MOS dan Nilai Bangsa
A
A
A
Isu pendidikan yang menarik pada tahun ajaran baru yang jatuh setiap pertengahan tahun adalah masa orientasi siswa (MOS).
Sebagian pihak mengatakan itu sebagai opspek atau ospek. Bahkan kalau mau mengartikan lebih keras lagi adalah perploncoan. Plonco, opspek atau ospek, dan MOS pada dasarnya adalah kegiatan untuk menyambut siswa baru (anggota baru) agar mengenal tentang sekolah atau organisasi yang baru dimasuki.
Mungkin juga bertujuan agar, saat memasuki lingkungan yang baru, para siswasiswi lebih cepat beradaptasi. Semua yang mengenyam pendidikan di Tanah Air hampir pasti merasakan kegiatan tersebut, baik menjadi peserta atau penyelenggara. Ada perasaan takut, khawatir, risau dalam menyambut kegiatan MOS, plonco atau opspek (ospek) itu.
Tapi, tak jarang ada yang biasa saja atau bahkan senang. Namun, diyakini banyak siswa-siswi baru yang merasa khawatir atau bahkan takut untuk mengikuti kegiatan tersebut. Jika bukan kegiatan yang wajib diikuti, dipastikan MOS atau opspek (ospek) itu akan sepi peserta dan bisa jadi urung dilakukan.
Karena kegiatan ini wajib bagi siswasiswi baru, hampir semua atau bahkan semua mengikutinya. Yang tidak ikut akan terkena sanksi tergantung masing-masing organisasi sekolah. Penyelenggaranya adalah siswa-siswi senior yang pasti sudah mendapat restu dari para guru atau bahkan kepala sekolah.
Hampir semua organisasi sekolah dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi menyelenggarakan MOS atau opspek (ospek) pada tahun ajaran baru. Isu ini semakin menarik ketika ada siswa-siswi baru yang jatuh sakit atau bahkan meninggal. Maka, jadi hebohlah tentang MOS dan opspek (ospek).
Kejadian tersebut semakin membuat siswa-siswi baru khawatir, risau, atau bahkan ketakutan untuk memasuki lingkungan baru mereka. Lalu, kenapa MOS yang bertujuan mengenalkan lingkungan baru kepada anggota baru justru menghasilkan korban, baik sakit atau bahkan meninggal?
Bukan tujuannya yang salah, melainkan caranya yang salah, bahkan salah kaprah. Bertujuan untuk menumbuhkan mental baru justru dilakukan dengan bentakan. Menanamkan nilai-nilai baru dengan cara kegiatan fisik semimiliter. Menumbuhkan rasa solidaritas dengan cara ”mengerjai” siswasiswi baru dengan tugas-tugas atau kegiatan yang tak masuk akal.
Semakin tak masuk akal atau konyol konon katanya makin seru. Bukankah mengenalkan lingkungan baru tidak harus dengan kekerasan dan tugas-tugas yang konyol? Tidak perlu dibahas bagaimana mengisi kegiatan MOS yang lebih tepat karena semua pihak pasti sudah mengetahui atau bahkan memberikan usulan kepada organisasi pendidikan tentang bagaimana melakukan MOS yang baik dan benar, jauh dari kekerasan verbal dan nonverbal, juga jauh dari ihwal yang konyol.
Kegiatan MOS yang masih diisi kegiatan bentakan, kekerasan, dan kegiatan konyol adalah salah satu cermin buramnya pendidikan bangsa ini. Bukankah dengan kekerasan justru melahirkan generasi yang hanya mencari solusi dengan kekerasan?
Dengan bentakan bukankah justru memunculkan generasi yang gampang marah? Membuat kegiatan konyol bukankah justru melahirkan generasi yang berpikir konyol? Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang mengedepankan kekerasan, kemarahan, dan kekonyolan.
Nilai bangsa ini adalah gotong-royong, kegigihan, kerendahan hati, dan kesabaran. Bukankah kegiatan orientasi siswa-siswi baru semestinya mencerminkan empat hal di atas, yang merupakan wajah asli bangsa Indonesia? MOS yang diisi dengan kekerasan, kemarahan, dan kekonyolan justru mencoreng atau bahkan menghapus nilai-nilai bangsa.
Padahal, dunia pendidikan adalah lembaga yang semestinya getol menanamkan nilai-nilai gotong-royong, kegigihan, kerendahan hati, dan kesabaran. Semuapihakpastimerindukansuasanagotong-royong, kegigihan, kerendahan hati, dan kesabaran yang merupakan warisan para leluhur bangsa ini.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus semakin berperan aktif untuk menghapus cara-cara yang bukan mencirikan nilai-nilai bangsa. Jika MOS masih diisi dengan kekerasan, kemarahan, dan kekonyolan, bukankah sudah layak untuk dihapus saja?
Sebagian pihak mengatakan itu sebagai opspek atau ospek. Bahkan kalau mau mengartikan lebih keras lagi adalah perploncoan. Plonco, opspek atau ospek, dan MOS pada dasarnya adalah kegiatan untuk menyambut siswa baru (anggota baru) agar mengenal tentang sekolah atau organisasi yang baru dimasuki.
Mungkin juga bertujuan agar, saat memasuki lingkungan yang baru, para siswasiswi lebih cepat beradaptasi. Semua yang mengenyam pendidikan di Tanah Air hampir pasti merasakan kegiatan tersebut, baik menjadi peserta atau penyelenggara. Ada perasaan takut, khawatir, risau dalam menyambut kegiatan MOS, plonco atau opspek (ospek) itu.
Tapi, tak jarang ada yang biasa saja atau bahkan senang. Namun, diyakini banyak siswa-siswi baru yang merasa khawatir atau bahkan takut untuk mengikuti kegiatan tersebut. Jika bukan kegiatan yang wajib diikuti, dipastikan MOS atau opspek (ospek) itu akan sepi peserta dan bisa jadi urung dilakukan.
Karena kegiatan ini wajib bagi siswasiswi baru, hampir semua atau bahkan semua mengikutinya. Yang tidak ikut akan terkena sanksi tergantung masing-masing organisasi sekolah. Penyelenggaranya adalah siswa-siswi senior yang pasti sudah mendapat restu dari para guru atau bahkan kepala sekolah.
Hampir semua organisasi sekolah dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi menyelenggarakan MOS atau opspek (ospek) pada tahun ajaran baru. Isu ini semakin menarik ketika ada siswa-siswi baru yang jatuh sakit atau bahkan meninggal. Maka, jadi hebohlah tentang MOS dan opspek (ospek).
Kejadian tersebut semakin membuat siswa-siswi baru khawatir, risau, atau bahkan ketakutan untuk memasuki lingkungan baru mereka. Lalu, kenapa MOS yang bertujuan mengenalkan lingkungan baru kepada anggota baru justru menghasilkan korban, baik sakit atau bahkan meninggal?
Bukan tujuannya yang salah, melainkan caranya yang salah, bahkan salah kaprah. Bertujuan untuk menumbuhkan mental baru justru dilakukan dengan bentakan. Menanamkan nilai-nilai baru dengan cara kegiatan fisik semimiliter. Menumbuhkan rasa solidaritas dengan cara ”mengerjai” siswasiswi baru dengan tugas-tugas atau kegiatan yang tak masuk akal.
Semakin tak masuk akal atau konyol konon katanya makin seru. Bukankah mengenalkan lingkungan baru tidak harus dengan kekerasan dan tugas-tugas yang konyol? Tidak perlu dibahas bagaimana mengisi kegiatan MOS yang lebih tepat karena semua pihak pasti sudah mengetahui atau bahkan memberikan usulan kepada organisasi pendidikan tentang bagaimana melakukan MOS yang baik dan benar, jauh dari kekerasan verbal dan nonverbal, juga jauh dari ihwal yang konyol.
Kegiatan MOS yang masih diisi kegiatan bentakan, kekerasan, dan kegiatan konyol adalah salah satu cermin buramnya pendidikan bangsa ini. Bukankah dengan kekerasan justru melahirkan generasi yang hanya mencari solusi dengan kekerasan?
Dengan bentakan bukankah justru memunculkan generasi yang gampang marah? Membuat kegiatan konyol bukankah justru melahirkan generasi yang berpikir konyol? Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang mengedepankan kekerasan, kemarahan, dan kekonyolan.
Nilai bangsa ini adalah gotong-royong, kegigihan, kerendahan hati, dan kesabaran. Bukankah kegiatan orientasi siswa-siswi baru semestinya mencerminkan empat hal di atas, yang merupakan wajah asli bangsa Indonesia? MOS yang diisi dengan kekerasan, kemarahan, dan kekonyolan justru mencoreng atau bahkan menghapus nilai-nilai bangsa.
Padahal, dunia pendidikan adalah lembaga yang semestinya getol menanamkan nilai-nilai gotong-royong, kegigihan, kerendahan hati, dan kesabaran. Semuapihakpastimerindukansuasanagotong-royong, kegigihan, kerendahan hati, dan kesabaran yang merupakan warisan para leluhur bangsa ini.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus semakin berperan aktif untuk menghapus cara-cara yang bukan mencirikan nilai-nilai bangsa. Jika MOS masih diisi dengan kekerasan, kemarahan, dan kekonyolan, bukankah sudah layak untuk dihapus saja?
(bbg)