Problem Pilkada Serentak
A
A
A
Era baru dalam berdemokrasi di Indonesia dengan label pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak akan dilaksanakan pada 9 Desember 2015. Pilkada yang pesertanya terbanyak di seluruh dunia ini dimulai dengan pendaftaran para pasangan bakal calon kepala daerah dari tanggal 25- 28 Juli tahun ini.
Data yang didapat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara atau pelaksana pilkada serentak ini menyatakan bahwa pilkada serentak akan dilaksanakan di 260 kabupaten/kota dan 9 propinsi.
Suatu kondisi yang luar biasa baik dari biaya penyelenggaraan, jumlah pasangan peserta atau bakal pasangan calon peserta kepala daerah, dan sejumlah permasalahan yang membelitnya dalam dinamika percepatan demokratisasi di Indonesia Problem Krusial Sampai akhir penutupan pendaftaran tahap I masih ada beberapa permasalahan krusial yang menyeruak, antara lain; Pertama, tidak terpenuhinya jumlah bakal calon kepala daerah yang mendaftar.
Dalam konteks ini bisa terjadi karena sampai penutupan pendaftaran dan perpanjangan pendaftaran (1-3 Agustus) masih ada tujuh daerah yang belum bisa dipastikan ikut pilkada dan terancam diundur. KPU atas usul Bawaslu membuka lagi pendaftaran khusus tujuh daerah tersebut pada 9-11 Agustus.
Masa perpanjangan ini tidak mustahil untuk menghindari ketentuan formal dengan memunculkan ”calon boneka” sebagai salah satu solusi jangka pendek agar tidak dikenai ”sanksi” mengikuti pilkada serentak tahap kedua tahun 2017.
Bagi ketujuh daerah yang hanya ada calon tunggal tersebut tentu akan menimbulkan masalah baru. Ada beberapa opsi yang berkembang, yaitu tetap melanjutkan pemilihan dengan cara ”mengadu” calon tunggal tersebut dengan bumbung kosong dan perlunya membuat peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) yang memungkinkan hanya satu pasangan calon atau dengan cara lain lagi yakni memperpanjang massa pendaftaran untuk kedua kalinya.
Mengikuti perkembangan terakhir nampaknya alternatif untuk memperpanjang secara teori mudah dilakukan, tetapi dalam praktik akan menimbulkan masalah baru. Misalnya sampai penutupan perpanjangan (tanggal 11 Agustus) tidak ada atau tidak muncul pasangan balon baru.
Jika hal ini terjadi tampaknya akan menimbulkan problem baru, yakni diundur lagi sampai ada dua jumlah pasangan. Pandangan selintas dari penyelenggara pemilu nampaknya tetap akan melaksanakan pilkada sesuai dengan peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, yakni melaksanakan pilkada diundur pada tahun 2015.
Jika hal ini yang terjadi maka ketujuh daerah tersebut akan terjadi vakum kepala daerah selama 2 tahun dan akan dipimpin oleh sekretaris kepala daerah sebagai penjabat tugas kepala daerah. Problem kedua adanya politik uang atau uang mahar politik.
Mahar ini oleh beberapa ketua atau pemuka partai politik selalu diingkari dan dimungkiri keberadaannya, tetapi pada tingkat implementasi di berbagai daerah keberadaan mahar politik sebagai sebuah pelicin untuk dapat diajukan sebagai balon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik keberadaannya selalu tidak bisa dimungkiri.
Praktik mahar ini tentu sangat ”melukai” rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat bagi para kandidat yang mempunyai performa baik sebagai bakal calon namun tidak bisa memenuhi permintaan besaran nilai mahar tersebut.
Mahar politik itu ibarat gas buang dalam tubuh kita (kentut) ada baunya namun tidak tampak warnanya. Ketiga, adanya calon yang berstatus sebagai mantan narapidana. Ada satu fenomena yang menarik dalam pendaftaran pasangan balon kepala daerah yang ikut berpartisipasi dalam pilkada serentak saat itu.
Fenomena itu adalah munculnya mantan narapidana (napi) yang ikut mendaftarkan. Setidaktidaknya dari pengamatan penulis, ada tiga calon kepala daerah yang berstatus sebagai mantan napi dan ikut berperan serta, yakni Elly Engelbert Lasut mantan bupati Kabu-paten Talanda, Jimmy Rimba Rogi mantan Wali Kota Manado, Vonny Panambuan mantan Bupati Minahasa Utara.
Ketiga calon tersebut apakah bisa digunakan sebagai acuan apakah ini sebagai pertanda maju atau mundurnya perkembangan demokrasi di Indonesia. Secara normatif Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan memperbolehkan mantan napi sebagai balon kepala daerah walaupun putusan itu secara sosiologis telah tersandera secara moralitas dan integritas.
Keempat, mempertanyakan kembali netralitas PNS. Setiap saat pemilu atau pilkada berlangsung, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap PNS dalam perhelatan demokrasi di Indonesia? Pertanyaan akademikyangselalumunculadalah berperan netral atau tidakkah PNS dalam pilkada? Hasil pengamatan penulis dalam beberapa kesempatan terlihat beberapa orang yang memakai atribut PNS malah dengan jelas mengikuti acara peresmian pasangan balon kepala daerah atau bahkan menghantarkan mendaftarkan ke KPUD dan juga ikut serta kampanye.
Mengantisipasi hal tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat Edaran No B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 yang isinya menegaskan kembali bahwa seluruh ASN harus bersikap netral.
Surat edaran tersebut mengingatkan kembali pada eksistensi PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Secara mudah dapat diketahui bahwa surat edaran Menpan tersebut bertujuan agar dapat terwujud ASN yang bersih dan bebas dari intervensi politik.
Di samping itu juga menjaga aset pemerintah dilarang digunakan untuk kampanye. Kendaraan dinas, ruang rapat, dan peralatan kantor, misalnya maka tak boleh digunakan untuk kegiatan politik.
PNS juga dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang merugikan atau menguntungkan satu pasangancalon selama masa kampanye dan atau mengadakan kegiatan yang mengarah terhadap keberpihakan kepada salah satu pasangan calon yang menjadi peserta pilkada baik sebelum, selama dan sesudah masa kampanye. PNS juga dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah.
Keempat problem krusial tersebut jika dapat dihindari akan dapat merealisasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang jujur adil dengan tingkat partisipasi para pemilih agar dapat melahirkan pemimpin daerah yang kredibel, berintegritas dengan partisipasi atau dukungan publik yang tinggi. Semoga.
Prof Dr Jamal Wiwoho, Sh, Mhum
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS Solo)
Data yang didapat dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara atau pelaksana pilkada serentak ini menyatakan bahwa pilkada serentak akan dilaksanakan di 260 kabupaten/kota dan 9 propinsi.
Suatu kondisi yang luar biasa baik dari biaya penyelenggaraan, jumlah pasangan peserta atau bakal pasangan calon peserta kepala daerah, dan sejumlah permasalahan yang membelitnya dalam dinamika percepatan demokratisasi di Indonesia Problem Krusial Sampai akhir penutupan pendaftaran tahap I masih ada beberapa permasalahan krusial yang menyeruak, antara lain; Pertama, tidak terpenuhinya jumlah bakal calon kepala daerah yang mendaftar.
Dalam konteks ini bisa terjadi karena sampai penutupan pendaftaran dan perpanjangan pendaftaran (1-3 Agustus) masih ada tujuh daerah yang belum bisa dipastikan ikut pilkada dan terancam diundur. KPU atas usul Bawaslu membuka lagi pendaftaran khusus tujuh daerah tersebut pada 9-11 Agustus.
Masa perpanjangan ini tidak mustahil untuk menghindari ketentuan formal dengan memunculkan ”calon boneka” sebagai salah satu solusi jangka pendek agar tidak dikenai ”sanksi” mengikuti pilkada serentak tahap kedua tahun 2017.
Bagi ketujuh daerah yang hanya ada calon tunggal tersebut tentu akan menimbulkan masalah baru. Ada beberapa opsi yang berkembang, yaitu tetap melanjutkan pemilihan dengan cara ”mengadu” calon tunggal tersebut dengan bumbung kosong dan perlunya membuat peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) yang memungkinkan hanya satu pasangan calon atau dengan cara lain lagi yakni memperpanjang massa pendaftaran untuk kedua kalinya.
Mengikuti perkembangan terakhir nampaknya alternatif untuk memperpanjang secara teori mudah dilakukan, tetapi dalam praktik akan menimbulkan masalah baru. Misalnya sampai penutupan perpanjangan (tanggal 11 Agustus) tidak ada atau tidak muncul pasangan balon baru.
Jika hal ini terjadi tampaknya akan menimbulkan problem baru, yakni diundur lagi sampai ada dua jumlah pasangan. Pandangan selintas dari penyelenggara pemilu nampaknya tetap akan melaksanakan pilkada sesuai dengan peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, yakni melaksanakan pilkada diundur pada tahun 2015.
Jika hal ini yang terjadi maka ketujuh daerah tersebut akan terjadi vakum kepala daerah selama 2 tahun dan akan dipimpin oleh sekretaris kepala daerah sebagai penjabat tugas kepala daerah. Problem kedua adanya politik uang atau uang mahar politik.
Mahar ini oleh beberapa ketua atau pemuka partai politik selalu diingkari dan dimungkiri keberadaannya, tetapi pada tingkat implementasi di berbagai daerah keberadaan mahar politik sebagai sebuah pelicin untuk dapat diajukan sebagai balon kepala daerah oleh partai politik atau gabungan partai politik keberadaannya selalu tidak bisa dimungkiri.
Praktik mahar ini tentu sangat ”melukai” rasa keadilan dan kepatutan dalam masyarakat bagi para kandidat yang mempunyai performa baik sebagai bakal calon namun tidak bisa memenuhi permintaan besaran nilai mahar tersebut.
Mahar politik itu ibarat gas buang dalam tubuh kita (kentut) ada baunya namun tidak tampak warnanya. Ketiga, adanya calon yang berstatus sebagai mantan narapidana. Ada satu fenomena yang menarik dalam pendaftaran pasangan balon kepala daerah yang ikut berpartisipasi dalam pilkada serentak saat itu.
Fenomena itu adalah munculnya mantan narapidana (napi) yang ikut mendaftarkan. Setidaktidaknya dari pengamatan penulis, ada tiga calon kepala daerah yang berstatus sebagai mantan napi dan ikut berperan serta, yakni Elly Engelbert Lasut mantan bupati Kabu-paten Talanda, Jimmy Rimba Rogi mantan Wali Kota Manado, Vonny Panambuan mantan Bupati Minahasa Utara.
Ketiga calon tersebut apakah bisa digunakan sebagai acuan apakah ini sebagai pertanda maju atau mundurnya perkembangan demokrasi di Indonesia. Secara normatif Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan memperbolehkan mantan napi sebagai balon kepala daerah walaupun putusan itu secara sosiologis telah tersandera secara moralitas dan integritas.
Keempat, mempertanyakan kembali netralitas PNS. Setiap saat pemilu atau pilkada berlangsung, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap PNS dalam perhelatan demokrasi di Indonesia? Pertanyaan akademikyangselalumunculadalah berperan netral atau tidakkah PNS dalam pilkada? Hasil pengamatan penulis dalam beberapa kesempatan terlihat beberapa orang yang memakai atribut PNS malah dengan jelas mengikuti acara peresmian pasangan balon kepala daerah atau bahkan menghantarkan mendaftarkan ke KPUD dan juga ikut serta kampanye.
Mengantisipasi hal tersebut, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat Edaran No B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 yang isinya menegaskan kembali bahwa seluruh ASN harus bersikap netral.
Surat edaran tersebut mengingatkan kembali pada eksistensi PP Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Secara mudah dapat diketahui bahwa surat edaran Menpan tersebut bertujuan agar dapat terwujud ASN yang bersih dan bebas dari intervensi politik.
Di samping itu juga menjaga aset pemerintah dilarang digunakan untuk kampanye. Kendaraan dinas, ruang rapat, dan peralatan kantor, misalnya maka tak boleh digunakan untuk kegiatan politik.
PNS juga dilarang membuat keputusan dan atau tindakan yang merugikan atau menguntungkan satu pasangancalon selama masa kampanye dan atau mengadakan kegiatan yang mengarah terhadap keberpihakan kepada salah satu pasangan calon yang menjadi peserta pilkada baik sebelum, selama dan sesudah masa kampanye. PNS juga dilarang memberikan dukungan kepada calon kepala daerah maupun wakil kepala daerah.
Keempat problem krusial tersebut jika dapat dihindari akan dapat merealisasi penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang jujur adil dengan tingkat partisipasi para pemilih agar dapat melahirkan pemimpin daerah yang kredibel, berintegritas dengan partisipasi atau dukungan publik yang tinggi. Semoga.
Prof Dr Jamal Wiwoho, Sh, Mhum
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS Solo)
(bhr)