Melarang Parsel Lebaran
A
A
A
Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap menjelang lebaran menghimbau agar pegawai negeri dan penyelenggara negara (pejabat negara) tidak mene-rima parsel.
Ia dilarang karena termasuk gratifikasi seperti diatur dalam Pasal 12B UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Larangan menerima parsel bagi pejabat negara karena dapat memengaruhi jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Mereka bisa tergoda melakukan menyalahgunakan wewenang saat pemberi parsel memiliki kepentingan dengan tugas dan kewajibannya.
Dalam pemberian gratifikasi, umumnya pemberi tidak punya maksud tertentu atau ada permintaan agar penerima melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait jabatannya. Ia memberikan barang atau jasa sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diterima. Itulah yang membedakannya dengan suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 12 UU Korupsi.
Saat pemberian atau janji memberikan barang atau jasa, sudah ada kesepakatan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban pejabat negara. Maka itu, pemberi dan penerima suap harus dipidana karena sejak awal sudah punya maksud jahat (mens rea). Kerugian negara yang ditimbulkan penerimaan gratifikasi dan suap, adalah terabaikannya tugas dan kewajiban pejabat negara dengan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Pada gilirannya akan merugikan keuangan atau perekonomian negara, karena penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara yang menerima gratifikasi atau suap akan berdampak pada tidak berjalanannya tatanan penyelenggaraan negara. Keputusan yang diambil tidak dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, sehingga pada akhirnya berpotensi merugikan negara. Itulah substansi larangan bagi pejabat negara (pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara) untuk menerima gratifikasi, termasuk dalam bentuk parsel lebaran.
Meluruskan Tradisi
Memberikan parsel menjelang atau sesudah lebaran merupakan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Di dalamnya selalu ada motif, ada yang dimaksudkan untuk memperkukuh silaturahim dengan rekan kerja, sahabat, atau dengan sanak keluarga. Ada juga yang motifnya untuk mendapatkan perhatian dari atasan atau pejabat negara tertentu.
Biasanya dilakukan oleh pebisnis yang punya kepentingan dengan jabatan pejabat negara. Motif seperti inilah yang dilarang dalam UU Korupsi. Saling memberi parsel sudah telanjur berkembang dalam kehidupan masyarakat negeri ini. Tradisi itulah yang perlu diluruskan, sehingga UU Korupsi menggolongkan parsel sebagai gratifikasi jika diberikan kepada pejabat negara sebagai konsekuensi dari jabatan yang disandang.
Tentu tidak sederhana mengantisipasinya lantaran memiliki sejarah yang panjang. Ia lahir dalam kondisi masyarakat plural yang memandang pemberian sesuatu secara sukarela kepada kawan sejawat atau atasan sebagai hal yang lumrah untuk membangun silaturahmi. Hanya, perkembangan kehidupan masyarakat menunjukkan lain, seiring dengan gencarnya membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Parsel yang semula sukarela untuk menjalin kekerabatan, justru menjadi wajib yang tertata dalam kurun waktu tertentu. Pemerintahan yang bersih bagi pejabat negara, bukan sekadar melepaskan diri dari jebakan pelanggaran hukum karena menerima gratifikasi, melainkan dapat membawa pesan dan harapan si pemberi kepada penerima, meskipun tidak dinyatakan secara langsung.
Ada pula aparatur sipil negara yang memberi parsel kepada pimpinannya di kantor atau sesama aparatur atau penyelenggara negara. Wajar jika pejabat negara yang terlibat dalam pemberian dan penerimaan parsel harus bersiap ”dicurigai” publik. Tetapi di luar pejabat negara, silakan memberi dan menerima parsel lebaran tetapi dengan maksud membag i kegemb i raan k a r e n a tidak digolongkan gratifikasi, terutama jika diberikan kepada orang yang kurang mampu.
Pelaporan Gratifikasi
Imbauan KPK kepada pejabat negara agar tidak menerima parsel bukan tanpa makna. Selain dilarang dalam UU Korupsi sebagai salah satu cara mencegah perilaku korupsi, juga filosofinya mendidik pejabat negara untuk berlaku jujur dengan melaporkannya kepada KPK apabila menerima sesuatu dari orang lain. Untuk memaknai Idul Fitri, sebaiknya pejabat negara yang memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik, memberikan parsel kepada orang miskin.
Bagi pejabat negara yang telanjur dikirimi parsel ke rumahnya, Pasal 12C UU Korupsi mewajibkan agar dilaporkan kepada KPK. Penyampaian laporan paling lambat 30 hari kerja, terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Paling lambat 30 hari sejak laporan diterima, KPK wajib menetapkan gratifikasi menjadi milik penerima, atau milik negara.
Filosofi pelaporan penerimaan gratifikasi pada hakikatnya mendidik pejabat negara berperilaku jujur dan bersih, sehingga gratifikasi yang dilaporkan ke KPK tidak akan membuat penerima gratifikasi diproses hukum. Malah, KPK akan memberikan penghargaan sebagai instrumen untuk memotivasi pejabat negara terhindar dari jebakan gratifikasi yang dapat memengaruhi tugas dan kewajibannya.
Penerima diproses hukum kalau gratifikasi yang diterima tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima, kemudian ada yang melaporkan ke penyidik kepolisian, kejaksaan, atau KPK. Siapkah pejabat negara melaporkan parsel yang diterima sesuai jangka waktu yang ditentukan? Melihat praktik dan pengalaman empiris selama ini, amat susah penerima melaporkan parsel yang diterima kepada KPK.
Beragam alasan bisa muncul, meskipun KPK memberikan kemudahan yang dapat dilaporkan melalui situs KPK. Misalnya merasa kerepotan atau dianggap memerlukan biaya, padahal harga parsel yang diterima tidak seberapa. Bagi penerima parsel yang kemudian tidak melaporkannya kepada KPK, sama artinya dengan membuka peluang untuk menyuburkan praktik suap.
Apalagi kalau si pemberi memiliki kepentingan dengan kewajiban dan tugas pejabat negara yang penerima parsel. Yang perlu didorong adalah partisipasi masyarakat agar berani melaporkan pejabat negara yang menerima parsel. Terutama setelah kewajiban untuk melaporkan kepada KPK melewati batas waktu, sebagai bentuk penjeraan kepada pemberi dan penerima. Untuk meredam kege-lisahan pejabat negara dari jebakan parsel, sebaiknya juga tidak dipertentangkan dengan ”budaya masyarakat”.
Dalam realitasnya, pemberian parsel bisa saja dibungkus dengan pesan-pesan silaturahmi, tetapi secara terselubung ingin memengaruhi pejabat negara menyimpang dari tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara. Jalan terang untuk mencegah perkembangan gratifikasi, sebaiknya dilakukan dengan memberikan perlindungan yang memadai bagi penerima.
Niat baik penerima gratifikasi melapor kepada KPK, terutama pada gratifikasi yang tidak diketahui siapa pemberinya, bahkan sama sekali tidak pernah diminta, sebaiknya dimudahkan agar lebih memotivasi mereka berbuat jujur.
Meredam kultur bukan perkara mudah, perlu gerakan besar di masyarakat bahwa pemberian parsel atau hadiah apapun kepada pejabat negara akan merusak tatanan pemerintahan. Akan lebih terhormat jika menumbuhkan ”budaya malu” menerima gratifikasi. Selamat Idul Fitri 1436-H, mohon maaf lahir-batin.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap menjelang lebaran menghimbau agar pegawai negeri dan penyelenggara negara (pejabat negara) tidak mene-rima parsel.
Ia dilarang karena termasuk gratifikasi seperti diatur dalam Pasal 12B UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Larangan menerima parsel bagi pejabat negara karena dapat memengaruhi jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Mereka bisa tergoda melakukan menyalahgunakan wewenang saat pemberi parsel memiliki kepentingan dengan tugas dan kewajibannya.
Dalam pemberian gratifikasi, umumnya pemberi tidak punya maksud tertentu atau ada permintaan agar penerima melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait jabatannya. Ia memberikan barang atau jasa sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diterima. Itulah yang membedakannya dengan suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 12 UU Korupsi.
Saat pemberian atau janji memberikan barang atau jasa, sudah ada kesepakatan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban pejabat negara. Maka itu, pemberi dan penerima suap harus dipidana karena sejak awal sudah punya maksud jahat (mens rea). Kerugian negara yang ditimbulkan penerimaan gratifikasi dan suap, adalah terabaikannya tugas dan kewajiban pejabat negara dengan melakukan penyalahgunaan wewenang.
Pada gilirannya akan merugikan keuangan atau perekonomian negara, karena penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara yang menerima gratifikasi atau suap akan berdampak pada tidak berjalanannya tatanan penyelenggaraan negara. Keputusan yang diambil tidak dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, sehingga pada akhirnya berpotensi merugikan negara. Itulah substansi larangan bagi pejabat negara (pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara) untuk menerima gratifikasi, termasuk dalam bentuk parsel lebaran.
Meluruskan Tradisi
Memberikan parsel menjelang atau sesudah lebaran merupakan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Di dalamnya selalu ada motif, ada yang dimaksudkan untuk memperkukuh silaturahim dengan rekan kerja, sahabat, atau dengan sanak keluarga. Ada juga yang motifnya untuk mendapatkan perhatian dari atasan atau pejabat negara tertentu.
Biasanya dilakukan oleh pebisnis yang punya kepentingan dengan jabatan pejabat negara. Motif seperti inilah yang dilarang dalam UU Korupsi. Saling memberi parsel sudah telanjur berkembang dalam kehidupan masyarakat negeri ini. Tradisi itulah yang perlu diluruskan, sehingga UU Korupsi menggolongkan parsel sebagai gratifikasi jika diberikan kepada pejabat negara sebagai konsekuensi dari jabatan yang disandang.
Tentu tidak sederhana mengantisipasinya lantaran memiliki sejarah yang panjang. Ia lahir dalam kondisi masyarakat plural yang memandang pemberian sesuatu secara sukarela kepada kawan sejawat atau atasan sebagai hal yang lumrah untuk membangun silaturahmi. Hanya, perkembangan kehidupan masyarakat menunjukkan lain, seiring dengan gencarnya membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Parsel yang semula sukarela untuk menjalin kekerabatan, justru menjadi wajib yang tertata dalam kurun waktu tertentu. Pemerintahan yang bersih bagi pejabat negara, bukan sekadar melepaskan diri dari jebakan pelanggaran hukum karena menerima gratifikasi, melainkan dapat membawa pesan dan harapan si pemberi kepada penerima, meskipun tidak dinyatakan secara langsung.
Ada pula aparatur sipil negara yang memberi parsel kepada pimpinannya di kantor atau sesama aparatur atau penyelenggara negara. Wajar jika pejabat negara yang terlibat dalam pemberian dan penerimaan parsel harus bersiap ”dicurigai” publik. Tetapi di luar pejabat negara, silakan memberi dan menerima parsel lebaran tetapi dengan maksud membag i kegemb i raan k a r e n a tidak digolongkan gratifikasi, terutama jika diberikan kepada orang yang kurang mampu.
Pelaporan Gratifikasi
Imbauan KPK kepada pejabat negara agar tidak menerima parsel bukan tanpa makna. Selain dilarang dalam UU Korupsi sebagai salah satu cara mencegah perilaku korupsi, juga filosofinya mendidik pejabat negara untuk berlaku jujur dengan melaporkannya kepada KPK apabila menerima sesuatu dari orang lain. Untuk memaknai Idul Fitri, sebaiknya pejabat negara yang memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik, memberikan parsel kepada orang miskin.
Bagi pejabat negara yang telanjur dikirimi parsel ke rumahnya, Pasal 12C UU Korupsi mewajibkan agar dilaporkan kepada KPK. Penyampaian laporan paling lambat 30 hari kerja, terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Paling lambat 30 hari sejak laporan diterima, KPK wajib menetapkan gratifikasi menjadi milik penerima, atau milik negara.
Filosofi pelaporan penerimaan gratifikasi pada hakikatnya mendidik pejabat negara berperilaku jujur dan bersih, sehingga gratifikasi yang dilaporkan ke KPK tidak akan membuat penerima gratifikasi diproses hukum. Malah, KPK akan memberikan penghargaan sebagai instrumen untuk memotivasi pejabat negara terhindar dari jebakan gratifikasi yang dapat memengaruhi tugas dan kewajibannya.
Penerima diproses hukum kalau gratifikasi yang diterima tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima, kemudian ada yang melaporkan ke penyidik kepolisian, kejaksaan, atau KPK. Siapkah pejabat negara melaporkan parsel yang diterima sesuai jangka waktu yang ditentukan? Melihat praktik dan pengalaman empiris selama ini, amat susah penerima melaporkan parsel yang diterima kepada KPK.
Beragam alasan bisa muncul, meskipun KPK memberikan kemudahan yang dapat dilaporkan melalui situs KPK. Misalnya merasa kerepotan atau dianggap memerlukan biaya, padahal harga parsel yang diterima tidak seberapa. Bagi penerima parsel yang kemudian tidak melaporkannya kepada KPK, sama artinya dengan membuka peluang untuk menyuburkan praktik suap.
Apalagi kalau si pemberi memiliki kepentingan dengan kewajiban dan tugas pejabat negara yang penerima parsel. Yang perlu didorong adalah partisipasi masyarakat agar berani melaporkan pejabat negara yang menerima parsel. Terutama setelah kewajiban untuk melaporkan kepada KPK melewati batas waktu, sebagai bentuk penjeraan kepada pemberi dan penerima. Untuk meredam kege-lisahan pejabat negara dari jebakan parsel, sebaiknya juga tidak dipertentangkan dengan ”budaya masyarakat”.
Dalam realitasnya, pemberian parsel bisa saja dibungkus dengan pesan-pesan silaturahmi, tetapi secara terselubung ingin memengaruhi pejabat negara menyimpang dari tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara. Jalan terang untuk mencegah perkembangan gratifikasi, sebaiknya dilakukan dengan memberikan perlindungan yang memadai bagi penerima.
Niat baik penerima gratifikasi melapor kepada KPK, terutama pada gratifikasi yang tidak diketahui siapa pemberinya, bahkan sama sekali tidak pernah diminta, sebaiknya dimudahkan agar lebih memotivasi mereka berbuat jujur.
Meredam kultur bukan perkara mudah, perlu gerakan besar di masyarakat bahwa pemberian parsel atau hadiah apapun kepada pejabat negara akan merusak tatanan pemerintahan. Akan lebih terhormat jika menumbuhkan ”budaya malu” menerima gratifikasi. Selamat Idul Fitri 1436-H, mohon maaf lahir-batin.
(ars)