negara dari sektor Hulu Migas dari Tahun 2009 sampai dengan Desember 2013 adalah sebesar Rp186.629.439.310.000,- dan USD1.570.358.610.99 berasal dari inventarisasi aset KKKS, koreksi pembebanan Investment Credit Subhan Phase II, penempatan dana Abandonment and Site Restoration (ASR) ke rekening bersama BP Migas-KKKS, pembayaran pajak migas yang tertunggak, dan penyelamatan atas dugaan penyimpangan alokasi gas bumi Program Anumera II.
Sedangkan, khusus untuk Tahun 2013 terdapat penyelamatan keuangan negara dari sektor hulu migas sebesar USD74.629.71 yang berasal dari dana penempatan ASR dan sebesar USD757.623.62 yang berasal dari penyelamatan atas dugaan penyimpangan alokasi gas bumi program Anumera II”. Total penyelamatan keuangan negara dari sektor hulu migas adalah Rp205.473.742.630.000 (dengan kurs USD1=Rp12.000). Penulis tidak yakin bahwa strategi sektor pencegahan KPK dapat menyelamatkan kerugian keuangan negara secara riil (nyata).
Karena dalam UU KPK 2002 fungsi pencegahan tidak ditujukan untuk melakukan tindakan recovery kecuali strategi penindakan (represif). Sekalipun dari sudut teori ekonomi, tindakan KPK benar akan tetapi secara normatif di dalam UU KPK 2002, tindakan tersebut menjadi tidak benar karena bertentangan dengan UU KPK 2002 itu sendiri. Dalam struktur organisasi KPK hanya diakui dua strategi penting yaitu strategi pencegahan dan strategi penindakan.
Namun di dalam LHP BPK RI 2011, dicantumkan bahwa KPK dapat dan telah menggunakan strategi pencegahan dan penindakan terintegrasi sehingga klaim ”penyelamatan keuangan negara” dari sektor hulu migas dapat diakomodasi. Dari sudut hukum pidana, KPK hendak menegaskan bahwa unsur melawan hukum dari perbuatan penyimpangan dan pembayaran pajak tertunggak hapus seketika digunakan strategi pencegahan dan penindakan terintegrasi sekalipun jelas dan nyata bahwa perbuatan penyimpangan dan pembayaran pajak tertunggak selama lima tahun dan kerugian negara secara nyata telah terjadi. UU KUP 1983/ 2009 hanya mengakui/mengenal istilah ”pajak terutang atau pajak kurang bayar”.
*** Pertanyaan penulis dari LHP BKR RI 2013 atas kinerja KPK tersebut, mengapa KPK RI tidak menggunakan strategi pe-nindakan sebagaimana perintah UU Tipikor 1999 yang diubah 2001 dan perintah UU KPK 2002? Sedangkan untuk kasus Rudi Rubiandini atau kasus korupsi lainnya bersikap se-baliknya sekalipun nilai kerugian keuangan negaranya tidak sebanding dengan ”kerugian keuangan negara” di sektor hulu migas.
LHP BPK RI Tahun 2013 tentang KPK juga mencantumkan bahwa terdapat pendapatan penerimaan bukan pajak (PNBP) fungsional KPK sebesar Rp691.318.214 belum disetorkan ke kas negara pada tanggal pelaporan (28 Mei 2014) sehingga terjadi kelambatan setor antar 7 hari sampai dengan 458 hari.
Jika ditambah dengan denda keterlambatan sebesar 2% per bulan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang, maka total wajib setorPNBP fungsional KPK menjadi Rp857.234.585,36.
Fakta dan data berdasarkan LHP BKPRI atas Kinerja KPK 2012/2013 menunjukkan bahwa layaknya suatu organisasi pemerintah pada umumnya, KPK juga tidak melaksanakan prinsip ”good governance” bahkan telah melakukan pelanggaran hukum. Fakta dan data tersebut sungguh memprihatinkan penulis–sebagai salah satu pendiri KPK.
Diperlukan objektivitas penilaian/ pandangan kita terhadap KPK. Tentunya bukan dengan maksud meruntuhkan kepercayaan 250 juta rakyat kepada KPK akan tetapi untuk dijadikan cermin bagi langkah pimpinan KPK IV selama 2015-2019.
*** Isipidato Megawatiterkaitdengan fakta dan data LHP BPR RI atasKPKamat relevandikajilebih jauh oleh kita semua. Pengalaman masa lalu adalah cermin melangkah dan bertindak kini dan masa yang akan datang bak pepatah, ”keledai tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama”. Persoalan bagi penulis, dan juga mungkin anda semua, siapa yang harus mengawasi siapa (who control the controllers) dan bagaimana bentuk dan cara pengawasannya?
Penulis yakin bahwa jika saja UU KPK direvisi maka bagian penting daripadanya adalah pembentukan Komite Pengawas di dalam struktur organisasi KPK. Dewan tersebut akan meliputi pengawasan di sektor pencegahan, penindakan, SDM dan keuangan.
Dengan cara demikian, KPK terhindar dan dapat dicegah dari sekecil apapun celah negatif sehingga kita dapat bersamasama menempatkan KPK pada tempat yang layak untuk dihargai dan sebagai lembaga yang berwibawa, baik di hadapan institusi penegak hukum lain dan pimpinan K/L maupun di hadapan publik.
Guru Besar (Emeritus) Unpad dan Unpas; Direktur LPIKP
Pernyataan Megawati, mantan presiden, pada seminar kebangsaan di DPR RI memang mengejutkan.
Tetapi jangan sampai pernyataan tersebut terburu-buru dinilai membabi buta, karena Megawati mengatakan ada syaratnya, yaitu jika korupsi telah tidak ada lagi di bumi pertiwi. Tidak ada satu pun dari mantan presiden dan presiden yang tengah berkuasa berani mengeluarkan pernyataan tersebut.
Penulis sangat mengapresiasi pernyataan tersebut karena, pertama, ia seorang wanita dan kedua ia mengetahui kapan harus menyatakan pendapatnya ke hadapan publik, dan ia bukan seorang pengecut dan pecundang. Namun demikian, di balik pernyataan tersebut kita harus mengkritisi dengan objektif tanpa berburuk sangka bahwa mutatis mutandis PDI Perjuangan antipemberantasan korupsi dan anti-KPK karena di bawah kepemimpinan Megawati-lah KPK dilahirkan. Penulis yang menyampaikan draf RUU KPK kepada Megawati ketika itu.
*** Hasil penelitian penulis dan berasal dari sumber data yang dipercaya, sejak tahun 2009-2013, Kejaksaan telah mengembalikan kerugian keuangan negara sebesar kurang lebih sebesar Rp6 triliun; kepolisian sebesar Rp2 triliun, dan KPK sebesar Rp716 miliar. Asumsi dalam bagian menimbang UU KPK 2002 justru keberadaan KPK diperlukan karena kinerja kepolisian dan kejaksaan tidak efektif dalam hal pengembalian kerugian keuangan negara sejalan dengan unsur ”kerugian keuangan negara” di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tahun 1999.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI terhadap kinerja KPK 2012/2013 dicantumkan bahwa hasil implementasi fungsi pencegahan (bukan penindakan) korupsi di sektor hulu migas adatemuanyangtakkalahmenarik. Laporan itu disampaikan di bawah ”catatan penting lainnya” denganjudul,”PenyelamatanKeuangan dan Kekayaan Negara yang berasal dari fungsi Pencegahan yang dimiliki oleh KPK pada sektor hulu migas”.
Di sana tertulis: ”Penyelamatan keuangan dan kekayaan negara dari sektor Hulu Migas dari Tahun 2009 sampai dengan Desember 2013 adalah sebesar Rp186.629.439.310.000,- dan USD1.570.358.610.99 berasal dari inventarisasi aset KKKS, koreksi pembebanan Investment Credit Subhan Phase II, penempatan dana Abandonment and Site Restoration (ASR) ke rekening bersama BP Migas-KKKS, pembayaran pajak migas yang tertunggak, dan penyelamatan atas dugaan penyimpangan alokasi gas bumi Program Anumera II.
Sedangkan, khusus untuk Tahun 2013 terdapat penyelamatan keuangan negara dari sektor hulu migas sebesar USD74.629.71 yang berasal dari dana penempatan ASR dan sebesar USD757.623.62 yang berasal dari penyelamatan atas dugaan penyimpangan alokasi gas bumi program Anumera II”. Total penyelamatan keuangan negara dari sektor hulu migas adalah Rp205.473.742.630.000 (dengan kurs USD1=Rp12.000). Penulis tidak yakin bahwa strategi sektor pencegahan KPK dapat menyelamatkan kerugian keuangan negara secara riil (nyata).
Karena dalam UU KPK 2002 fungsi pencegahan tidak ditujukan untuk melakukan tindakan recovery kecuali strategi penindakan (represif). Sekalipun dari sudut teori ekonomi, tindakan KPK benar akan tetapi secara normatif di dalam UU KPK 2002, tindakan tersebut menjadi tidak benar karena bertentangan dengan UU KPK 2002 itu sendiri. Dalam struktur organisasi KPK hanya diakui dua strategi penting yaitu strategi pencegahan dan strategi penindakan.
Namun di dalam LHP BPK RI 2011, dicantumkan bahwa KPK dapat dan telah menggunakan strategi pencegahan dan penindakan terintegrasi sehingga klaim ”penyelamatan keuangan negara” dari sektor hulu migas dapat diakomodasi. Dari sudut hukum pidana, KPK hendak menegaskan bahwa unsur melawan hukum dari perbuatan penyimpangan dan pembayaran pajak tertunggak hapus seketika digunakan strategi pencegahan dan penindakan terintegrasi sekalipun jelas dan nyata bahwa perbuatan penyimpangan dan pembayaran pajak tertunggak selama lima tahun dan kerugian negara secara nyata telah terjadi. UU KUP 1983/ 2009 hanya mengakui/mengenal istilah ”pajak terutang atau pajak kurang bayar”.
*** Pertanyaan penulis dari LHP BKR RI 2013 atas kinerja KPK tersebut, mengapa KPK RI tidak menggunakan strategi pe-nindakan sebagaimana perintah UU Tipikor 1999 yang diubah 2001 dan perintah UU KPK 2002? Sedangkan untuk kasus Rudi Rubiandini atau kasus korupsi lainnya bersikap se-baliknya sekalipun nilai kerugian keuangan negaranya tidak sebanding dengan ”kerugian keuangan negara” di sektor hulu migas.
LHP BPK RI Tahun 2013 tentang KPK juga mencantumkan bahwa terdapat pendapatan penerimaan bukan pajak (PNBP) fungsional KPK sebesar Rp691.318.214 belum disetorkan ke kas negara pada tanggal pelaporan (28 Mei 2014) sehingga terjadi kelambatan setor antar 7 hari sampai dengan 458 hari.
Jika ditambah dengan denda keterlambatan sebesar 2% per bulan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang, maka total wajib setorPNBP fungsional KPK menjadi Rp857.234.585,36.
Fakta dan data berdasarkan LHP BKPRI atas Kinerja KPK 2012/2013 menunjukkan bahwa layaknya suatu organisasi pemerintah pada umumnya, KPK juga tidak melaksanakan prinsip ”good governance” bahkan telah melakukan pelanggaran hukum. Fakta dan data tersebut sungguh memprihatinkan penulis–sebagai salah satu pendiri KPK.
Diperlukan objektivitas penilaian/ pandangan kita terhadap KPK. Tentunya bukan dengan maksud meruntuhkan kepercayaan 250 juta rakyat kepada KPK akan tetapi untuk dijadikan cermin bagi langkah pimpinan KPK IV selama 2015-2019.
*** Isipidato Megawatiterkaitdengan fakta dan data LHP BPR RI atasKPKamat relevandikajilebih jauh oleh kita semua. Pengalaman masa lalu adalah cermin melangkah dan bertindak kini dan masa yang akan datang bak pepatah, ”keledai tidak akan terperosok ke dalam lubang yang sama”. Persoalan bagi penulis, dan juga mungkin anda semua, siapa yang harus mengawasi siapa (who control the controllers) dan bagaimana bentuk dan cara pengawasannya?
Penulis yakin bahwa jika saja UU KPK direvisi maka bagian penting daripadanya adalah pembentukan Komite Pengawas di dalam struktur organisasi KPK. Dewan tersebut akan meliputi pengawasan di sektor pencegahan, penindakan, SDM dan keuangan.
Dengan cara demikian, KPK terhindar dan dapat dicegah dari sekecil apapun celah negatif sehingga kita dapat bersamasama menempatkan KPK pada tempat yang layak untuk dihargai dan sebagai lembaga yang berwibawa, baik di hadapan institusi penegak hukum lain dan pimpinan K/L maupun di hadapan publik.
(ars)