Perang Melawan Korupsi Pengadaan Barang & Jasa
A
A
A
Korupsi pengadaan barang dan jasa pemerintah seakan masih menjadi agenda yang terlewatkan dalam isu besar pemberantasan korupsi.
Seringkali langkah pemberantasan korupsi terjebak pada hilir atau akibat tanpa membereskan hulu permasalahan atau sebab. Padahal, korupsi pengadaan barang dan jasa justru merupakan grand corruption.
Ini adalah hulu permasalahan dari rentetan panjang kasus korupsi yang sistemik, dan berdampak pada mandeknya pembangunan fisik dan buruknya kualitas infrastruktur pemerintah.
Riset dari Michael Buehler (2012) mengenai reformasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah dan merujuk data Indonesia Procurement Watch (IPW) menunjukkan 70% praktik korupsi berakar dari sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 560 kasus korupsi sepanjang 2013 dengan angka kerugian negara sebesar Rp7,3 triliun rupiah, 40,7% (228 kasus) merupakan kasus yang berkaitan dengan korupsi pengadaan barang dan jasa.
Dari 1271 tersangka, sekitar 47,6% (605 orang) merupakan tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa. Fakta lain, berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK 2014, penanganan berdasarkan jenis perkara menunjukkan dari 58 perkara korupsi sepanjang 2014, 15 di antaranya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
Sisanya berupa 5 kasus untuk korupsi perizinan, 20 untuk penyuapan, 6 pungutan, 4 penyalahgunaan anggaran, 5 pencucian uang, dan 3 kasus merintangi pemeriksaan KPK. Namun, jika laporan tersebut diteliti lebih jauh, perkara perizinan, suap, pungutan, dan penyalahgunaan anggaran masih terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai hulu permasalahan.
Dari korupsi pengadaan barang dan jasa, terjadi banyak kecelakaan karena kualitas jalan raya yang buruk akibat dana proyek yang dikorupsi. Hal yang sama juga terjadi misalnya pada jembatan yang sudah roboh sebelum waktunya karena kualitas pengerjaan yang buruk jauh di bawah standar kelayakan.
Korupsi pengadaan barang dan jasa juga menyebabkan banyak gedung sekolah yang ambruk karena kualitas bangunan yang buruk. Anggaran untuk infrastruktur pendidikan yang seharusnya digunakan untuk mencerdaskan anak bangsa justru dikorupsi. Apa yang bisa kita harapkan dari generasi dengan kualitas infrastruktur pendidikan yang buruk?
Potensi Kebocoran APBN
Kemitraan mencatat terdapat setidaknya tiga hal yang menyebabkan terjadi kerawanan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Pertama, melibatkan anggaran negara yang sangat besar.
Kedua, merupakan relasi transaksional ekonomis antara pemilik anggaran yang didukung dengan kewenangan dan kekuasaan dan pihak penyedia barang dan jasa. Ketiga, pengadaan hanya melibatkan sedikit pihak.
Dengan demikian, ruang keterlibatan publik, transparansi, dan akuntabilitas dari proses pengadaan sangat sulit untuk dapat diwujudkan. Pemerintahan Joko Widodo mencanangkan era pembangunan infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan untuk infrastruktur mencapai Rp290,3 triliun.
Anggaran infrastruktur ini yang terbesar sejak pemerintahan SBY dari 2005-2014. Tiga kementerian yang mendapatkan porsi alokasi terbesar dari anggaran infrastruktur ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp105 triliun, Kementerian Perhubungan Rp52,5 triliun, dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp5,9 triliun.
Pos anggaran infrastruktur yang besar ini menunjukkan komitmen Presiden mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, besarnya anggaran infrastruktur rentan menjadi lahan korupsi para mafia proyek karena sistem dan mekanisme pengawasan yang masih belum menutup celah korupsi pengadaan.
Memberantas dari Hulu
Kari Heggstad, Mona Froystad, and Jan Isaksen (2010) membagi korupsi dalam pengadaan menjadi dua level yakni korupsi birokrasi ( bureaucratic corruption ) dan korupsi politik (political corruption).
Korupsi politik terjadi ketika pejabat yang memiliki kewenangan di level atas menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Korupsi pada level ini biasanya terjadi pada tahap perencanaan anggaran pembangunan yang melibatkan eksekutif dan legislatif.
Lalu, dari mana perang melawan korupsi pengadaan barang dan jasa ini dimulai? Apa yang harus dilakukan untuk mencegah korupsi sejak di hulu? Pertama, komitmen harus dimulai dari Presiden Jokowi. Lazim diketahui bahwa korupsi sangat erat kaitannya dengan kekuasaan politik.
Karena itu, dibutuhkan komitmen Presiden, one and for all: tak ada pembagian jatahproyekataukekuasaanbagi relawan, tim sukses, atau lingkaran dekat Presiden. Semuanya diserahkan pada mekanisme kompetisiyangaturannya sudah ditetapkan pemerintah.
Komitmen ini penting untuk membatasi kekuasaan politik agar tidak memberi ruang sedikit pun pada setiap potensi kecurangan pengadaan barang dan jasa. Secanggih apa pun sistem yang diciptakan, selama masih ada fleksibilitas dan celah untuk korupsi, potensi kebocoran akan tetap ada. Kedua, modernisasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) selaku lembaga berwenang dalam proses pengadaan barang dan jasa jangan sampai terjebak pada formalitas kegiatan pengadaan dan sertifikasi, tapi seharusnya juga melakukan perbaikan signifikan secara internal.
Perbaikan yang urgen untuk segera dilakukan seperti modernisasi sistem manajemen informasi pengadaan, integrasi database LKPP dengan KPK, BPK, dan institusi pengawas lainnya, serta perbaikan sumber daya manusia (SDM) di Unit Layanan Pengadaan (ULP) seluruh Indonesia.
Ketiga, deteksi dini korupsi politik pengadaan barang dan jasa. Dalam hal ini KPK dan LKPP harus menciptakan sistem yang terintegrasi untuk mendeteksi potensi kecurangan dalam setiap tahapan pengadaan. Peran KPK dalam hal ini strategis terutama dalam pencegahan dan penindakan korupsi politik.
Hal ini karena political corruptionbiasanya melibatkan kongkalikong antara oknum di eksekutif dan legislatif dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan proyek. Sistem deteksi dini kerja sama KPK dan LKPP diharapkan mampu mencegah perencanaan anggaran yang dicurigai merupakan bagian dari upaya korupsi politik, melalui pengadaan barang dan jasa baik di pusat maupun di daerah.
Kita berharap momentum pemilihan calon pimpinan KPK periode 2015-2019 dapat melahirkan jajaran komisioner yang peduli terhadap perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa secara menyeluruh.
Jangan sampai nurani publik terkooptasi dengan pengertian sustainable development (pembangunan berkelanjutan) yang keliru yakni bangsa ini harus terus menerus membangun walaupun dengan kualitas dan prosedur yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perang melawan korupsi pengadaan barang dan jasa harus dimulai sekarang atau pembangunan bangsa ini akan terus tertinggal karena kualitas infrastruktur yang buruk.
Prof Ade Maman Suherman
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
Seringkali langkah pemberantasan korupsi terjebak pada hilir atau akibat tanpa membereskan hulu permasalahan atau sebab. Padahal, korupsi pengadaan barang dan jasa justru merupakan grand corruption.
Ini adalah hulu permasalahan dari rentetan panjang kasus korupsi yang sistemik, dan berdampak pada mandeknya pembangunan fisik dan buruknya kualitas infrastruktur pemerintah.
Riset dari Michael Buehler (2012) mengenai reformasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah dan merujuk data Indonesia Procurement Watch (IPW) menunjukkan 70% praktik korupsi berakar dari sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 560 kasus korupsi sepanjang 2013 dengan angka kerugian negara sebesar Rp7,3 triliun rupiah, 40,7% (228 kasus) merupakan kasus yang berkaitan dengan korupsi pengadaan barang dan jasa.
Dari 1271 tersangka, sekitar 47,6% (605 orang) merupakan tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa. Fakta lain, berdasarkan Laporan Akuntabilitas Kinerja KPK 2014, penanganan berdasarkan jenis perkara menunjukkan dari 58 perkara korupsi sepanjang 2014, 15 di antaranya kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
Sisanya berupa 5 kasus untuk korupsi perizinan, 20 untuk penyuapan, 6 pungutan, 4 penyalahgunaan anggaran, 5 pencucian uang, dan 3 kasus merintangi pemeriksaan KPK. Namun, jika laporan tersebut diteliti lebih jauh, perkara perizinan, suap, pungutan, dan penyalahgunaan anggaran masih terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah sebagai hulu permasalahan.
Dari korupsi pengadaan barang dan jasa, terjadi banyak kecelakaan karena kualitas jalan raya yang buruk akibat dana proyek yang dikorupsi. Hal yang sama juga terjadi misalnya pada jembatan yang sudah roboh sebelum waktunya karena kualitas pengerjaan yang buruk jauh di bawah standar kelayakan.
Korupsi pengadaan barang dan jasa juga menyebabkan banyak gedung sekolah yang ambruk karena kualitas bangunan yang buruk. Anggaran untuk infrastruktur pendidikan yang seharusnya digunakan untuk mencerdaskan anak bangsa justru dikorupsi. Apa yang bisa kita harapkan dari generasi dengan kualitas infrastruktur pendidikan yang buruk?
Potensi Kebocoran APBN
Kemitraan mencatat terdapat setidaknya tiga hal yang menyebabkan terjadi kerawanan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Pertama, melibatkan anggaran negara yang sangat besar.
Kedua, merupakan relasi transaksional ekonomis antara pemilik anggaran yang didukung dengan kewenangan dan kekuasaan dan pihak penyedia barang dan jasa. Ketiga, pengadaan hanya melibatkan sedikit pihak.
Dengan demikian, ruang keterlibatan publik, transparansi, dan akuntabilitas dari proses pengadaan sangat sulit untuk dapat diwujudkan. Pemerintahan Joko Widodo mencanangkan era pembangunan infrastruktur dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2015. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan untuk infrastruktur mencapai Rp290,3 triliun.
Anggaran infrastruktur ini yang terbesar sejak pemerintahan SBY dari 2005-2014. Tiga kementerian yang mendapatkan porsi alokasi terbesar dari anggaran infrastruktur ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Rp105 triliun, Kementerian Perhubungan Rp52,5 triliun, dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebesar Rp5,9 triliun.
Pos anggaran infrastruktur yang besar ini menunjukkan komitmen Presiden mewujudkan pemerataan pembangunan di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, besarnya anggaran infrastruktur rentan menjadi lahan korupsi para mafia proyek karena sistem dan mekanisme pengawasan yang masih belum menutup celah korupsi pengadaan.
Memberantas dari Hulu
Kari Heggstad, Mona Froystad, and Jan Isaksen (2010) membagi korupsi dalam pengadaan menjadi dua level yakni korupsi birokrasi ( bureaucratic corruption ) dan korupsi politik (political corruption).
Korupsi politik terjadi ketika pejabat yang memiliki kewenangan di level atas menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingan pribadi dan kelompok. Korupsi pada level ini biasanya terjadi pada tahap perencanaan anggaran pembangunan yang melibatkan eksekutif dan legislatif.
Lalu, dari mana perang melawan korupsi pengadaan barang dan jasa ini dimulai? Apa yang harus dilakukan untuk mencegah korupsi sejak di hulu? Pertama, komitmen harus dimulai dari Presiden Jokowi. Lazim diketahui bahwa korupsi sangat erat kaitannya dengan kekuasaan politik.
Karena itu, dibutuhkan komitmen Presiden, one and for all: tak ada pembagian jatahproyekataukekuasaanbagi relawan, tim sukses, atau lingkaran dekat Presiden. Semuanya diserahkan pada mekanisme kompetisiyangaturannya sudah ditetapkan pemerintah.
Komitmen ini penting untuk membatasi kekuasaan politik agar tidak memberi ruang sedikit pun pada setiap potensi kecurangan pengadaan barang dan jasa. Secanggih apa pun sistem yang diciptakan, selama masih ada fleksibilitas dan celah untuk korupsi, potensi kebocoran akan tetap ada. Kedua, modernisasi sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) selaku lembaga berwenang dalam proses pengadaan barang dan jasa jangan sampai terjebak pada formalitas kegiatan pengadaan dan sertifikasi, tapi seharusnya juga melakukan perbaikan signifikan secara internal.
Perbaikan yang urgen untuk segera dilakukan seperti modernisasi sistem manajemen informasi pengadaan, integrasi database LKPP dengan KPK, BPK, dan institusi pengawas lainnya, serta perbaikan sumber daya manusia (SDM) di Unit Layanan Pengadaan (ULP) seluruh Indonesia.
Ketiga, deteksi dini korupsi politik pengadaan barang dan jasa. Dalam hal ini KPK dan LKPP harus menciptakan sistem yang terintegrasi untuk mendeteksi potensi kecurangan dalam setiap tahapan pengadaan. Peran KPK dalam hal ini strategis terutama dalam pencegahan dan penindakan korupsi politik.
Hal ini karena political corruptionbiasanya melibatkan kongkalikong antara oknum di eksekutif dan legislatif dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan proyek. Sistem deteksi dini kerja sama KPK dan LKPP diharapkan mampu mencegah perencanaan anggaran yang dicurigai merupakan bagian dari upaya korupsi politik, melalui pengadaan barang dan jasa baik di pusat maupun di daerah.
Kita berharap momentum pemilihan calon pimpinan KPK periode 2015-2019 dapat melahirkan jajaran komisioner yang peduli terhadap perbaikan sistem pengadaan barang dan jasa secara menyeluruh.
Jangan sampai nurani publik terkooptasi dengan pengertian sustainable development (pembangunan berkelanjutan) yang keliru yakni bangsa ini harus terus menerus membangun walaupun dengan kualitas dan prosedur yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Perang melawan korupsi pengadaan barang dan jasa harus dimulai sekarang atau pembangunan bangsa ini akan terus tertinggal karena kualitas infrastruktur yang buruk.
Prof Ade Maman Suherman
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed)
(bhr)