Psikopat
A
A
A
Baru-baru ini, masih di bulan Juni 2015 ini, diberitakan tentang tewasnya seorang bocah cantik berumur 8 tahun bernama Engeline di rumah sendiri di Denpasar, Bali.
Engeline konon meninggal di tangan AT, pegawai mama angkatnya. Konon si pegawai itu, selain membunuh, juga melecehkan Engeline secara seksual dan menguburkan jenazah Engeline di halaman belakang rumah, dekat kandang ayam. Yang menarik dari kasus ini adalah bahwa polisi baru bisa menemukan jenazah Engeline sekitar tiga minggu setelah Engeline dilaporkan hilang oleh mama angkat sendiri yang bernama M.
Kasus ini kemudian berkembang di media sosial dan naik ke media massa (TV) sehingga menarik perhatian dua menteri (Yohana Susana Yembise, Menteri Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak serta Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) dan kedua menteri itu pun berkunjung ke TKP (tempat kejadian perkara, yaitu rumah korban) sebelum makam korban ditemukan. Anehnya M tidak menerima kedua menteri itu dengan baik.
Demikian pula ketika Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait menemui mama M, ia pun pernah menerima kata-kata kasar. Karena kasar, marah-marah, curiga, mengusir tamunya, dan tertutup, maka mama M yang kemudian dijadikan tersangka juga (karena diduga bersekongkol dengan AT untuk membunuh korban) disebut-sebut sebagai penderita psikopat.
Wah, apa itu psikopat? Banyak disebut, tetapi tidak banyak yang tahu artinya. Yang diketahui umum pokoknya psikopat itu berbahaya. Kalau psikopat itu bersembunyi di suatu tempat sunyi dan kita kebetulan melewati tempat itu sendirian, tahu-tahu kita bisa diserang atau diperkosa. Psikopat sering kali diasosiasikan dengan kekerasan, seks, dan sadisme.
Yang lebih mengerikan lagi, ada anggapan bahwa psikopat adalah penyakit kejiwaan dan jika seorang didiagnosis psikopat, otomatis dia tergolong sakit dan orang sakit tempatnya bukan di penjara, melainkan di rumah sakit agar sembuh. Kalau sudah dinyatakan sembuh si psikopat ini akan berkeliaran di tempat-tempat umum dan tiba-tiba sudah makan korban lagi... hiiiiii . ***
Tapi keadaan yang sebenarnya tidak seperti itu. Dalam menegakkan diagnosis, dokter spesialis jiwa (psikiater) dan psikolog spesialis gangguan jiwa (psikolog klinis) biasanya mengacu pada buku panduan gangguan mental yang diterbitkan Asosiasi Psikiater Amerika (APA) berjudul ”DSM IVTR 1974” (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder, edisi IV, 1974).
Versi terbaru, yaitu DSM V 2013, sudah digunakan para psikiater di AS, tetapi belum oleh kalangan psikolog di sana (Asosiasi Psikologi Amerika, disingkat APA juga) karena masih ada perdebatan tentang kesahihan diagnostik antarkedua organisasi profesi itu. Psikolog klinis Indonesia pada umumnya masih mengacu ke versi 1974 karena belum familier dengan yang versi 2013 (banyak perubahan prinsipil).
Terlepas dari kontroversi tentang DSM itu, yang pertama mesti diklarifikasi adalah bahwa sejak 1974 (DSM IV) sampai hari ini (DSM V), status psikopat sudah berubah. Dalam DSM I-III namanya memang masih psikopat yang artinya adalah sakit (pathology ) jiwa (psyche).
Tapi sejak DSM IV dan masih digunakan dalam DSM V, atas usul seorang psikiater Amerika bernama Hervey Cleckley, namanya sudah berubah menjadi kepribadian antisosial (antisocial personality disorder/ ASPD). Alasannya adalah bahwa belum ada satu penelitian pun yang membuktikan bahwa psikopat adalah penyakit dan sampai hari ini untuk psikopat belum ada obatnya.
Lain halnya dengan skizofrenia, suatu gangguan kejiwaan lain yang makin jelas faktor-faktor penyebabnya dan sudah ditemukan obatnya, bahkan dengan obat-obatan seorang penderita skizofrenia bisa berprestasi luar biasa (contoh yang amat masyhur sehingga kisahnya diabadikan dalam film Beautiful Mind adalah pemenang hadiah Nobel Ekonomi 1994 John Nash, penderita skizofrenia yang berhasil sembuh berkat dukungan istrinya).
Karena itu penderita skizofrenia dibebaskan dari hukuman kalau melanggar pidana, sedangkan penyandang ASPD tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Yang juga perlu diluruskan adalah gambaran perilaku psikopat yang seakan-akan hanya terkait dengan kekejaman dan seks.
Seorang psikiater Kanada bernama Robert Hare, pada 1993 pernah melaporkan 20 ciri ASPD (Hare masih lebih senang menyebutnya psikopat) sebagai berikut: (1) meyakinkan dan menarik yang dibuat-buat, (2) menghargai diri berlebihan (lebay), (3) selalu butuh stimulasi, cepat bosan, (4) gaya hidup patologis, (5) manipulatif dan jahat, (6) tidak merasa menyesal/ bersalah, (7) perasaan dangkal, (8) tak berperasaan dan tak berempati,
(9) gaya hidup parasit, (10) sulit kendalikan perilaku sendiri, (11) perilaku seks serbaboleh, (12) mengalami masalah perilaku sejak dini, (13) tidak punya tujuan jangka panjang yang realistis, (14) impulsif, (15) tak bertanggung jawab, (16) tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, (17) berkali-kali perkawinan jangka pendek, (18) kenakalan anak, (19) pembatalan situasi yang melegakan, dan (20) mudah terlibat berbagai kriminalitas.
Laporan ini, yang dikukuhkan oleh peneliti Amerika, Skeem dkk (2011), menyatakan bahwa cukup lima ciri saja terpenuhi dari daftar yang 20 itu sudah cukup mengindikasikan adanya gangguan kepribadian ASPD atau psikopat.
Jadi seseorang yang sering meminjam duit tetangga tanpa menghiraukan perasaan tetangga yang dipinjami itu, tanpa merasa bersalah, tidak bisa mempertimbangkan perilakunya sendiri, dan melanggar hukum bisa diduga ASPD atau psikopat, sama halnya dengan pembunuh berdarah tinggi atau penjahat seks yang masuk dalam DPO kepolisian.
Mereka sama-sama ASPD, hanya beda kadar saja. Sebaliknya M, mama angkat Engeline, belum bisa dikategorikan psikopat, justru karena dia sering marah-marah, curiga, menolak menteri, dan mengusir tamu pulang.
Reaksireaksi seperti itu hanyalah reaksi panik dari seseorang yang merasa bersalah, tetapi ingin menutupi kesalahannya sehingga membuatnya berperilaku marah- marah dan curiga dan sebagainya agar ia bisa cepat terhindar atau menyingkir dari situasi yang tidak disukainya itu.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Engeline konon meninggal di tangan AT, pegawai mama angkatnya. Konon si pegawai itu, selain membunuh, juga melecehkan Engeline secara seksual dan menguburkan jenazah Engeline di halaman belakang rumah, dekat kandang ayam. Yang menarik dari kasus ini adalah bahwa polisi baru bisa menemukan jenazah Engeline sekitar tiga minggu setelah Engeline dilaporkan hilang oleh mama angkat sendiri yang bernama M.
Kasus ini kemudian berkembang di media sosial dan naik ke media massa (TV) sehingga menarik perhatian dua menteri (Yohana Susana Yembise, Menteri Pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak serta Yuddy Chrisnandi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara) dan kedua menteri itu pun berkunjung ke TKP (tempat kejadian perkara, yaitu rumah korban) sebelum makam korban ditemukan. Anehnya M tidak menerima kedua menteri itu dengan baik.
Demikian pula ketika Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait menemui mama M, ia pun pernah menerima kata-kata kasar. Karena kasar, marah-marah, curiga, mengusir tamunya, dan tertutup, maka mama M yang kemudian dijadikan tersangka juga (karena diduga bersekongkol dengan AT untuk membunuh korban) disebut-sebut sebagai penderita psikopat.
Wah, apa itu psikopat? Banyak disebut, tetapi tidak banyak yang tahu artinya. Yang diketahui umum pokoknya psikopat itu berbahaya. Kalau psikopat itu bersembunyi di suatu tempat sunyi dan kita kebetulan melewati tempat itu sendirian, tahu-tahu kita bisa diserang atau diperkosa. Psikopat sering kali diasosiasikan dengan kekerasan, seks, dan sadisme.
Yang lebih mengerikan lagi, ada anggapan bahwa psikopat adalah penyakit kejiwaan dan jika seorang didiagnosis psikopat, otomatis dia tergolong sakit dan orang sakit tempatnya bukan di penjara, melainkan di rumah sakit agar sembuh. Kalau sudah dinyatakan sembuh si psikopat ini akan berkeliaran di tempat-tempat umum dan tiba-tiba sudah makan korban lagi... hiiiiii . ***
Tapi keadaan yang sebenarnya tidak seperti itu. Dalam menegakkan diagnosis, dokter spesialis jiwa (psikiater) dan psikolog spesialis gangguan jiwa (psikolog klinis) biasanya mengacu pada buku panduan gangguan mental yang diterbitkan Asosiasi Psikiater Amerika (APA) berjudul ”DSM IVTR 1974” (Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorder, edisi IV, 1974).
Versi terbaru, yaitu DSM V 2013, sudah digunakan para psikiater di AS, tetapi belum oleh kalangan psikolog di sana (Asosiasi Psikologi Amerika, disingkat APA juga) karena masih ada perdebatan tentang kesahihan diagnostik antarkedua organisasi profesi itu. Psikolog klinis Indonesia pada umumnya masih mengacu ke versi 1974 karena belum familier dengan yang versi 2013 (banyak perubahan prinsipil).
Terlepas dari kontroversi tentang DSM itu, yang pertama mesti diklarifikasi adalah bahwa sejak 1974 (DSM IV) sampai hari ini (DSM V), status psikopat sudah berubah. Dalam DSM I-III namanya memang masih psikopat yang artinya adalah sakit (pathology ) jiwa (psyche).
Tapi sejak DSM IV dan masih digunakan dalam DSM V, atas usul seorang psikiater Amerika bernama Hervey Cleckley, namanya sudah berubah menjadi kepribadian antisosial (antisocial personality disorder/ ASPD). Alasannya adalah bahwa belum ada satu penelitian pun yang membuktikan bahwa psikopat adalah penyakit dan sampai hari ini untuk psikopat belum ada obatnya.
Lain halnya dengan skizofrenia, suatu gangguan kejiwaan lain yang makin jelas faktor-faktor penyebabnya dan sudah ditemukan obatnya, bahkan dengan obat-obatan seorang penderita skizofrenia bisa berprestasi luar biasa (contoh yang amat masyhur sehingga kisahnya diabadikan dalam film Beautiful Mind adalah pemenang hadiah Nobel Ekonomi 1994 John Nash, penderita skizofrenia yang berhasil sembuh berkat dukungan istrinya).
Karena itu penderita skizofrenia dibebaskan dari hukuman kalau melanggar pidana, sedangkan penyandang ASPD tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Yang juga perlu diluruskan adalah gambaran perilaku psikopat yang seakan-akan hanya terkait dengan kekejaman dan seks.
Seorang psikiater Kanada bernama Robert Hare, pada 1993 pernah melaporkan 20 ciri ASPD (Hare masih lebih senang menyebutnya psikopat) sebagai berikut: (1) meyakinkan dan menarik yang dibuat-buat, (2) menghargai diri berlebihan (lebay), (3) selalu butuh stimulasi, cepat bosan, (4) gaya hidup patologis, (5) manipulatif dan jahat, (6) tidak merasa menyesal/ bersalah, (7) perasaan dangkal, (8) tak berperasaan dan tak berempati,
(9) gaya hidup parasit, (10) sulit kendalikan perilaku sendiri, (11) perilaku seks serbaboleh, (12) mengalami masalah perilaku sejak dini, (13) tidak punya tujuan jangka panjang yang realistis, (14) impulsif, (15) tak bertanggung jawab, (16) tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, (17) berkali-kali perkawinan jangka pendek, (18) kenakalan anak, (19) pembatalan situasi yang melegakan, dan (20) mudah terlibat berbagai kriminalitas.
Laporan ini, yang dikukuhkan oleh peneliti Amerika, Skeem dkk (2011), menyatakan bahwa cukup lima ciri saja terpenuhi dari daftar yang 20 itu sudah cukup mengindikasikan adanya gangguan kepribadian ASPD atau psikopat.
Jadi seseorang yang sering meminjam duit tetangga tanpa menghiraukan perasaan tetangga yang dipinjami itu, tanpa merasa bersalah, tidak bisa mempertimbangkan perilakunya sendiri, dan melanggar hukum bisa diduga ASPD atau psikopat, sama halnya dengan pembunuh berdarah tinggi atau penjahat seks yang masuk dalam DPO kepolisian.
Mereka sama-sama ASPD, hanya beda kadar saja. Sebaliknya M, mama angkat Engeline, belum bisa dikategorikan psikopat, justru karena dia sering marah-marah, curiga, menolak menteri, dan mengusir tamu pulang.
Reaksireaksi seperti itu hanyalah reaksi panik dari seseorang yang merasa bersalah, tetapi ingin menutupi kesalahannya sehingga membuatnya berperilaku marah- marah dan curiga dan sebagainya agar ia bisa cepat terhindar atau menyingkir dari situasi yang tidak disukainya itu.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(ftr)