Gagasan Kebangsaan NU
A
A
A
Anna Luthfie
Alumni Pondok Pesantren Al-Amin Gaprang Blitar
Nahdlatul Ulama (NU) dan gagasan tentang kebangsaan bagaikan dua keping mata uang yang tidak terpisahkan.
Bagaimana tidak, NU lahir sebagai upaya merajut kepentingan umat yang tetap tidak terpisahkan dari kepentingan kebangsaan. Dari mulai era prakemerdekaan sampai era digital saat ini komitmen kebangsaan tetap melekat dalam organisasi kemasyarakatan terbesar tersebut. Sumbangsih NU dalam merajut nilai-nilai kebangsaan tentu telah tercatat dengan apik dan rapi di dalam sejarah negeri ini, meskipun kemudian di sejarah perjalanan Orde Baru NU seakan menjadi anak tiri yang terasingkan dalam proses sosial politik.
Namun, sejarah kebangsaan di negeri ini tidak bisa mengingkari, bahwa NU adalah anak kandung dari kebangsaan itu sendiri. Untuk itu, tema besar Islam Nusantara dalam Muktamar NU tahun ini mestinya tidak dipandang sebagai gagasan baru. NU hanya berupaya meneguhkan kembali cita kebangsaannya yang melekat sejak organisasi ini dilahirkan.
Bahkan, pada Muktamar tahun 1936 telah dibicarakan gagasan terkait pendirian negara Indonesia di tengah masih kuatnya praktik kolonialisme. Gagasan ini juga diperkuat dengan pembentukan gabungan politik Indonesia sebagai embrio keparlemenan di Indonesia untuk mewadahi perjuangan bangsa melalui mejameja perundingan politik. Tentu, yang paling fenomenal dalam sejarah adalah Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asyari pada Oktober 1945.
Pendiri NU tersebut mengeluarkan fatwa bahwa mati syahid bagi mereka yang tewas melawan tentara Sekutu. Fatwa ini memicu ribuan pemuda dari seantero Jawa Timur saat itu untuk masuk ke Kota Surabaya dan mempertahankan kota itu dengan melawan kembalinya Belanda setelah Jepang hengkang. Ribuan santri pun turut berjuang melawan tentara NICA di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby.
Harun, salah satu santri pondok pesantren Tebuireng, adalah penaruh bom di mobil Mallaby yang membuat pemimpin tentara sekutu tersebut tewas. PBNU mengusulkan peristiwa tewasnya Harun pada 22 Oktober sebagai Hari Santri. Usul ini merupakan upaya memberi tanda bagaimana kontribusi santri dalam membangun kebangsaan melalui perjuangan yang dilakukan Harun dan kawan-kawan santri lainnya di era perjuangan kemerdekaan.
Umat dan Bangsa
Resolusi jihad ini menjadi potret apa yang dipandang oleh NU selama ini adalah demi kepentingan umat dan bangsa. Persoalan keumatan adalah persoalan kebangsaan, demikian pula sebaliknya. Hal ini cukup mewarnai gerak langkah NU. Di era Orde Baru, misalnya, pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU menghasilkan dua keputusan.
Pertama, menerima Pancasila sebagai satusatunya asas. Kedua, mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan sesuai dengan Khittah NU 1926. Peneguhan pada Pancasila adalah sikap kebangsaan NU. Hal ini kemudian diteguhkan kembali pada muktamar-muktamar berikutnya, sampai pada tahun 1992, di tengah rapat akbar.
Di sini NU berkomitmen untuk meneguhkan kehidupan kebangsaan dengan pelaksanaan UUD 1945 secara baik dan benar. Upaya kebangsaan lainnya adalah dengan pembentukan Laskar Aswaja yang dilakukan untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama sekaligus untuk membentengi ideologi transnasional yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan dan menolak radikalisme berbasis agama. Hal ini adalah contoh-contoh bagaimana komitmen NU dalam kebangsaan dan keumatan.
Islam Nusantara
Gagasan Islam Nusantara yang menjadi tema besar muktamar NU tahun ini sebenarnya tidak lepas dari gagasan besar organisasi ini terhadap nilainilai kebangsaan. Mengangkat tema Islam Nusantara adalah upaya NU menguatkan kembali toleransi antarumat beragama yang akan berujung pada kemaslahatan bersama, bagi umat, dan bagi bangsa.
Gagasan ini dipahami sebagai peneguhan sekaligus mempromosikan Islam yang penuh toleransi kepada yang berbeda keyakinan atau paham. NU menyadari ada upaya dari kelompok tertentu untuk merusak Islam dengan paham kekerasan. Islam di Indonesia adalah Islam yang penuh toleransi. Nilai-nilai inilah yang diupayakan NU untuk tetap melekat dalam wajah Islam di Indonesia.
Tentu, tanpa menafikan polemik dan prokontra yang berkembang terkait Islam Nusantara, gagasan NU tentang kebangsaan dan keindonesiaan tidak bisa dimungkiri lagi tetap akan menjadi gagasan bersama untuk memperkuat kebersamaan sebagai bangsa.
Tentu publik menyandarkan harapannya pada muktamar NU tahun ini agar organisasi ini tetap setia menjadi garda depan untuk merawat sekaligus menjadi nilai-nilai kebangsaan yang sudah ditanamkan oleh para pendirinya. Bagaimanapun, NU telah inheren dalam nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Wallahu alam bishshawab.
Alumni Pondok Pesantren Al-Amin Gaprang Blitar
Nahdlatul Ulama (NU) dan gagasan tentang kebangsaan bagaikan dua keping mata uang yang tidak terpisahkan.
Bagaimana tidak, NU lahir sebagai upaya merajut kepentingan umat yang tetap tidak terpisahkan dari kepentingan kebangsaan. Dari mulai era prakemerdekaan sampai era digital saat ini komitmen kebangsaan tetap melekat dalam organisasi kemasyarakatan terbesar tersebut. Sumbangsih NU dalam merajut nilai-nilai kebangsaan tentu telah tercatat dengan apik dan rapi di dalam sejarah negeri ini, meskipun kemudian di sejarah perjalanan Orde Baru NU seakan menjadi anak tiri yang terasingkan dalam proses sosial politik.
Namun, sejarah kebangsaan di negeri ini tidak bisa mengingkari, bahwa NU adalah anak kandung dari kebangsaan itu sendiri. Untuk itu, tema besar Islam Nusantara dalam Muktamar NU tahun ini mestinya tidak dipandang sebagai gagasan baru. NU hanya berupaya meneguhkan kembali cita kebangsaannya yang melekat sejak organisasi ini dilahirkan.
Bahkan, pada Muktamar tahun 1936 telah dibicarakan gagasan terkait pendirian negara Indonesia di tengah masih kuatnya praktik kolonialisme. Gagasan ini juga diperkuat dengan pembentukan gabungan politik Indonesia sebagai embrio keparlemenan di Indonesia untuk mewadahi perjuangan bangsa melalui mejameja perundingan politik. Tentu, yang paling fenomenal dalam sejarah adalah Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH Hasyim Asyari pada Oktober 1945.
Pendiri NU tersebut mengeluarkan fatwa bahwa mati syahid bagi mereka yang tewas melawan tentara Sekutu. Fatwa ini memicu ribuan pemuda dari seantero Jawa Timur saat itu untuk masuk ke Kota Surabaya dan mempertahankan kota itu dengan melawan kembalinya Belanda setelah Jepang hengkang. Ribuan santri pun turut berjuang melawan tentara NICA di bawah pimpinan Brigjen AWS Mallaby.
Harun, salah satu santri pondok pesantren Tebuireng, adalah penaruh bom di mobil Mallaby yang membuat pemimpin tentara sekutu tersebut tewas. PBNU mengusulkan peristiwa tewasnya Harun pada 22 Oktober sebagai Hari Santri. Usul ini merupakan upaya memberi tanda bagaimana kontribusi santri dalam membangun kebangsaan melalui perjuangan yang dilakukan Harun dan kawan-kawan santri lainnya di era perjuangan kemerdekaan.
Umat dan Bangsa
Resolusi jihad ini menjadi potret apa yang dipandang oleh NU selama ini adalah demi kepentingan umat dan bangsa. Persoalan keumatan adalah persoalan kebangsaan, demikian pula sebaliknya. Hal ini cukup mewarnai gerak langkah NU. Di era Orde Baru, misalnya, pada Muktamar NU Ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU menghasilkan dua keputusan.
Pertama, menerima Pancasila sebagai satusatunya asas. Kedua, mengembalikan NU menjadi organisasi sosial keagamaan sesuai dengan Khittah NU 1926. Peneguhan pada Pancasila adalah sikap kebangsaan NU. Hal ini kemudian diteguhkan kembali pada muktamar-muktamar berikutnya, sampai pada tahun 1992, di tengah rapat akbar.
Di sini NU berkomitmen untuk meneguhkan kehidupan kebangsaan dengan pelaksanaan UUD 1945 secara baik dan benar. Upaya kebangsaan lainnya adalah dengan pembentukan Laskar Aswaja yang dilakukan untuk merespons keresahan atas radikalisme berbasis agama sekaligus untuk membentengi ideologi transnasional yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan dan menolak radikalisme berbasis agama. Hal ini adalah contoh-contoh bagaimana komitmen NU dalam kebangsaan dan keumatan.
Islam Nusantara
Gagasan Islam Nusantara yang menjadi tema besar muktamar NU tahun ini sebenarnya tidak lepas dari gagasan besar organisasi ini terhadap nilainilai kebangsaan. Mengangkat tema Islam Nusantara adalah upaya NU menguatkan kembali toleransi antarumat beragama yang akan berujung pada kemaslahatan bersama, bagi umat, dan bagi bangsa.
Gagasan ini dipahami sebagai peneguhan sekaligus mempromosikan Islam yang penuh toleransi kepada yang berbeda keyakinan atau paham. NU menyadari ada upaya dari kelompok tertentu untuk merusak Islam dengan paham kekerasan. Islam di Indonesia adalah Islam yang penuh toleransi. Nilai-nilai inilah yang diupayakan NU untuk tetap melekat dalam wajah Islam di Indonesia.
Tentu, tanpa menafikan polemik dan prokontra yang berkembang terkait Islam Nusantara, gagasan NU tentang kebangsaan dan keindonesiaan tidak bisa dimungkiri lagi tetap akan menjadi gagasan bersama untuk memperkuat kebersamaan sebagai bangsa.
Tentu publik menyandarkan harapannya pada muktamar NU tahun ini agar organisasi ini tetap setia menjadi garda depan untuk merawat sekaligus menjadi nilai-nilai kebangsaan yang sudah ditanamkan oleh para pendirinya. Bagaimanapun, NU telah inheren dalam nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Wallahu alam bishshawab.
(ars)