Pertaruhan Muhammadiyah Setelah Muktamar

Jum'at, 14 Agustus 2015 - 09:37 WIB
Pertaruhan Muhammadiyah...
Pertaruhan Muhammadiyah Setelah Muktamar
A A A
Marpuji Ali
Dosen Fakultas Agama Islam UMS

Muktamar Ke-47 Muhammadiyah di Makasar berlangsung lancar, sejuk, dan sarat dinamika. Sekali lagi, eksperimen demokrasi alaMuhammadiyah bisa melewati ujian terjal secara elegan sehingga keutuhan organisasi tetap terjaga, dan aspirasi arus bawah bisa terserap.

Setelah melalui proses pemilihan secara bertahap dan berjenjang, akhirnya Haedar Nashir terpilih menjadi nakhoda baru Muhammadiyah untuk lima tahun mendatang. Karena model kepemimpinan terkait dengan upaya dinamisasi organisasi biarlah menjadi konsumsi internal, tetapi ide Muhammadiyah bersifat kolektifkolegial, transisikepemimpinan dari Din Syamsuddin kepada Haedar Nashir diprediksitidakakanmembawagejolak yang berarti.

Muktamirinbukan hanya sukses memilih nakhoda baru, melainkan juga berhasil menelurkan dan menyepakati ide-ide strategis untuk mendinamisasi organisasi dan memajukan umat, bangsa, dan kemanusiaan. Ihwal ide strategis yang bersentuhan dengan problemproblem keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal, para stakeholder boleh ikut aktif mengemukakan dan memperbincangkannya secara terbuka.

Dengan cara demikian, publik dapat berperan aktif membaca, menilai, dan mengkritisi hasil pemikiran Muhammadiyah dalam kerangka membangun keadaban dan memajukan bangsa. Tentu bukan suatu kebetulan ketika pelaksanaan Muktamar Ke-47 Muhammadiyah beriringan dengan detik-detik perayaan menjelang kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-70.

Sekalipun usia bangsa ini menginjak tujuh puluh (70) tahun, cita-cita kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan rakyat masih menemuijalanterjaldanberliku. Situasi ekonomi dunia yang melambat, dan goyahnya ketahanan pangan nasional yang ditandai dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, membuat beban rakyat kian berat sehingga cita-cita untuk hidup sejahtera sebagai esensi kemerdekaan semakin menjauh.

Dalam situasi bangsa yang demikian, peran serta Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan masyarakat sipil tentu sangat strategis. Salah satu isu strategis yang hangat diperbincangkan selama muktamar adalah bagaimana Muhammadiyah dapat berperan lebih progresif dalam kesertaannya memajukan bangsa. Hal ini sebenarnya telah tercermin dari tema muktamar, ”Gerakan Pencerahan Menuju Indonesia Berkemajuan”. Wujud konkret dari upaya itu adalah disepakatinya konsep ”Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah”.

Negara yang terbentuk atas dasar kesepakatan para pendiri negara ini, yang memerlukan persaksian nyata dari warga bangsa dalam bentuk usaha memajukan negara Pancasila tersebut berdasarkan nilai-nilai agama Islam. Dengan demikian, kerja dakwah Muhammadiyah beserta seluruh amal usaha yang di bawah naungannya difokuskan pada upaya memajukan dan mewarnai negara Pancasila sehingga bisa terwujud kemerdekaan sejati sebagaimana amanat mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Muhammadiyah juga menegaskan bahwa kepeloporannya dalam memajukan bangsa itu tidak melalui jalur politik kepartaian, tapi melalui politik kebangsaan; berpolitik yang berorientasi pada nilai-nilai adiluhung (bermartabat), bukan berorientasi pada mengejar kekuasaan. Dengan politik kebangsaan, Muhammadiyahdapatberkiprah secara luas dan luwes, laksana garam yang bisa meresap ke seluruh dimensi kehidupan bangsa.

Dalam tradisi Muhammadiyah, muktamar bukan sekadar ajang kontestasi kekuasaan dan pemilihan pemimpin baru, juga bukanlah puncak perayaan (festival) organisasi, tetapi merupakan ekspresi ukhuwah bermuhammadiyah dalam membangun bangsa. Lebih dari itu, muktamar adalah arena evaluasi bersama dan penentuan arah perjalanan organisasi ke depan sehingga setelah muktamar membuncah harapan agar Muhammadiyah seperti terlahir kembali.

Gerakan Muhammadiyah terlihat lebih fresh, lebih gesit, tampak muda kembali, dan lebih terbuka dengan pemikiran- pemikiran baru. Gambaran tentang arah dan proyeksi organisasi ke depan tercermin dari hasil rekomendasi muktamar di mana Muhammadiyah menekankan isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal.

Tiga isu strategis itu belakangan ini populer dengan istilah tiga pilar gerakan Muhammadiyah; pilar keumatan, pilar kebangsaan, dan pilar kemanusiaan universal. Keberadaan dan kelangsungan persyarikatan Muhammadiyah tampaknya sangat bergantung pada kemampuannya dalam memahami, merespons, mengurai secara bertahap dalam kerangka memberikan solusi masalah-masalah umat, bangsa, dan kemanusiaan universal secara cerdas dan bijak.

Dengan kata lain, pertaruhan Muhammadiyah setelah muktamar sangat menjadi lebih visible (cetho). Bila pimpinan baru mampu membawa organisasi ini untuk terlibat aktif dalam memecahkan masalah-masalah keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal, sesungguhnya masa depan Muhammadiyah sangat cerah dan prospektif. Gerakan Muhammadiyah akan semakin mengakar di hati umat, menyatu dengan semangat kebangsaan, dan semakin terintegrasi dengan gerakan kemanusiaan universal.

Tetapi, apabila yang terjadi sebaliknya, pimpinan baru Muhammadiyah terlena dengan kesibukan internal organisasi sehingga tidak menghiraukan isu-isu keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaanglobal, dengansendirinya Muhammadiyah akan terasing denganlingkungannasionalmaupunglobalitusendiri.

Dengankata lain, keberadaanMuhammadiyah tidak dapat dirasakan langsung oleh umat, bangsa, dan kemanusiaan universal sehingga keberadaannya tidakbermaknabagi kehidupan di masa depan.

Isu-Isu Strategis Ada baiknya intisari isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal itu disebutkan di sini sebab pada hakikatnya isu-isu tersebut merupakan masalah-masalah aktual kehidupan yang harus menjadi perhatian publik.

Ada lima agenda yang menjadi isu keumatan: keberagamaan yang moderat, membangun dialog antariman dan antarbangsa, substansialisasi agama, dan membangun budaya hidup bersih. Dari lima isu tersebut, bermuara pada upaya menciptakan keberagamaan yang dialogis, toleran, dan bersih.

Sedangkan isu-isu strategis atau agenda kebangsaan meliputi: keberagamaan yang toleran, melayani dan memberdayakan kelompok difabel, tanggap dan tangguh menghadapi bencana, membangun budaya egalitarian dan sistem meritokrasi, mengatasi krisis air dan energi, memaksimalkan bonus demografi, membangun masyarakat ilmu, dan menyelamatkan negara dengan jihad konstitusi.

Titik berat isu kebangsaan ialah kepedulian Muhammadiyah untuk terlibat aktif dalam memecahkan masalah-masalah bangsa sehingga bangsa Indonesia benar-benar menjadi negara yang maju dan bermartabat. Isu-isu strategis kemanusiaan universal terkait langsung dengan keberlangsungan kehidupan manusia di muka bumi ini.

Secara rinci, isu-isu kemanusiaan universal meliputi: adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, perlindungan kelompok minoritas, eksistensi manusia di bumi, pemanfaatan teknologi komunikasi, dan mengatasi masalah pengungsi. Ini artinya Muhammadiyah sadar sebagai bagian dari warga dunia yang harus terlibat aktif dalam mengurai dan mengatasi masalah-masalah global yang berada persis di hadapan kita.

Tiga isu strategis yang dikemukakan di muka, baik keumatan, kebangsaan, maupun kemanusiaan universal benar-benar aktual dan kritikal. Disebut aktual karena ia benar-benar masalah riil yang dihadapi semua orang. Dikatakan kritikal karena dibutuhkan pemecahannya sesegara dan terencana. Ini artinya, masalah-masalah itu bukan hanya pekerjaan rumah bagi Muhammadiyah, tapi menjadi perhatian semua manusia yang hidup di planet bumi ini.

Secara konseptual, gagasan yang terkandung dalam isu-isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan mungkin bukan sesuatu yang benar-benar baru. Namun, karena tradisi pemikiran Muhammadiyah bercorak praksis yang tidak memisahkan antara gagasan dan tindakan, yang mendesak dilakukan saat ini adalah merumuskan kerangka aksinya.

Kerangka aksi ini penting karena bisa dijadikan panduan. Bukan hanya untuk kalangan internal, melainkan juga pihak eksternal yang memiliki perhatian serupa terhadap isu-isu strategis tersebut. Setelah sketsa kerangka aksi dirumuskan, langkah berikutnya adalah menyosialisasikan ke seluruh struktur Muhammadiyah dan pengelola amal usaha sehingga mereka bisa menjadi kekuatan inti yang menggerakkan dan menerapkan ide-ide itu sesuai posisi dan profesinya masing-masing.

Bersamaan dengan sosialisasi internal juga perlu dikomunikasikan dengan pihak luar, baik publik secara luas maupun pemerintah, sehingga ide-ide itu dapat terus bergulir dan menjadi arus utama (mainstream) dalam gerakan keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Sebagai catatan akhir, sesungguhnya bukan hanya pimpinan, tapi seluruh warga Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi orang pertama yang bisa menerapkan isu-isu strategis yang dikemukakan itu ke alam kehidupan nyata.

Inilah ciri kesalehan egaliter dalam Muhammadiyah, di mana kesalehan bukan dinilai dari tingginya jabatan struktural dalam organisasi, tapi dari komitmen untuk menerapkan hasil-hasil keputusan organisasi dengan penuh tanggung jawab. Kesalehan egaliter inilah yang mendorong generasi awal Muhammadiyah, di samping menjadi pimpinan struktural, juga menjadi pemangku masjid, pengasuh sekolah, mengurusi panti asuhan, dan lain-lain sebagai amalan keseharian yang konkret.

Sesungguhnya esensi gerakan Muhammadiyah ada di bawah, berupa gerakan amal yang nyata dalam kehidupan sosial. Kalau perhelatan muktamar dimaknai sebagai arena penyegaran kembali organisasi, setelah muktamar gerakan amal ini mestinya bergerak semakin dinamis dan bertambah maju sebagai wujud nyata bakti Muhammadiyah kepada bangsa.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0704 seconds (0.1#10.140)