Jujur
A
A
A
Selama bulan Puasa kita dibanjiri oleh banyak tausiyah, khotbah, hingga kuliah subuh atau kultum, kuliah tujuh menit.
Di antara semua itu, ada satu yang membuat saya terperangah. Saya tak begitu ingat nama tokoh yang disebutkan dan detail lainnya. Tapi, isinya kurang lebih begini. Dikisahkan ada seseorang, sebut saja namanya Mubarak, yang membeli sebidang tanah dari seorang penjual. Setelah lewat proses negosiasi, keduanya sepakat pada satu harga.
Setelah dibayar, transaksi pun selesai. Tanah itu menjadi milik Mubarak. Suatu ketika Mubarak mencangkul tanahnya. Betapa terkejutnya dia ketika saat mencangkul, alat cangkulnya terbentur benda keras, seperti logam. Ia pun tertarik dan menggali lebih dalam. Akhirnya dia pun berhasil mengangkat logam tadi. Rupanya itu guci berukuran besar.
Posisinya dalam keadaan tertutup. Ketika dia membuka guci tersebut, di dalamnya ternyata berisi perhiasan emas. Kalau kita konversi, nilainya mungkin mencapai miliaran rupiah. Mubarak tertegun. Hatinya bimbang. Akhirnya Mubarak memilih menghubungi sang penjual tadi dan bercerita soal guci berisi perhiasan emas. Mubarak merasa perhiasan itu bukan haknya. Ia hanya membeli sebidang tanah, tidak termasuk guci yang berisi perhiasan emas.
Maka, ia ingin mengembalikan temuannya tadi ke sang penjual. Kini giliran sang penjual yang tertegun. Ia juga merasa guci dan perhiasan emas tadi bukan haknya. Itu hak Mubarak. Keduanya lalu berdebat dengan hati bimbang. Merasa sama-sama bingung, mereka memilih untuk menghadap hakim. Setelah mendengar keduanya, akhirnya sang hakim memberikan pertimbangan.
Mulanya sang hakim bertanya, apakah baik Mubarak maupun penjual tanah itu memiliki putra atau putri yang belum menikah? Mubarak mengaku memiliki putra yang sudah dewasa, sementara sang penjual memiliki seorang putri yang juga belum menikah.
Akhirnya hakim memutuskan, ”Kalian nikahkan putra-putri kalian dan jadikan guci tersebut sebagai hadiah perkawinan.” Keduanya setuju. Maka , Mubarak dan sang penjual tadi menikahkan putra dan putrinya. Mereka pun hidup berbahagia.
Semakin Jauh
Mungkin kisah tadi terdengar seperti cerita anakanak. Apalagi berakhir dengan happy ending . Namun, ada pesan dari cerita tadi yang membuat saya tak berhenti merenung dan bertanya kepada diri sendiri, ”Betapa semakin jauhnya kita dari nilainilai kejujuran sebagaimana ditawarkan oleh cerita tadi.”
Baiklah, mari kita coba simulasikan cerita tadi dalam konteks kekinian dan bagaimana sikap kita seandainya kitalah yang menjadi pelaku dari cerita tersebut. Sebagai Mubarak, apakah Anda–dan kita semua–akan bimbang ketika menemukan guci berisi emas tadi? Apakah terlintas di benak kita untuk mengembalikan guci tadi ke penjual? Rasanya tidak. Kita akan dianggap naif kalau menginformasikan ke penjual bahwa kita menemukan guci berisi emas tadi.
Dan, kita mungkin dianggap sebagai orang paling bodoh kalau sampai mencoba mengembalikan guci tersebut ke sang penjual. Hukum kita pun rasanya mengatur soal ini. Begitu kita membeli sebidang tanah, segala yang ada di atas dan di bawah permukaan tanah menjadi milik kita. Kecuali kalau yang berada di dalam tanah adalah benda-benda bersejarah.
Benda itu menjadi hak negara, dan tentu saja kita bisa memperoleh kompensasi atau penemuan tersebut. Jumlahnya, maaf, saya tidak tahu persis. Jadi, kalau kita berada di posisi Mubarak, mungkin sebaiknya kita menutup mulut rapat-rapat. Jangan sampai orang lain tahu. Lalu, kita akan memanfaatkan temuan untuk kepentingan kita sendiri. Mungkin kurang lebih begitu.
Lalu, bagaimana kalau kita dalam posisi sang penjual? Kalau ada pembeli ”sejujur, senaif, dan sebodoh” Mubarak, mungkin kita akan bilang begini, ”Oya , terima kasih sudah mengembalikan gucinya.” Kita akan menambahinya dengan sedikit kebohongan, ”Memang guci itu warisan orang tua saya, tetapi sudah lama hilang. Terima kasih Anda sudah menemukannya.”
Kemudian di dalam hati kita akan berbisik, ”Syukur ya Tuhan, aku kini kaya raya. Betapa bodohnya si pembeli tanah tadi.” Sebagai penjual, kita pun akan memanfaatkan guci tersebut sesuka kita. Membeli rumah baru, mobil baru, apa pun. Bagaimana sikap Anda kalau menjadi hakim? Mungkin agak lebih rumit. Intinya, Anda akan berupaya sedemikian rupa agar memperoleh bagian dari temuan tersebut. Kalau bisa, bagian Anda lumayan banyak.
Syukur kalau bisa semuanya. Tetapi, untuk itu, Anda mesti berpikir keras, menyiapkan argumentasi yang dapat diterima oleh keduanya. Mungkin Anda akan mengatakan, ”Baiklah, karena penemuan tadi tidak diatur dalam perjanjian jual beli tanah, dan kalian berdua enggan menerimanya, guci dan segala isinya tersebut akan disita dan menjadi milik negara.
Jadi, sekarang serahkan guci tersebut ke saya, dan saya akan mengembalikannya ke negara.” Lalu, Anda sebagai hakim akan berbisik, ”Ssstt , jangan cerita ke mana-mana mengenai perkara ini ya . Nanti kalian berdua bakal repot.” Segera setelah menerima guci dan segala isinya, Anda meninggalkan kota dan menghilang entah ke mana. Jejak Anda lenyap ditelan bumi.
Kalau benar begitulah sikap Anda, dan kita semua–baik sebagai pembeli tanah, penjual tanah, maupun hakim–dalam banyak hal saya bisa memahami. Kecuali untuk sikap sang hakim. Dia benar-benar hakim sontoloyo , yang celakanya di negara kita jumlahnya tidak semakin berkurang.
Beberapa hari lalu saja, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan satu panitera akibat diduga menerima suap dari seorang pengacara ternama. Seorang hakim yang tertangkap tersebut disebut-sebut sebagai salah satu hakim terbaik.
Tapi, seandainya benar kita bisa memahami sikap pembeli dan penjual–dalam hal mengakui guci tersebut sebagai miliknya, tetap saja dalam hati kita gelisah. Pangkal kegelisahan tersebut adalah semakin jauh saja kita dari nilai-nilai kejujuran sebagaimana dikisahkan dari cerita tadi.
Selagi masih dalam suasana Idul Fitri, mungkin ada baiknya jika kita semakin mendekatkan diri dengan nilainilai kejujuran tadi. Bukan menjauhinya. Selamat Idul Fitri, Saudaraku. Mohon maaf lahir dan batin.
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
Di antara semua itu, ada satu yang membuat saya terperangah. Saya tak begitu ingat nama tokoh yang disebutkan dan detail lainnya. Tapi, isinya kurang lebih begini. Dikisahkan ada seseorang, sebut saja namanya Mubarak, yang membeli sebidang tanah dari seorang penjual. Setelah lewat proses negosiasi, keduanya sepakat pada satu harga.
Setelah dibayar, transaksi pun selesai. Tanah itu menjadi milik Mubarak. Suatu ketika Mubarak mencangkul tanahnya. Betapa terkejutnya dia ketika saat mencangkul, alat cangkulnya terbentur benda keras, seperti logam. Ia pun tertarik dan menggali lebih dalam. Akhirnya dia pun berhasil mengangkat logam tadi. Rupanya itu guci berukuran besar.
Posisinya dalam keadaan tertutup. Ketika dia membuka guci tersebut, di dalamnya ternyata berisi perhiasan emas. Kalau kita konversi, nilainya mungkin mencapai miliaran rupiah. Mubarak tertegun. Hatinya bimbang. Akhirnya Mubarak memilih menghubungi sang penjual tadi dan bercerita soal guci berisi perhiasan emas. Mubarak merasa perhiasan itu bukan haknya. Ia hanya membeli sebidang tanah, tidak termasuk guci yang berisi perhiasan emas.
Maka, ia ingin mengembalikan temuannya tadi ke sang penjual. Kini giliran sang penjual yang tertegun. Ia juga merasa guci dan perhiasan emas tadi bukan haknya. Itu hak Mubarak. Keduanya lalu berdebat dengan hati bimbang. Merasa sama-sama bingung, mereka memilih untuk menghadap hakim. Setelah mendengar keduanya, akhirnya sang hakim memberikan pertimbangan.
Mulanya sang hakim bertanya, apakah baik Mubarak maupun penjual tanah itu memiliki putra atau putri yang belum menikah? Mubarak mengaku memiliki putra yang sudah dewasa, sementara sang penjual memiliki seorang putri yang juga belum menikah.
Akhirnya hakim memutuskan, ”Kalian nikahkan putra-putri kalian dan jadikan guci tersebut sebagai hadiah perkawinan.” Keduanya setuju. Maka , Mubarak dan sang penjual tadi menikahkan putra dan putrinya. Mereka pun hidup berbahagia.
Semakin Jauh
Mungkin kisah tadi terdengar seperti cerita anakanak. Apalagi berakhir dengan happy ending . Namun, ada pesan dari cerita tadi yang membuat saya tak berhenti merenung dan bertanya kepada diri sendiri, ”Betapa semakin jauhnya kita dari nilainilai kejujuran sebagaimana ditawarkan oleh cerita tadi.”
Baiklah, mari kita coba simulasikan cerita tadi dalam konteks kekinian dan bagaimana sikap kita seandainya kitalah yang menjadi pelaku dari cerita tersebut. Sebagai Mubarak, apakah Anda–dan kita semua–akan bimbang ketika menemukan guci berisi emas tadi? Apakah terlintas di benak kita untuk mengembalikan guci tadi ke penjual? Rasanya tidak. Kita akan dianggap naif kalau menginformasikan ke penjual bahwa kita menemukan guci berisi emas tadi.
Dan, kita mungkin dianggap sebagai orang paling bodoh kalau sampai mencoba mengembalikan guci tersebut ke sang penjual. Hukum kita pun rasanya mengatur soal ini. Begitu kita membeli sebidang tanah, segala yang ada di atas dan di bawah permukaan tanah menjadi milik kita. Kecuali kalau yang berada di dalam tanah adalah benda-benda bersejarah.
Benda itu menjadi hak negara, dan tentu saja kita bisa memperoleh kompensasi atau penemuan tersebut. Jumlahnya, maaf, saya tidak tahu persis. Jadi, kalau kita berada di posisi Mubarak, mungkin sebaiknya kita menutup mulut rapat-rapat. Jangan sampai orang lain tahu. Lalu, kita akan memanfaatkan temuan untuk kepentingan kita sendiri. Mungkin kurang lebih begitu.
Lalu, bagaimana kalau kita dalam posisi sang penjual? Kalau ada pembeli ”sejujur, senaif, dan sebodoh” Mubarak, mungkin kita akan bilang begini, ”Oya , terima kasih sudah mengembalikan gucinya.” Kita akan menambahinya dengan sedikit kebohongan, ”Memang guci itu warisan orang tua saya, tetapi sudah lama hilang. Terima kasih Anda sudah menemukannya.”
Kemudian di dalam hati kita akan berbisik, ”Syukur ya Tuhan, aku kini kaya raya. Betapa bodohnya si pembeli tanah tadi.” Sebagai penjual, kita pun akan memanfaatkan guci tersebut sesuka kita. Membeli rumah baru, mobil baru, apa pun. Bagaimana sikap Anda kalau menjadi hakim? Mungkin agak lebih rumit. Intinya, Anda akan berupaya sedemikian rupa agar memperoleh bagian dari temuan tersebut. Kalau bisa, bagian Anda lumayan banyak.
Syukur kalau bisa semuanya. Tetapi, untuk itu, Anda mesti berpikir keras, menyiapkan argumentasi yang dapat diterima oleh keduanya. Mungkin Anda akan mengatakan, ”Baiklah, karena penemuan tadi tidak diatur dalam perjanjian jual beli tanah, dan kalian berdua enggan menerimanya, guci dan segala isinya tersebut akan disita dan menjadi milik negara.
Jadi, sekarang serahkan guci tersebut ke saya, dan saya akan mengembalikannya ke negara.” Lalu, Anda sebagai hakim akan berbisik, ”Ssstt , jangan cerita ke mana-mana mengenai perkara ini ya . Nanti kalian berdua bakal repot.” Segera setelah menerima guci dan segala isinya, Anda meninggalkan kota dan menghilang entah ke mana. Jejak Anda lenyap ditelan bumi.
Kalau benar begitulah sikap Anda, dan kita semua–baik sebagai pembeli tanah, penjual tanah, maupun hakim–dalam banyak hal saya bisa memahami. Kecuali untuk sikap sang hakim. Dia benar-benar hakim sontoloyo , yang celakanya di negara kita jumlahnya tidak semakin berkurang.
Beberapa hari lalu saja, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap tiga hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan satu panitera akibat diduga menerima suap dari seorang pengacara ternama. Seorang hakim yang tertangkap tersebut disebut-sebut sebagai salah satu hakim terbaik.
Tapi, seandainya benar kita bisa memahami sikap pembeli dan penjual–dalam hal mengakui guci tersebut sebagai miliknya, tetap saja dalam hati kita gelisah. Pangkal kegelisahan tersebut adalah semakin jauh saja kita dari nilai-nilai kejujuran sebagaimana dikisahkan dari cerita tadi.
Selagi masih dalam suasana Idul Fitri, mungkin ada baiknya jika kita semakin mendekatkan diri dengan nilainilai kejujuran tadi. Bukan menjauhinya. Selamat Idul Fitri, Saudaraku. Mohon maaf lahir dan batin.
Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(ftr)