Kekebalan Terbatas bagi Para Pengawas

Jum'at, 24 Juli 2015 - 08:43 WIB
Kekebalan Terbatas bagi Para Pengawas
Kekebalan Terbatas bagi Para Pengawas
A A A
Penersangkaan kepada dua Komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri, baru-baru ini mencuatkan kembali isu yang pernah populer yakni imunitas terbatas.

Hal ini pertama kali dicuatkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saat dua pimpinannya, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, ditersangkakan oleh kepolisian. Namun, pernyataan itu tidak bergema lebih lanjut karena objek sangkaan atas keduanya bukan terkait dengan tindaktanduk saat menjadi pimpinan KPK.

Tidak demikian halnya dengan penersangkaan dua Komisioner KY. Seperti diketahui, keduanya memberi komentar atas perilaku Hakim Sarpin yang selain melahirkan putusan praperadilan yang kontroversial, juga tidak mau datang saat dipanggil KY. Dengan kata lain, segala komentar terkait yang kemudian dimuat di mediamassa, dapat dikatakan diucapkan dalam rangka tugas selaku komisioner.

Hampir sama nasibnya adalah seluruh Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 11 Komisioner diadukan oleh pengacara yang mewakili Bareskrim karena melansir kronologi penangkapan Bambang Widjojanto di media- massa awal tahun ini. Apakah konteks tindakan para komisioner Komnas HAM saat memublikasikan hasil investigasi mereka? Tentu saja dalam rangka tugas dan jabatannya.

Tetapi, karena itu pula mereka diadukan. Untungnya, hingga saat ini Bareskrim belum menetapkan mereka sebagai tersangka. Situasi serupa tapi tak sama dialami oleh penulis sendiri tahun lalu, saat dipanggil kepolisian sehubungan dengan pernyataan penulis di mediamassa. Yang menarik, pada kasus penulis, pelapor adalah kepolisian sendiri, minimal adalah orang yang sengaja disuruh kepolisian untuk melaporkan penulis.

Apa konteks penulis berbicara miring tentang kepolisian, lagi-lagi dalam rangka tugas dan jabatan. Sebenarnya cukup jelas pembeda antara berbuat dalam rangka tugas dan jabatan maupun yang tidak. Sudah ada komisioner yang mengalaminya. Misalnya, Azlaini Agus, mantan Komisioner Ombudsman yang dipolisikan karena melakukan kekerasan.

Atau, ada pula kasus yang lebih serius, yakni yang menimpa pimpinan KPK Antasari Azhar. Ia ditersangkakan karena terlibat pembunuhan Masih tentang KPK adalah penersangkaan terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.

Keduanya disangka menerima suap, yang dalam hal ini tentunya terkait tugas dan jabatan. Belum sempat dibuktikan di persidangan, kasus keduanya keburu di-deponir oleh Kejaksaan Agung gara-gara tekanan kuat masyarakat kepada Presiden SBY.

Seyogianya Galak dan Menggigit

Dalam konteks ketatanegaraan kita, kehadiran berbagai lembaga auxilliary (tambahan) umumnya dimaksudkan sebagai pengawas atas kinerja lembaga primer atau sebagai pendamping dari fungsi primer pemerintahan. Berbeda dengan lembaga-lembaga primer di pemerintahan, maka tudingan tidak berkinerja mudah kerap ditujukan kepada lembaga-lembaga auxilliary ini.

Padahal, sejatinya, kinerja lembaga ini pada dasarnya adalah kinerja lembaga yang diawasinya. Atau, semakin baiknya kinerja lembaga/kementerian yang menjadi stakeholder- nya semakin baik pula kinerja lembaga tambahan ini.

Salah satunya dalam rangka mendorong kinerja lembaga yang diawasi, maka para pengawas ini memang cenderung untuk menjadi pihak yang kritis, tidak mudah percaya atau menerima apa adanya yang disuguhkan lembaga yang diawasi. Diharapkan, situasi itu akan lebih mendorong pihak yang diawasi untuk menampilkan unjuk kerja yang lebih baik dan bukan apa adanya.

Masalahnya, hal ini mudah pula menimbulkan friksi bahkan konflik. Situasi mengawasi-diawasi menjadikan munculny asituasi saling berhadapan. Maka, di satu pihak, menjadi galak dan menggigit adalah keniscayaan bagi para komisioner, di pihak lain itu menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada objek yang diawasi.

Selanjutnya, karena objek yang diawasi umumnya merasa diri sebagai organisasi yang lebih tua dan lebih besar, maka mereka tidak hanya tinggal diam tetapi juga melakukan semacam ”pembalasan”. Itulah yang pernah terjadi pada Komisi Yudisial saat Mahkamah Agung ”mengerjai” dengan cara menutup kantor, meminta MK untuk membatalkan sebagian kewenangan KY hingga menersangkakan Suparman Marzuki.

Pada level yang berbeda, Polri juga pernah melakukan hal serupa kepada Kompolnas saat periode Adnan Pandupradja dkk. sebagai komisioner. Apa yang terjadi jika para pengawas tidak galak dan menggigit? Ya tidak apa-apa juga. Namun, penilaian publik umumnya negatif terhadap komisioner yang kinerjanya hampir tak terdengar itu.

Mengapa Media- Massa?

Memang, baru akhir-akhir ini saja terjadi kecenderungan menersangkakan komisioner akibat pernyataan di mediamassa. Dari situ, mudah muncul anggapan yang menyalahkan tindakan membuat pernyataan di media itu. Retorikanya, biarlah kritik untuk kalangan dalam saja, tidak usah dibawa keluar.

Dalam hal ini, tak ubahnya orang-orang lain, para komisioner juga memahami kekuatan dan pengaruh media. Seringkali, suatu masalah yang dicuatkan oleh media, kemudian menarik perhatian banyak orang dan, ujung-ujungnya, memperoleh pembenahan atau respons yang segera.

Sebaliknya, jika tidak diberitakan, maka respons diduga akan lambat atau malah tidak ada perubahan sama sekali. Terdapat pula alasan lain, yakni selaras dengan pemikiran bahwa publik berhak tahu atas apa yang terjadi di lembaga yang diawasi. Singkatnya, membawa suatu masalah ke media adalah suatu pilihan strategis yang sejalan dengan tugas pokok dan fungsi para pengawas.

Terdapat pula pertimbangan strategis lain terkait dengan modalitas lembaga pengawas yang rata-rata lebih lemah dari yang diawasi, atau amat terbatas apabila dikaitkan dengan permasalahan yang menjadi perhatian. Mengacu pertimbangan di atas, apakah tidak sepantasnya negara memberikan kekebalan atau imunitas terbatas? Negara seyogianya mempertimbangkan hal itu.

Kekebalan terbatas tersebut, tentunya, akan menjadikan para komisioner merasa terlindungi saat memberikan pernyataan keras di mediamassa tanpa takut dilaporkan ke polisi dengan tiga sangkaan ”karet” yakni penghinaan, pencemaran nama baik, atau perbuatan tidak menyenangkan.

Adrianus Meliala
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6386 seconds (0.1#10.140)