Jokowi dan Lebaran Sepi

Jum'at, 07 Agustus 2015 - 09:42 WIB
Jokowi dan Lebaran Sepi
Jokowi dan Lebaran Sepi
A A A
Mudik Lebaran tahun ini bagi penulis tidak sekadar meninggalkan kesan “biasa” seperti kangenkangenan dengan keluarga dan sahabat kecil di kampung halaman.

Lebih dari itu, momen tahunan ini mengonfirmasi bahwa tren perlambatan ekonomi sebagaimana data makro, ternyata memang terjadi di lapangan, khususnya menimpa pelaku usaha kecil. Seperti cerita Suyono, pedagang Nasi Goreng Babad yang khas di Kota Jepara, Jawa Tengah. Ia mengatakan, musim Lebaran tahun ini “sepi”.

Maksudnya, ia tak menangguk keuntungan seperti tahun lalu. Cerita Suyono linear dengan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bahwa penjualan selama Ramadan dan Lebaran 2015 menurun hingga 30 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Masih menurut KADIN, perlambatan ekonomi menjadi faktor menurunnya daya beli masyarakat.

Tak hanya itu, tren perlambatan juga terlihat di lantai bursa, di mana kinerja perusahaan sektor konsumsi dan ritel yang ditahun-tahun sebelumnya selama Ramadan-Lebaran moncer, tahun ini sebagian besar rontok. Praktis hanya tujuh dari dua puluh perusahaan ritel yang harga sahamnya mengalami kenaikan. Sementara, sisanya menukik tajam.

Saham Ritel Rontok

Adalah PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) yang nilai per lembar sahamnya melorot hingga ke level Rp2.775. Sama juga yang menimpa PT Modern International (MDRN), saat sahamnya terkoreksi hingga 34,9% di masa peak season lalu. Tak berlebihan bila Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia menyimpulkan kinerja penjualan secara umum selama Ramadan- Lebaran 2015 sangat mengecewakan.

Padahal, pada kondisi normal tahun lalu musim Lebaran bisa menyumbang hingga 40% dari total pendapatan dalam setahun. Sementara tahun ini diperkirakan hanya mampu berkontribusi 25%. Lalu apa dampak perlambatan ekonomi di atas bagi masyarakat dan dunia usaha?

Pertama, pelambatan pertumbuhan ekonomi telah menekan daya beli masyarakat, sehingga memaksa warga untuk berhemat. Kedua, dampak lebih lanjut dari menurunnya pendapatan masyarakat, tabungan yang seharusnya digunakan sebagai simpanan, akan ditarik untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Imbasnya, kalangan perbankan akan mengalami tekanan seiring berkurangnya likuiditas dari masyarakat.

Ketiga, menurunnya kualitas kredit di perbankan, atau bahasa awamnya, besaran kredit macet makin membengkak. Sebagaimana data Infobank, Juli 2015, pertumbuhan kredit sampai akhir 2015 diprediksi berada di sekitar 9% sampai 13 persen dan non performing loan (NPL) menunjukkan tren meningkat.

Diperkirakan, setidaknya ada 14 bank yang harus bekerja keras untuk menekan NPL-nya yang terkerek hingga di atas 5%, sementara 104 bank lainnya harus mengantisipasi ancaman kredit macet. Dampak lanjutan yang bersifat non-ekonomi dari perlambatan ekonomi adalah menurunnya kepuasan publik terhadap pemerintah di bawah komando Presiden Jokowi.

Di sisi lain, kepercayaan investor kepada kemampuan pemerintah mengatasi perlambatan ekonomi juga tergerus. Hal ini terkonfirmasi dari hasil survei SMRC pada Juni 2015 bahwa hanya 40,7% publik yang puas atas hasil kerja Presiden Jokowi.

Respons negatif juga ditunjukkan komunitas luar negeri, seperti yang disampaikan seorang duta besar kita di negara kawasan Amerika Utara dan Tengah, bahwa banyak investor asing menahan investasinya masuk ke Indonesia karena belum yakin Presiden bisa mengendalikan politik dan keamanan secara penuh.

Tesis itu diperkuat analisa Jeffrey Winters, Indonesianis asal Amerika Serikat (AS) barubaru inidi TheWallStreet Journal. Iamengatakan, Presiden Jokowi adalah pemimpin terlemah Indonesia di era reformasi. Kondisi ini dikarenakan masifnya kepentingan elite parpol di sekeliling Jokowi dalam menggolkan kepentingannya masingmasing.

Winters mengistilahkan, tekanan tersebut sebagai tinju atau pukulan dari eliteelite parpol. Hal lain yang membuat Winters yakin bahwa Jokowi lemah karena Jokowi dianggap belum berpengalaman mengelola negara sebesar dan seluas Indonesia dengan berbagai kompleksitasnya. Kita boleh sepakat atau tidak dengan Winters, karena semua analisa pastinya memiliki unsur objektif dan subjektif.

Meski begitu, tanpa melihat analisis Winters sekalipun, publik awam juga tahu bahwa Presiden Jokowi mengalami apa yang penulis istilahkan sebagai “ tidak memiliki ruang yang cukup luas sebagai seorang presiden”.

Seperti saat Jokowi tidak diberikan kesempatan berpidato pada Kongres PDIP (yang notabene partainya) di Bali, konflik KPKPolri, kontroversi BG sebagai Kapolri, hingga terjun bebasnya rupiah ke level Rp13.500 per USD. Semua itu menjadikan rakyat yang semula mengidolakan (memilih) Jokowi di Pilpres, kini banyak yang kecewa.

Utang Fantastis

Menyoal kemampuan dan pengalaman Jokowi yang minim sebagaimana kritik Winters setidaknya terlihat dari banyaknya blunder yang dilakukan Jokowi di umur pemerintahannya yang masih singkat. Di antaranya Jokowi salah menyebut data bahwa Indonesia masih punya utang pada IMF. Kesalahan itu segera dikoreksi Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Belum lagi blunder Jokowi soal Perpres No 39 Tahun 2015 tentang Down Payment (DP) mobil pejabat yang dikenal dengan kalimat “I don”I dont read was I sign”. Juga, kesalahan penyebutan tempat lahir Presiden Soekarno saat berpidato. Terakhir yang juga sangat penting, visi Jokowi untuk membawa Indonesia menjadi negara mandiri dan menghentikan rezim utang luar negeri juga hanya retorika.

Padahal, isu ini menjadi tema utama dalam kampanye Jokowi-JK di Pilpres lalu. Sebagaimana disampaikan Tjahjo Kumolo, saat itu Sekjen PDIP, bahwa visi Jokowi adalah membawa Indonesia lebih mandiri dengan menolak bentuk utang baru supaya bisa mengurangi beban utang setiap tahun.

Visi tersebut sepertinya makin kuat kala Jokowi mengecam dominasi World Bank, IMF dan ADB dalam pidatonya di Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (KAA), April 2015 lalu. Ia mengatakan, World Bank dan IMF tidak memberi solusi bagi pembangunan dunia.

Ironisnya, tak lama setelah gelaran KAA usai, Jokowi menunjukkan inkonsistensi antara pernyataan dan kebijakan terkait utang luar negeri. Pasalnya saat ini, hanya dalam delapan bulan pertama kekuasaannya, Jokowi telah mencetak utang yang fantastis.

Pemerintah telah meminjam dana dari World Bank senilai USD12 miliar atau setara Rp143 triliun, dari Tiongkok Rp650 triliun, pinjaman IDB sebesar Rp66 triliun, dan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi Euro 1,25 miliar Euro. Sesuatu yang sulit dipahami ketika kita membaca kecaman Jokowi terhadap World Bank-IMF. Wallaahu alam.

ZAENAL A BUDIYONO, MSI
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6465 seconds (0.1#10.140)