Yang Tersisa dari Muktamar Ke-33 NU
A
A
A
Rumadi Ahmad
Staf Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Peneliti Senior the WAHID Institute
Muktamar Ke-33 NU yang berlangsung di Jombang, 1-5 Agustus 2015 bisa dikatakan sebagai muktamar yang penuh ujian bagi NU. Ujian itu sudah berlangsung sejak awal proses NU melempar tema Islam Nusantara yang dianggap kontroversial sebagian kalangan.
Proses muktamar pun diwarnai dinamika yang sangat tinggi, terutama dalam mekanisme pengangkatan Rais Am, dan pascamuktamar yang diwarnai ketidakpuasan sebagian pengurus wilayah (PW) dan pengurus cabang (PC) NU bahkan mengancam akan menggugat panitia Muktamar Ke-33 ke pengadilan.
Sebagaimana pernah saya tulis dalam koran ini, ” Menyongsong Ahlul Halli wal Aqdi” (KORAN SINDO, 30/7), persoalan mekanisme pemilihan Rais Am dengan menggunakan ahlul halli wal aqdi (AHWA) akan menjadi persoalan krusial dalam Muktamar Ke-33 NU. Hal ini sudah bisa dilihat sejak forum pra-Muktamar NU di berbagai daerah yang diwarnai perdebatan tajam.
Persoalan Islam Nusantara yang sebelumnya menjadi perdebatan publik justru tidak banyak muncul selama proses muktamar. Tidak berlebihan jika dikatakan, poros seluruh persoalan dan dinamika selama proses Muktamar Ke-33 NU adalah soal AHWA ini. Keributan dalam proses registrasi peserta muktamar juga berpangkal dari persoalan AHWA.
Demikian juga dengan keributan dalam proses persidangan pembahasan tata tertib juga berpangkalpada persoalan AHWA. Penyelesaian soal AHWA akhirnya diserahkan kepada Rois Syuriah PW dan PC NU. Itu pun tidak berhasil diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Keputusan akhirnya dilakukan melalui pemungutan suara: 352 suara mendukung AHWA, 235 suara menolak AHWA, dan 9 suara abstain.
Otoritas yang Menyelamatkan
Siapa pun yang menyaksikan proses persidangan pembahasan tata tertib persidangan, terutama ketika sampai Pasal 19 yang membahas soal AHWA, pasti khawatir dengan situasi itu. Bukan hanya hujan interupsi, melainkan tuduhan dan katakata kasar mewarnai forum itu.
Beberapa peneliti asing yang saya temui seperti Martin van Bruinessen dari Belanda dan Greg Fealy dari Australia juga mengungkapkan keprihatinannya. ”Mengapa NU bisa seperti ini?” ungkapnya. Pimpinan sidang yang juga Koordinator SC Slamet Efendi Yusuf berulangkali menskors persidangan karena situasi panas yang sulit dikendalikan.
Setidaknya ada tiga peserta muktamar yang terpaksa digelandang Banser ke luar arena muktamar atas perintah pimpinan sidang karena dianggap mengeluarkan kata-kata tidak senonoh dan tidak menghormati kiai-kiai sepuh yang ada di arena muktamar. Tidak sedikit orang yang mengkhawatirkan kelanjutan muktamar.
Kalau tidak ada jalan keluar, bukan tidak mungkin muktamar akan gagal dan deadlock . Bayang-bayang perpecahan sudah di depan mata. Di tengah situasi genting itu, KH Mustafa Bisri (Gus Mus) sebagai Rais Am mengumpulkan kiai-kiai sepuh untuk minta pertimbangan langkah yang bisa dilakukan.
Inilah ujian paling krusial untuk membuktikan apakah NU masih menghormati otoritas keulamaan atau otoritas itu tinggal mitos. Setelah musyawarah selesai, Gus Mus memasuki ruangan pleno dengan penuh keyakinan. Dengan nada bergetar dan menahan tangis, pidato Gus Mus mampu meredam dan mencairkan seluruh ketegangan selama muktamar.
Tidak sedikit muktamirin yang meneteskan air mata mendengar kata-kata teduh dan menghunjam yang disampaikan Gus Mus. Tak ada kegaduhan, semua menyimak dengan tenang yang disampaikan pemimpin tertinggi NU itu.
Setelahmenyatakanmalukepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada para pendiri NU, Hadaratusyaikh Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, atas perkembangan yang terjadi dalam muktamar, dengan suara tertahan Gus Mus mengatakan: ”....kalau perlu saya mencium kaki-kaki sampeyan semua, saya akanmenciumkaki-kaki Anda semua, agar Anda memperlihatkan akhlak Nahdlatul Ulama, akhlaknya Kiai Hasyim Asyari”.
Inilah pidato yang menghentikan seluruh ketegangan selama proses muktamar. Hal ini sekaligus menunjukkan otoritas ulama yang menjadi ciri khas NU masih ada. Suara ulama masih didengar. Hal inilah yang menyelamatkan NU dari ancaman perpecahan dalam muktamar beberapa waktu lalu. Bisa dibayangkan, kalau otoritas itu sudah hilang, NU hampir bisa dipastikan terbelah.
Tak Rakus Jabatan
Dalam arena berkembang isu, AHWA dipaksakan implementasinya dalam muktamar kali ini untuk memuluskan Gus Mus dan menghadang KH Hasyim Muzadi untuk menduduki pimpinan tertinggi NU, Rais Am.
Karena itu, sebagian kalangan mati-matian untuk memuluskan AHWA dan sebagian yang lain mati-matian menolak AHWA diterapkan dalam muktamar ke-33. Namun, asumsi ini tidak sepenuhnya terbukti. Gus Mus, meskipun ditunjuk dan dipilih oleh sembilan kiai yang menjadi anggota AHWA untuk menjadi Rais Am, justru menolak.
Inilah ahlakul karimah ulama NU yang nyaris hilang. Dalam sejarah NU, jabatan Rais Am memang tabu diperebutkan, apalagi dengan cara-cara politik kotor. Dengan langkah ini, Gus Mus melakukanduahalsekaligus. Pertama, jabatan bukanlah segalagalanya. Jabatan yang sudah diberikan pada dirinya pun ditolak.
Sikap ini sekaligus menepis anggapan bahwa AHWA digunakan untuk memuluskan kepentingan Gus Mus untuk menjadi Rais Am. Bahkan ada tuduhan yang tidak pantas, tangisan Gus Mus untukmeredamdanmencairkan ketegangan hanyalah akting. Semua tuduhan itu dengan sendirinya terbantahkan.
Kedua, meskipun alot, Muktamar Ke-33 NU telah berhasil meletakkan AHWA sebagai mekanisme untuk mengangkat Rais Am PBNU. Muktamar yang akan datang tidak akan ada lagi perdebatan mengenai AHWA. Muktamar Ke-33 telah berhasil ”melahirkan bayi” AHWA meskipun dengan kontraksi yang luar biasa menyakitkan.
Pascamuktamar
Dengan terpilihnya KH Maruf Amin sebagai Rais Am– karena Gus Mus tidak bersedia menerima jabatan itu– dan KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum Tanfidziyah 2015-2020, NU kembali fokus dan konsentrasi menjalankan misi sucinya.
Dalam kaitan ini, ada beberapa hal pasca-Muktamar Ke-33 yang layak untuk direfleksikan. Pertama , masih ada kelompok yang kecewa dengan proses MuktamarKe-33NU. Kelompok ini bahkan mengancam hendak melakukan gugatan ke pengadilanatashasilmuktamar. Meski ancaman ini belum terbukti, jika salah kelola, bisa menjadi api dalam sekam.
Karena itu, konsolidasi internal, terutama untuk PW dan PC NU yang kecewa dengan proses dan hasil Muktamar Ke-33, harus dilakukan. Kedua, ketegangan yang terjadi selama Muktamar Ke-33 tidak bisa dilepaskan dari aktoraktor yang mempunyai kepentingan politik terhadap NU. Tentu tidak bisa disalahkan jika ada orang atau kelompok punya kepentingan politik terhadap NU.
Kehidupan NU sepanjang sejarah juga tidak bisa dilepaskan dari politik. Namun, mudahnya Muktamar NU ”dipermainkan” oleh aktor-aktor politik menunjukkan bahwa NU memang terlalu terbuka untuk diintervensi. Terlalu kentalnya aroma politisasi muktamar harus dibayar mahal oleh NU, bukan saja kekacauan dalam proses, tapi juga substansi yang sudah dirumuskandalamtemamuktamarmenjadi terbengkalai.
Energi muktamirin dihabiskan untuk menyelesaikan persoalan AHWA, sedangkan Islam Nusantara yang menjadi tema muktamar tidak dibicarakan secara maksimal.
Staf Pengajar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Peneliti Senior the WAHID Institute
Muktamar Ke-33 NU yang berlangsung di Jombang, 1-5 Agustus 2015 bisa dikatakan sebagai muktamar yang penuh ujian bagi NU. Ujian itu sudah berlangsung sejak awal proses NU melempar tema Islam Nusantara yang dianggap kontroversial sebagian kalangan.
Proses muktamar pun diwarnai dinamika yang sangat tinggi, terutama dalam mekanisme pengangkatan Rais Am, dan pascamuktamar yang diwarnai ketidakpuasan sebagian pengurus wilayah (PW) dan pengurus cabang (PC) NU bahkan mengancam akan menggugat panitia Muktamar Ke-33 ke pengadilan.
Sebagaimana pernah saya tulis dalam koran ini, ” Menyongsong Ahlul Halli wal Aqdi” (KORAN SINDO, 30/7), persoalan mekanisme pemilihan Rais Am dengan menggunakan ahlul halli wal aqdi (AHWA) akan menjadi persoalan krusial dalam Muktamar Ke-33 NU. Hal ini sudah bisa dilihat sejak forum pra-Muktamar NU di berbagai daerah yang diwarnai perdebatan tajam.
Persoalan Islam Nusantara yang sebelumnya menjadi perdebatan publik justru tidak banyak muncul selama proses muktamar. Tidak berlebihan jika dikatakan, poros seluruh persoalan dan dinamika selama proses Muktamar Ke-33 NU adalah soal AHWA ini. Keributan dalam proses registrasi peserta muktamar juga berpangkal dari persoalan AHWA.
Demikian juga dengan keributan dalam proses persidangan pembahasan tata tertib juga berpangkalpada persoalan AHWA. Penyelesaian soal AHWA akhirnya diserahkan kepada Rois Syuriah PW dan PC NU. Itu pun tidak berhasil diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Keputusan akhirnya dilakukan melalui pemungutan suara: 352 suara mendukung AHWA, 235 suara menolak AHWA, dan 9 suara abstain.
Otoritas yang Menyelamatkan
Siapa pun yang menyaksikan proses persidangan pembahasan tata tertib persidangan, terutama ketika sampai Pasal 19 yang membahas soal AHWA, pasti khawatir dengan situasi itu. Bukan hanya hujan interupsi, melainkan tuduhan dan katakata kasar mewarnai forum itu.
Beberapa peneliti asing yang saya temui seperti Martin van Bruinessen dari Belanda dan Greg Fealy dari Australia juga mengungkapkan keprihatinannya. ”Mengapa NU bisa seperti ini?” ungkapnya. Pimpinan sidang yang juga Koordinator SC Slamet Efendi Yusuf berulangkali menskors persidangan karena situasi panas yang sulit dikendalikan.
Setidaknya ada tiga peserta muktamar yang terpaksa digelandang Banser ke luar arena muktamar atas perintah pimpinan sidang karena dianggap mengeluarkan kata-kata tidak senonoh dan tidak menghormati kiai-kiai sepuh yang ada di arena muktamar. Tidak sedikit orang yang mengkhawatirkan kelanjutan muktamar.
Kalau tidak ada jalan keluar, bukan tidak mungkin muktamar akan gagal dan deadlock . Bayang-bayang perpecahan sudah di depan mata. Di tengah situasi genting itu, KH Mustafa Bisri (Gus Mus) sebagai Rais Am mengumpulkan kiai-kiai sepuh untuk minta pertimbangan langkah yang bisa dilakukan.
Inilah ujian paling krusial untuk membuktikan apakah NU masih menghormati otoritas keulamaan atau otoritas itu tinggal mitos. Setelah musyawarah selesai, Gus Mus memasuki ruangan pleno dengan penuh keyakinan. Dengan nada bergetar dan menahan tangis, pidato Gus Mus mampu meredam dan mencairkan seluruh ketegangan selama muktamar.
Tidak sedikit muktamirin yang meneteskan air mata mendengar kata-kata teduh dan menghunjam yang disampaikan Gus Mus. Tak ada kegaduhan, semua menyimak dengan tenang yang disampaikan pemimpin tertinggi NU itu.
Setelahmenyatakanmalukepada Allah, kepada Rasulullah, dan kepada para pendiri NU, Hadaratusyaikh Hasyim Asyari, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Sansuri, atas perkembangan yang terjadi dalam muktamar, dengan suara tertahan Gus Mus mengatakan: ”....kalau perlu saya mencium kaki-kaki sampeyan semua, saya akanmenciumkaki-kaki Anda semua, agar Anda memperlihatkan akhlak Nahdlatul Ulama, akhlaknya Kiai Hasyim Asyari”.
Inilah pidato yang menghentikan seluruh ketegangan selama proses muktamar. Hal ini sekaligus menunjukkan otoritas ulama yang menjadi ciri khas NU masih ada. Suara ulama masih didengar. Hal inilah yang menyelamatkan NU dari ancaman perpecahan dalam muktamar beberapa waktu lalu. Bisa dibayangkan, kalau otoritas itu sudah hilang, NU hampir bisa dipastikan terbelah.
Tak Rakus Jabatan
Dalam arena berkembang isu, AHWA dipaksakan implementasinya dalam muktamar kali ini untuk memuluskan Gus Mus dan menghadang KH Hasyim Muzadi untuk menduduki pimpinan tertinggi NU, Rais Am.
Karena itu, sebagian kalangan mati-matian untuk memuluskan AHWA dan sebagian yang lain mati-matian menolak AHWA diterapkan dalam muktamar ke-33. Namun, asumsi ini tidak sepenuhnya terbukti. Gus Mus, meskipun ditunjuk dan dipilih oleh sembilan kiai yang menjadi anggota AHWA untuk menjadi Rais Am, justru menolak.
Inilah ahlakul karimah ulama NU yang nyaris hilang. Dalam sejarah NU, jabatan Rais Am memang tabu diperebutkan, apalagi dengan cara-cara politik kotor. Dengan langkah ini, Gus Mus melakukanduahalsekaligus. Pertama, jabatan bukanlah segalagalanya. Jabatan yang sudah diberikan pada dirinya pun ditolak.
Sikap ini sekaligus menepis anggapan bahwa AHWA digunakan untuk memuluskan kepentingan Gus Mus untuk menjadi Rais Am. Bahkan ada tuduhan yang tidak pantas, tangisan Gus Mus untukmeredamdanmencairkan ketegangan hanyalah akting. Semua tuduhan itu dengan sendirinya terbantahkan.
Kedua, meskipun alot, Muktamar Ke-33 NU telah berhasil meletakkan AHWA sebagai mekanisme untuk mengangkat Rais Am PBNU. Muktamar yang akan datang tidak akan ada lagi perdebatan mengenai AHWA. Muktamar Ke-33 telah berhasil ”melahirkan bayi” AHWA meskipun dengan kontraksi yang luar biasa menyakitkan.
Pascamuktamar
Dengan terpilihnya KH Maruf Amin sebagai Rais Am– karena Gus Mus tidak bersedia menerima jabatan itu– dan KH Said Aqil Siradj sebagai ketua umum Tanfidziyah 2015-2020, NU kembali fokus dan konsentrasi menjalankan misi sucinya.
Dalam kaitan ini, ada beberapa hal pasca-Muktamar Ke-33 yang layak untuk direfleksikan. Pertama , masih ada kelompok yang kecewa dengan proses MuktamarKe-33NU. Kelompok ini bahkan mengancam hendak melakukan gugatan ke pengadilanatashasilmuktamar. Meski ancaman ini belum terbukti, jika salah kelola, bisa menjadi api dalam sekam.
Karena itu, konsolidasi internal, terutama untuk PW dan PC NU yang kecewa dengan proses dan hasil Muktamar Ke-33, harus dilakukan. Kedua, ketegangan yang terjadi selama Muktamar Ke-33 tidak bisa dilepaskan dari aktoraktor yang mempunyai kepentingan politik terhadap NU. Tentu tidak bisa disalahkan jika ada orang atau kelompok punya kepentingan politik terhadap NU.
Kehidupan NU sepanjang sejarah juga tidak bisa dilepaskan dari politik. Namun, mudahnya Muktamar NU ”dipermainkan” oleh aktor-aktor politik menunjukkan bahwa NU memang terlalu terbuka untuk diintervensi. Terlalu kentalnya aroma politisasi muktamar harus dibayar mahal oleh NU, bukan saja kekacauan dalam proses, tapi juga substansi yang sudah dirumuskandalamtemamuktamarmenjadi terbengkalai.
Energi muktamirin dihabiskan untuk menyelesaikan persoalan AHWA, sedangkan Islam Nusantara yang menjadi tema muktamar tidak dibicarakan secara maksimal.
(bbg)