Panglima TNI, Proxy War, dan Khatulistiwa

Kamis, 20 Agustus 2015 - 08:02 WIB
Panglima TNI, Proxy War, dan Khatulistiwa
Panglima TNI, Proxy War, dan Khatulistiwa
A A A
Tantowi Yahya
Wakil Ketua Komisi I DPR RI

Istilah proxy war beberapa waktu belakangan makin populer setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengidentifikasi isu tersebut sebagai ancaman utama Indonesia di Abad XXI.

Tak hanya disampaikan di DPR, sejak setahun lalu (saat menjabat KSAD), Gatot juga kerap berkeliling kampus untuk menchallenge mahasiswa dengan proxy war. Definisi populer proxy war adalah a war instigated by a major power which does not itself become involved . Kata kunci dari terminologi ini bahwa pihak utama yang berperang (berkepentingan) tidak terlibat langsung saat perang terjadi. Tidak susah untuk mengambil contoh dari proxy war yang saat ini terjadi.

Konflik di Lebanon yang memunculkan Hizbullah sebagai kekuatan militer di luar negara merupakan proxy war yang dikendalikan oleh Arab Saudi (plus Amerika Serikat dan negaranegara Arab beraliran Sunni) di Timur Tengah. Dalam hal ini Saudi dan koalisi mendukung pemerintah Lebanon. Sementara Hizbullah yang beraliran Syiah disokong penuh oleh Iran (dan terkadang Rusia, yang memiliki kepentingan menghambat pengaruh AS di kawasan itu). Dalam konteks yang lain, proxy war tidak selalu melibatkan kekuatan militer tradisional, melainkan juga politik, program bantuan, budaya, dan cyber yang tak kalah berbahaya meski tanpa letusan senjata.

Pendekatan terakhir ini linear dengan pandangan Panglima TNI bahwa ”operasi” proxy war di Indonesia tidak menggunakan tank dan pesawat tempur, melainkan melalui instrumen lain sebagaimana di atas. Melalui proxy war jenis ini, pelemahan dan penghancuran dilakukan melalui berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara secara masif dan terus-menerus, tanpa kita sadari.

Gatot mencontohkan, peredaran narkoba, tawuran pelajar dan mahasiswa, aksi anarkisme, adu domba antarkomponen bangsa, pem-bentukan opini dan rekayasa melalui media massa merupakan bagian proxy war. Kesemuanya bertujuan untuk menciptakan generasi yang tidak berkualitas ( lost generation) dan melemahkan bangsa sehingga pihak luar mudah menguasai sumbar daya alam Indonesia yang melimpah.

Termasuk perang opini di sosial media yang melibatkan pendukung Prabowo- Hatta dan Jokowi-JK pada Pilpres 2014 yang berlangsung sengit dan brutal adalah merupakan bagian dari proxy war yang kemungkinan dikendalikan pihak-pihak tertentu. Tujuannya tentu saja pelemahan kekerabatan dan persaudaraan kita sesama anak bangsa.

Dari Minyak ke Pangan

Pendekatan proxy war ala Gatot didukung fakta bahwa saat ini dunia mengalami ancaman over population. World Population Balance dalam penelitiannya belum lama ini menyatakan bahwa idealnya bumi sekarang ini dihuni 3-4 miliar manusia. Ironisnya, jumlah penduduk yang menjejali globe sudah lebih dari 7 miliar. Paradoks di atas berdampak munculnya konflik baru pada tahun-tahun mendatang seiring me-nipisnya cadangan minyak di perut bumi.

Penelitian British Petroleum (BP), 2011, menyimpulkan minyak dunia akan habis pada 2056. Perubahan geopolitik akan terjadi menjelang krisis minyak, di mana konflik dunia yang sekarang berputar-putar di Timur Tengah (negara-negara kaya minyak) akan bergeser ke kawasan equator yang kaya sumber pangan, di mana Indonesia berada di dalam zona khatulistiwa. Meski beberapa pengamat menilai isu proxy war adalah musuh yang sengaja diciptakan oleh pemerintahan sekarangsebagaimana komunisme dijadikan musuh bersama oleh Orde Baru, penulis tetap mengapresiasi visi Panglima TNI ini.

Menghubungkan ancaman proxy war dengan latar belakang krisis energi dunia sangatlah relevan. Meski demikian, visi saja tidaklah cukup bila tidak ditindaklanjuti aksi nyata. Dalam kaitan ini, TNI tidak bisa bekerja sendiri karena ancaman dengan modus proxy war lebih banyak berlangsung di zona sipil. Untuk itu, Sistem Pertahanan Rakyat Semesta (Sishanrata) patut digelorakan kembali. TNI sebagai komponen utama pertahanan perlu mendapat dukungan dari komponen cadangan dan komponen pendukung.

Sebagaimana UU No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang dimaksud sebagai komponen cadangan adalah warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Sedangkan komponen pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.

DPR sejak awal mendorong penguatan TNI seiring dengan meningkatnya ancaman, terlebih lagi dengan ada proxy war ini. Hal itu tidak hanya berlangsung hari ini, melainkan secara bertahap dalam sepuluh tahun terakhir. Dukungan nyata Komisi I DPR RI terlihat dari besaran APBN untuk pertahanan dan TNI yang sejak 2004 meningkat lebih dari 500%, dari Rp21,42 triliun pada 2004 menjadi Rp102,2 triliun pada 2015.

Meski masih jauh dari anggaran ideal, lompatan kenaikan tersebut mencerminkan komitmen berkelanjutan DPR RI dalam penguatan institusi yang diamanatkan UU untuk menjaga kedaulatan NKRI ini. Tantangan lain dalam menghadapi proxy war justru muncul dari demokrasi kita sendiri. Banyak pihak berpandangan praktik demokrasi yang kita jalankan sejak reformasi memiliki dua mata pedang sekaligus.

Di satu sisi meningkatkan partisipasi publik, sementara di sisi lain memicu kegaduhan politik yang berujung instabilitas. Padahal, dalam konteks proxy war, soliditas sebagai bangsa sangat dibutuhkan untuk memenangkan perang melawan musuh yang tidak kelihatan itu. Ironisnya, demokratisasi terkadang justru menggerus nilai-nilai kekeluargaan, gotong-royong, dan Pancasila. Di sinilah perlunya segenap komponen untuk duduk bersama memikirkan arah demokrasi kita agar produktif dan berkontribusi bagi pertahanan negara. Bersama TNI, civil society dapat merumuskan strategi menghadapi proxy war tanpa mengorbankan demokrasi.

Sebagaimana doktrin pertahanan yang diperkenalkan AH Nasution bahwa Indonesia merupakan negara yang cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan (Nasution, 1984 : 80). Dalam konteks kekinian, doktrin tersebut dapat kita geser menjadi, bangsa Indonesia cinta kebebasan (demokrasi), tetapi lebih cinta stabilitas, pembangunan, dan kemajuan.

Citra Positif TNI

Momentum membaiknya citra TNI saat iniyang merupakan salah satu catatan keberhasilan Jenderal Moeldoko harus dimanfaatkan Gatot Nurmantyo untuk melibatkan komponen pertahanan lainnya dalam menghadapi ancaman proxy war. Sebagaimana diketahui, hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI), Februari 2015, menempatkan TNI sebagai lembaga yang paling dipercaya publik, dengan persentase sebesar 83%.

Selain LSI, riset Poltracking Indonesia juga menegaskan TNI sebagai lembaga dengan tingkat kinerja tertinggi sebesar 67,9%. Sementara pooling harian Kompas , pada 4 Mei 2015, TNI mendapat predikat sebagai lembaga dengan citra terbaik, dengan persentase sebesar 89,3%. Citra TNI bahkan jauh melewati tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK.

Penulis melihat persepsi positif dan dukungan rakyat di atas harus dijadikan modal berharga TNI untuk menghadapi proxy war. DPR melalui politik anggaran bertekad akan terus memperkuat deterent effect TNI hingga mendekati minimum essential forces (MEF) yang di dalamnya termasuk kesejahteraan prajurit dan fasilitas dalam menghadapi proxy war .

Perihal demokrasi yang gaduhsebagaimana kekhawatiran di ataspemerintah dan DPR harus mau bekerja sama dalam memperbaiki berbagai UU dan Peraturan Pemerintah terkait parpol, pileg, dan pilkada dalam rangka mengeliminasi berbagai kemungkinan gesekan dan konflik horizontal yang bermuara pada pelemahan ikatan kebersamaan kita sebagai bangsa. Pemerintah harus terus menjaga kondusivitas hubungannya dengan DPR dengan tidak lagi mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpotensi memancing konflik.

Dalam banyak peristiwa, DPR justru menunjukkan kedewasaan berpolitik dengan tetap kritis kepada pemerintah, namun satu arah bila menyangkut kedaulatan dan NKRI. Mulusnya pencalonan Panglima TNI dan Kepala BIN di Komisi I DPR beberapa waktu menjadi bukti bahwa DPR mengedepankan politik negara daripada politik kelompok.

Kesimpulan penulis, dengan iklim politik yang kondusif dan citra positif TNI sekarang ini, Jenderal Gatot ibaratnya tidak sedang mendorong mobil mogok. Justru ia berada di mobil yang mesinnya oke dengan bahan bakar penuh. Istilahnya TNI tinggal tekan pedal gas dan maju menjaga NKRI dan memenangkan proxy war .
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1655 seconds (0.1#10.140)