Kemandirian Ekonomi Indonesia

Rabu, 12 Agustus 2015 - 08:29 WIB
Kemandirian Ekonomi Indonesia
Kemandirian Ekonomi Indonesia
A A A
Sebenarnya mencermati perekonomian suatu negara dalam pusaran global mirip dengan posisi ekonomi rumah tangga seseorang dengan pergaulannya dengan rumah tangga lainnya lebih luas.

Kalau suatu rumah tangga ekonominya kuat, tentunya dapat membantu pihak lainnya. Meskipun di luar sana terjadi kegaduhan, akan tenang saja karena posisi ekonominya sudah kuat.

Sebaliknya, kalau posisi ekonomi rumah tangga lemah, akan tergantung belas kasihan pihak lain dan bahkan bisa diaturnya untuk terus-menerus tergantung. Sekarang ini kegaduhan ekonomi Indonesia begitu kuatnya dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi global.

Indikator makro menunjukkan pelambatan pertumbuhan ekonomi, di mana pertumbuhan ekonomi triwulan I-2015 terhadap triwulan I-2014 tumbuh 4,72% (y-on-y) melambat dibanding periode yang sama pada 2014 sebesar 5,14%. Ekonomi Indonesia triwulan I- 2015 terhadap triwulan sebelumnya turun sebesar 0,18% (qto- q).

BPS belum lama ini bahkan merilis bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tercatat 4,67%, lebih rendah dibandingkan kuartal pertama yang mencapai 4,72%. Melihat kenyataan yang terjadi, Pemerintah Indonesia merevisi pertumbuhan ekonomi (PE) hingga akhir 2015 menjadi 5,2% setelah sebelumnya diperkirakan pada angka 5,4%.

Utang luar negeri Indonesia kian mengkhawatirkan. Menurut Bank Indonesia (BI), total utang luar negeri Indonesia mencapai USD276,49 miliar, tumbuh 8,73% dibandingkan dengan posisi 2013. Dari jumlah itu, porsi utang swasta atau korporasi merupakan yang paling besar yakni USD145,98 miliar.

Lalu, utang luar negeri pemerintah USD122,81 miliar dan sisanya utang BI. Berbagai pihak mengatakan, posisi utang luar negeri sudah merupakan lampu kuning karena pertumbuhannya yang tinggi, apalagi terdapat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang sudah di atas Rp13.000.

Pengalaman negara Yunani di ambang kebangkrutan karena utang luar negerinya yang terlalu besar menjadikan pelajaran berharga bagi Indonesia untuk dapat mengelola utang luar negerinya. Total utang Yunani Rp4.740 triliun hampir tiga kali APBN Indonesia, menjadikan contoh rumah tangga perorangan yang bergantung dan dapat diaturatur pihak lainnya.

Negara yang masa lalu menghasilkan para filsuf besar dunia sekarang menjadi negara yang tibatiba begitu lemah posisinya. John Perkins (2004) mengingatkan berbagai negara yang kaya sumber daya alam akan diperangkap oleh negara maju dengan berbagai cara salah satunya dengan utang luar negeri.

Di balik taktik pemberian utang luar negeri ini, khususnya bagi Indonesia, tidak dapat berkutik untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alamnya. Dengan melalui berbagai trik tertentu, sumber daya alam Indonesia lebih menguntungkan negara maju daripada untuk kesejahteraan rakyatnya.

Fokus Ekonomi Domestik

George Soros dalam The Theory of Reflexity menyatakan sistem ekonomi kapitalisme yang diprakarsai pihak Barat sesungguhnya sudah ”collapse ”, pasar yang berjalan menurutnya hanyalah semu belaka karena intervensi pihak pemerintah.

Pasar yang dalam sistem kapitalisme akan berjalan sendiri menuju keseimbangan ternyata dalam realitasnya hanya menciptakan sistem yang mudah pecah (bubble ) yang berakibat krisis terus-menerus. Peringatan Soros hendaknya dapat diambil hikmah oleh para pemangku pemerintahan untuk fokus mengurus perekonomian Indonesia menjadi perekonomian yang kuat dan mandiri.

Sejatinya, di balik kegaduhan dunia yang tidak menentu, sebenarnya merupakan peluang emas untuk berbenah terhadap ekonomi domestik meski perlu kiat cerdas dalam menyikapi perkembangan ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi sebagai motor penggerak ekonomi harus dapat digenjot tinggi karena pengangguran yang tinggi di Indonesia yang menurut data resmi masih sekitar 11 juta orang.

Belum lagi pertambahan angkatan kerja yang tinggi sekitar 2 juta orang setiap tahunnya. Kalau tidak dapat terserap kerja, mereka tentunya akan menjadi masalah tersendiri. Gangguan pertahanan dan keamanan dapat merupakan masalah pelik yang pemecahannya tentunya akan sulit.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mestinya yang berkualitas, kesenjangan distribusi pendapatan dapat diatasi. Kenaikan angka indeks Gini yang sudah di atas 0,40 merupakan pertanda bahwa dampak pembangunan kurang merata, di mana yang kaya dapat makin kaya dan yang miskin makin tertekan.

Saat terjadi pelemahan ekspor berbagai komoditas penting Indonesia karena harganya melemah di pasar global, fokus pada pembenahan usaha di dalam negeri menjadi begitu penting. Sangat mengherankan bagaimana Singapura dapat menjadi eksportir rempahrempah di dunia yang tinggi kalau bukan bahan bakunya dari Indonesia.

Mencontoh hal ini, arahkan usaha agroindustri di dalam negeri yang dapat memberikan nilai tambah kepada usaha pertanian primer yang di Indonesia sebenarnya potensinya begitu besar. Berbagai kebutuhan pokok yang masih diimpor seperti beras, bawang, daging sapi, garam, buah-buahan, dan lain-lainnya dapat diusahakan sendiri dengan perhatian penuh dari pemerintah maupun pihak lainnya.

Bukankah visi Pe-merintahan Jokowi-JK yang tercermin dalam Nawacita, yang terpenting ingin terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Realisasi dari hal tersebut begitu ditunggu dalam rangka menangkal taktik pihak lain yang tidak senang kalau negara kita maju dan kuat. Juga, dalam Nawacita dinyatakan akan menghadirkan negara yang bekerja di mana memberikan rasa aman dan melindungi, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, dan pelayanan publik.

Dalam kaitan ini sangat penting sekarang ini perlu dibuat berbagai aturan yang dapat memberikan keuntungan ke publik, baik pada pengelolaan kekayaan alam maupun bidang ekonomi lainnya. Masalah pemberantasan korupsi begitu pentingnya karena pernah ada pendapat yang mengatakan akar segala masalah di Indonesia terletak pada korupsi.

Korupsi yang sering dikatakan sudah merupakan budaya di Indonesia harus dapat ditekan seminimal mungkin supaya pembangunan dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Berbagai usaha domestik sering dituduh tidak dapat berkembang karena berbagai pihak di Indonesia sering memerankan perburuan rente, yang hanya menguntungkan segelintir kecil orang Indonesia, dan merugikan mayoritas anggota masyarakat.

Keberadaan ekonomi biaya tinggi di Indonesia menjadikan harga produk Indonesia tidak dapat bersaing dengan negara lain. Belum lagi buruknya infrastruktur di Indonesia, menjadikan biaya pengangkutan menjadi mahal. Masalah yang masih ada kaitannya dengan tingginya korupsi adalah berbagai pungutan liar dan mahalnya biaya pengurusan izin untuk kepentingan investasi.

Padahal, seperti diketahui, investasi merupakan salah satu determinan pertumbuhan ekonomi yang penting, di samping konsumsi dan indikator lainnya. Pembenahan ekonomi dan faktor nonekonomi secara komprehensif begitu penting bagi Indonesia dalam menuju masa depan yang gemilang, yang merupakan cita-cita kita bersama.

Realisasikan Nawacita secara konsisten kiranya ekonomi Indonesia sebagai suatu rumah tangga dapat kuat, berdaulat, dan mandiri. Semoga peluang yang ada di balik kegaduhan ekonomi global dapat dimanfaatkan secara baik oleh Indonesia.

Purbayu Budi Santosa
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3620 seconds (0.1#10.140)