Mengulik Jalan Tengah Produk BBM
A
A
A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Salah satu kredo kebijakan rezim Presiden Joko Widodo adalah mencabut subsidi energi, terutama subsidi bahan bakar minyak (BBM). Bahkan, dari sisi pricing policy pun mengalami transformasi: harga BBM diserahkan pasar!
Debat panjang terkait hal ini pun tak terhindarkan. Salah satu ormas Islam terbesar (Muhammadiyah) pun menelurkan maklumat yang sangat keras: inkonstitusional! Persoalan bahan bakar memang sangat sensitif, baik dari sisi harga maupun pasokan. Pun manakala PT Pertamina mengeluarkan produk baru bernama pertalite. Kendati pertalite merupakan produk nonsubsidi, tak urung juga melahirkan polemik.
Pertalite hanyalah taktik pemerintah menghapus premium. Kekhawatiran ini sejatinya cukup absah karena Presiden Jokowi sedang getol mencabut subsidi BBM. Bahkan ada tudingan ”ekstrem” pula, pertalite adalah produk gagal dari China yang ”dibuang” ke Indonesia. Dari sisi lingkungan, pertalite ditengarai sebagai bahan bakar yang belum sepenuhnya ramah lingkungan (environmental friendly).
Namun, secara empiris tampaknya pertalite merupakan produk ”jalan tengah”. Pasalnya? Dalam perspektif Undang- Undang Perlindungan Konsumen kehadiran pertalite mengukuhkan hak konsumen untuk memilih suatu produk (bahan bakar). Ketika pilihan produk makin variatif, biasanya berimplikasi positif bagi hak konsumen, baik dari sisi harga maupun kualitas.
Produk BBM nonsubsidi seperti pertamax yang beroktan 92 tentu kualitasnya tokcer, ketimbang premium yang beroktan 88. Tetapi respons (minat) konsumen pada pertamax hingga kini masih sangat kecil. Rasio pemakaian pertamax pun kurang dari 2% dari total pemakaian BBM. Selain harga yang dianggap mahal, ketertarikan konsumen pada bahan bakar nonsubsidi juga sangat dipengaruhi eksistensi BBM subsidi (premium).
Untuk apa repot-repot beli BBM mahal, wong yang murah saja ada? Mayoritas konsumen Indonesia, terhadap produk apa pun, masih sensitif harga, belum sensitif kualitas. Strategi pemasaran test the water manajemenPTPertamina terhadap pertalite tampaknya berhasil. Terbukti, ketika pertalite dilepas ke pasar, res-pons konsumen tampak antusias. Indikatornya?
Semula PT Pertamina hanya mendistribusikan pertalite pada 112 SPBU. Kini dalam waktu singkat distribusi pertalite itu mengalami perluasan, menjadi163SPBU. Konsumsi pertalite pun langsung menanjak, menjadi 450-460 kiloliter per hari. Penurunan permintaan premium diklaim menembus 15 persen per hari. Itu karena pertalite, dari sisi keterjangkauan harga (ability to pay), masih cukup wajar dengan kualitas yang ”setara” dengan produk pendahulunya, pertamax.
Fenomena ini juga menandakan mulai ada kesadaran baru bahwa kualitas BBM menjadi faktor penting untuk menjaga ”kesehatan” mesin kendaraannya. Ketika disparitas harga premium dengan pertamax tidak lagi signifikan, konsumsi pertamax juga melonjak (terutama bikers yang bermigrasi ke pertamax). Benar, pertalite belum standar Euro 2 , yang mensyaratkan oktan 92, tetapi emisi gas buang pertalite tentu tak ”sejorok” premium. Kini nyaris tak ada negara di dunia yang masih asyik dengan bahan bakar beroktan 88, kecuali ya Indonesia.
*** Apa pun jenis dan mereknya BBM adalah jenis energi fosil, yang umumnya sangat destruktif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Aspek eksternalitas BBM itulah yang kemudian melahirkan fenomena perubahan iklim global (global climate change ). Penggunaan energi fosil berkontribusi paling signifikan atas perubahan iklim global, terutama dari sektor transportasi.
Karena itu, sangat rasional jika PT Pertamina kita dorong untuk konsisten mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan. Meningkatkan kadar oktan pada bahan bakar menjadi salah satu solusinya. Juga konsisten mengembangkan penggunaan gas (BBG) berikut infrastrukturnya, sebagai alternatif bahan bakar di sektor transportasi. Industri automotif juga bertanggung jawab untuk memproduksi tipe kendaraan yang hemat bahan bakar.
Juga konsisten memberikan edukasi kepada konsumennya agar konsisten menggunakan jenis BBM yang sesuai spesifikasi mesin kendaraannya. Sangat ironis jika kendaraan roda empat terbaru, yang semimewah itu, masih digelontor dengan premium! Bagaimana dengan konsumen sebagai end user dari BBM? Bolehlah tetap memperhitungkan keterjangkauan harga, saat semua kebutuhan pokok mengalami ”edan harga”.
Tetapi, dalam konteks sebagai pengguna bahan bakar, konsumen mesti mengembangkan paradigma baru, bahwa BBM yang ia konsumsi menjadi kontributor utama pencemaran dan kerusakan lingkungan. Semakin rendah kualitas BBM semakin tinggi emisi gas buangnya dan semakin tinggi daya rusaknya terhadap lingkungan. Dalam skala consumers movement di tingkat global, salah satu instrumen yang dikembangkan adalah loving the earth; cinta pada bumi, cinta pada lingkungan.
Dalam konteks bertransportasi, prinsip loving the earth bisa diwujudkan dengan menggunakan kendaraan umum untuk mobilitas. Syukur-syukur bisa sebagai pedestrian, dan atau menggunakan sepeda onthel , seperti di kota-kota besar Belanda.
Jika cara-cara ideal itu tak bisa diwujudkan dan terpaksa menggunakan kendaraan pribadi, ya setidaknya konsumen bisa menggunakan jenis bahan bakar yang tingkat daya rusaknya terhadap lingkungan lebih ren-dah. Jadilah green consumers sejati, yang selalu memperhatikan pola konsumsi yang berwawasan lingkungan.
Ketua Pengurus Harian YLKI
Salah satu kredo kebijakan rezim Presiden Joko Widodo adalah mencabut subsidi energi, terutama subsidi bahan bakar minyak (BBM). Bahkan, dari sisi pricing policy pun mengalami transformasi: harga BBM diserahkan pasar!
Debat panjang terkait hal ini pun tak terhindarkan. Salah satu ormas Islam terbesar (Muhammadiyah) pun menelurkan maklumat yang sangat keras: inkonstitusional! Persoalan bahan bakar memang sangat sensitif, baik dari sisi harga maupun pasokan. Pun manakala PT Pertamina mengeluarkan produk baru bernama pertalite. Kendati pertalite merupakan produk nonsubsidi, tak urung juga melahirkan polemik.
Pertalite hanyalah taktik pemerintah menghapus premium. Kekhawatiran ini sejatinya cukup absah karena Presiden Jokowi sedang getol mencabut subsidi BBM. Bahkan ada tudingan ”ekstrem” pula, pertalite adalah produk gagal dari China yang ”dibuang” ke Indonesia. Dari sisi lingkungan, pertalite ditengarai sebagai bahan bakar yang belum sepenuhnya ramah lingkungan (environmental friendly).
Namun, secara empiris tampaknya pertalite merupakan produk ”jalan tengah”. Pasalnya? Dalam perspektif Undang- Undang Perlindungan Konsumen kehadiran pertalite mengukuhkan hak konsumen untuk memilih suatu produk (bahan bakar). Ketika pilihan produk makin variatif, biasanya berimplikasi positif bagi hak konsumen, baik dari sisi harga maupun kualitas.
Produk BBM nonsubsidi seperti pertamax yang beroktan 92 tentu kualitasnya tokcer, ketimbang premium yang beroktan 88. Tetapi respons (minat) konsumen pada pertamax hingga kini masih sangat kecil. Rasio pemakaian pertamax pun kurang dari 2% dari total pemakaian BBM. Selain harga yang dianggap mahal, ketertarikan konsumen pada bahan bakar nonsubsidi juga sangat dipengaruhi eksistensi BBM subsidi (premium).
Untuk apa repot-repot beli BBM mahal, wong yang murah saja ada? Mayoritas konsumen Indonesia, terhadap produk apa pun, masih sensitif harga, belum sensitif kualitas. Strategi pemasaran test the water manajemenPTPertamina terhadap pertalite tampaknya berhasil. Terbukti, ketika pertalite dilepas ke pasar, res-pons konsumen tampak antusias. Indikatornya?
Semula PT Pertamina hanya mendistribusikan pertalite pada 112 SPBU. Kini dalam waktu singkat distribusi pertalite itu mengalami perluasan, menjadi163SPBU. Konsumsi pertalite pun langsung menanjak, menjadi 450-460 kiloliter per hari. Penurunan permintaan premium diklaim menembus 15 persen per hari. Itu karena pertalite, dari sisi keterjangkauan harga (ability to pay), masih cukup wajar dengan kualitas yang ”setara” dengan produk pendahulunya, pertamax.
Fenomena ini juga menandakan mulai ada kesadaran baru bahwa kualitas BBM menjadi faktor penting untuk menjaga ”kesehatan” mesin kendaraannya. Ketika disparitas harga premium dengan pertamax tidak lagi signifikan, konsumsi pertamax juga melonjak (terutama bikers yang bermigrasi ke pertamax). Benar, pertalite belum standar Euro 2 , yang mensyaratkan oktan 92, tetapi emisi gas buang pertalite tentu tak ”sejorok” premium. Kini nyaris tak ada negara di dunia yang masih asyik dengan bahan bakar beroktan 88, kecuali ya Indonesia.
*** Apa pun jenis dan mereknya BBM adalah jenis energi fosil, yang umumnya sangat destruktif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. Aspek eksternalitas BBM itulah yang kemudian melahirkan fenomena perubahan iklim global (global climate change ). Penggunaan energi fosil berkontribusi paling signifikan atas perubahan iklim global, terutama dari sektor transportasi.
Karena itu, sangat rasional jika PT Pertamina kita dorong untuk konsisten mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan. Meningkatkan kadar oktan pada bahan bakar menjadi salah satu solusinya. Juga konsisten mengembangkan penggunaan gas (BBG) berikut infrastrukturnya, sebagai alternatif bahan bakar di sektor transportasi. Industri automotif juga bertanggung jawab untuk memproduksi tipe kendaraan yang hemat bahan bakar.
Juga konsisten memberikan edukasi kepada konsumennya agar konsisten menggunakan jenis BBM yang sesuai spesifikasi mesin kendaraannya. Sangat ironis jika kendaraan roda empat terbaru, yang semimewah itu, masih digelontor dengan premium! Bagaimana dengan konsumen sebagai end user dari BBM? Bolehlah tetap memperhitungkan keterjangkauan harga, saat semua kebutuhan pokok mengalami ”edan harga”.
Tetapi, dalam konteks sebagai pengguna bahan bakar, konsumen mesti mengembangkan paradigma baru, bahwa BBM yang ia konsumsi menjadi kontributor utama pencemaran dan kerusakan lingkungan. Semakin rendah kualitas BBM semakin tinggi emisi gas buangnya dan semakin tinggi daya rusaknya terhadap lingkungan. Dalam skala consumers movement di tingkat global, salah satu instrumen yang dikembangkan adalah loving the earth; cinta pada bumi, cinta pada lingkungan.
Dalam konteks bertransportasi, prinsip loving the earth bisa diwujudkan dengan menggunakan kendaraan umum untuk mobilitas. Syukur-syukur bisa sebagai pedestrian, dan atau menggunakan sepeda onthel , seperti di kota-kota besar Belanda.
Jika cara-cara ideal itu tak bisa diwujudkan dan terpaksa menggunakan kendaraan pribadi, ya setidaknya konsumen bisa menggunakan jenis bahan bakar yang tingkat daya rusaknya terhadap lingkungan lebih ren-dah. Jadilah green consumers sejati, yang selalu memperhatikan pola konsumsi yang berwawasan lingkungan.
(ars)