PPP Kubu Romi Tak Setuju RUU Penghinaan Presiden
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengungkapkan, Rancangan Undang-undang (RUU) yang diajukan pemerintah terkait pasal penghinaan presiden, masih menyalin dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang lama.
Menurutnya, jika yang tertera sama maka Komisi III tidak bisa menerima, lantaran pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau kita hidupkan dengan bunyi dan unsur sama, kita ini sama-sama inkonstitusional," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/8/2015).
"Karena keputusan MK itu tidak hanya mengikat pihak yang mengajukan, tapi mengikat pemerintah dan mengikut semua lembaga negara," imbuh politikus PPP kubu M Romahurmuziy (Romi) ini.
Kendati demikian, terkait penghinaan kepala negara dalam hal ini adalah presiden, kata dia, terdapat dua sisi yang dipertimbangkan.
Pertama menurut Arsul, pasal seperti itu, hampir semua negara membuatnya dalam konteks untuk membungkam kritik. Kedua, untuk menghormati kepala negara tetapi dalam konteks dia sebagai kepala negara saja, tidak sebagai kepala pemerintah.
"Jadi kalau sebagai kepala negara kan dia simbol negara, di KUHP kita itu kan sejarahnya, timbul setelah Belanda berubah, dari monarki absolut menjadi monarki parlementer dimana ratu atau raja tidak menjalankan pemerintahan," jelasnya.
"Dia hanya jadi lambang pemersatu negara, tidak boleh dicela. Tapi kalau kepala pemerintahan, perdana menterinya boleh dihina. Yang masih mengikuti itu Thailand. Kalau menghina pasti ditangkap. Tapi kalau perdana menterinya dihina tidak apa-apa," sambungnya.
Pilihan:
KPK Segera Limpahkan Berkas OC Kaligis ke Pengadilan
Kekuatan Marinir Indonesia Masuk Tiga Besar di Dunia
Menurutnya, jika yang tertera sama maka Komisi III tidak bisa menerima, lantaran pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau kita hidupkan dengan bunyi dan unsur sama, kita ini sama-sama inkonstitusional," ujar Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/8/2015).
"Karena keputusan MK itu tidak hanya mengikat pihak yang mengajukan, tapi mengikat pemerintah dan mengikut semua lembaga negara," imbuh politikus PPP kubu M Romahurmuziy (Romi) ini.
Kendati demikian, terkait penghinaan kepala negara dalam hal ini adalah presiden, kata dia, terdapat dua sisi yang dipertimbangkan.
Pertama menurut Arsul, pasal seperti itu, hampir semua negara membuatnya dalam konteks untuk membungkam kritik. Kedua, untuk menghormati kepala negara tetapi dalam konteks dia sebagai kepala negara saja, tidak sebagai kepala pemerintah.
"Jadi kalau sebagai kepala negara kan dia simbol negara, di KUHP kita itu kan sejarahnya, timbul setelah Belanda berubah, dari monarki absolut menjadi monarki parlementer dimana ratu atau raja tidak menjalankan pemerintahan," jelasnya.
"Dia hanya jadi lambang pemersatu negara, tidak boleh dicela. Tapi kalau kepala pemerintahan, perdana menterinya boleh dihina. Yang masih mengikuti itu Thailand. Kalau menghina pasti ditangkap. Tapi kalau perdana menterinya dihina tidak apa-apa," sambungnya.
Pilihan:
KPK Segera Limpahkan Berkas OC Kaligis ke Pengadilan
Kekuatan Marinir Indonesia Masuk Tiga Besar di Dunia
(maf)