Dana Aspirasi yang Wanprestasi

Selasa, 07 Juli 2015 - 08:34 WIB
Dana Aspirasi yang Wanprestasi
Dana Aspirasi yang Wanprestasi
A A A
Polemik mengenai pemberian dana aspirasi sebesar Rp15-20 miliar bagi setiap anggota DPR melalui Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) adalah praktik politik uang yang selama ini berulang.

Meskipun perilaku sudah sering kali diingatkan oleh berbagai media, ormas, maupun juga pemerintah sekalipun. DPR selalu saja bergeming dan mengulang modus sama dengan mengatasnamakan kepentingan ”rakyat”. Pemberian dana aspirasi sendiri selalu memakan alokasi dana besar.

Hal tersebut mengingat terkurasnya dana negara yang diperkirakan menelan hampir Rp11 triliun. Besaran dana yang dikeluarkan negara tersebut tentu perlu dilihat kinerja legislator dalam penyaluran dana di lapangan mengingat sangat rawan terjadi adanya penyelewengan alokasi dana.

Dikarenakan selama ini belum ada evaluasi berbasis prestasi untuk melihat efisiensi dan efektivitas dana aspirasi tersebut sebagai pemecah masalah publik. Maka, penyelewengan tersebut bisa berupa realisasi bantuan yang tidak seimbang, program fiktif, maupun pengaliran dana ke tubuh partai.

Besarnya dana yang dikeluarkan tentu berkelindan dengan besarnya pembiayaan pelayanan konstituen (constituency services). Pelayanan konstituensi ini memang menjadi ajang wajib bagi legislator untuk membalas budi kepada konstituen atas suara yang diberikan. Sebenarnya pelayanan konstituen tersebut merupakan bentuk tanggung jawab politisi terhadap konstituen terhadap suara yang telah diberikan.

Namun dalam konteks politik Indonesia, wujud pelayanan konstituen tersebut dilangsungkansecara minimalis, insidental, dan formalitas. Bahkan sering kali tidak tepat pada sasarannya terhadap kebutuhan sebenarnya yang diinginkan oleh publik. Sementara di lain pihak, konstituen juga bergantung pada legislatornya terhadap proses pembangunandidaerahdikarenakan janji kampanye yang pernah terucap.

Hal itulah yang menyiratkan bahwa dana aspirasi tersebut tidak lebih sebagai bagian proses patrimonialisme dan klientelisme (Sukmajati & Aspinall, 2015). Dengan demikian, dana aspirasi itu tidak lebih dari sekedar perekat hubungan keduanya dengan mengatasnamakan ”pembangunan”. Adanya sikap pragmatis publik tersebut kemudian diperlihatkan dalam bentuk ”ora uwek, ora obos”, ”wani piro”, dan lain sebagainya yang mengekspresikan adanya pertukaran uang dengan suara.

Sebenarnya yang terjadi dalam memaknai dana aspirasi tersebut bukan selalu memberikan stigma negatif kepada politisi. Publik perlu menyadari pula bahwa ketergantungan itu kemudian dimunculkan melalui berbagai macam gelontoran dana aspirasi itu dengan menyodorkan berbagai macam proposal siluman.

Perspektif patrimonialisme dalam melihat dana aspirasi itu lebih melihat bahwa dana itu bentuk penjagaan loyalitas dan komitmen politisi dengan konstituen, meskipun ada tidaknya politik uang yang terdapat dalam dana aspirasi tersebut dapat mengikat publik. Setidaknya penggelontoran dana aspirasi bisa mencitrakan diri sebagai figur populis. Meraih popularitas dan publikasi memang merupakan eksternalitas dari dana aspirasi tersebut. Namun, yang terpenting kemudian adalah memaknainya sebagai arena transaksional.

Dana Aspirasi sejatinya adalah politisasi anggaran yang sejatinya digunakan untuk asistensi warga yang sifatnya opsional. Namun, acap para politisi ingin tampil sebagai terdepan untuk menjadi figur populis. Hasilnya kemudian sering kali terjadi perdebatan sengit antara pembiayaan kebijakan atau pembiayaan dana aspirasi.

Dalam tubuh DPR sendiri, pemberian dana aspirasi juga bisa diartikan pemenuhan kebutuhan dana partai terutama dalam operasional maupun biaya politik lainnya. Sementara di lain pihak, pemberian dana aspirasi yang diberikan untuk setiap legislator merupakan cara untuk saling memperkuat faksi di partai.

Masyarakat sekarang ini pada umumnya sangat pragmatis dan transaksional dalam melihat proses politik. Mereka melihat bahwa suara mereka adalah komoditas berharga yang dijual kepada kandidat dengan imbalannya agar si calon ketika terpilih mau menjadi donor bagi daerah mereka. Pola itu terjadi manakala banyaknya proposal bantuan kemudian di alamatkan kepada legislator untuk dibiayai programnya.

Sering kali legislator kemudian kewalahan dalam menghadapi aspirasi warga itu sehingga acap kali menambah dana besar. Kecenderungan masyarakat yang demikian membuat perilaku penggembosan anggaran (budgeting fraud) kerap terjadi baik di masa reses, masa menjelang tutup tahun anggaran, maupun masa penyusunan anggaran.

Kondisi tersebut yang acap kali disebut sebagai political budget cycle yakni adanya perilaku permainan anggaran yang dilakukan oleh politisi guna mendapatkan dana lebih besar kepada konstituennya. Masyarakat sadar bahwa dengan aliran dana aspirasi yang masuk tentu akan melancarkan proses pembangunan di desa. Namun yang menjadi masalah kemudian, proses pembangunan di desa sendiri lebih bersifat seremonial seperti halnya pembangunan gapura desa, pengerasan aspal, maupun tambal sulam gedung rusak.

Selebihnya dana sisa aspirasi tersebut raib entah ke mana. Maka bisa dikatakan adanya dana aspirasi tersebut justru menciptakan bangunan korupsi bertingkat hingga tingkat pemerintahan desa. Hal itulah yang menyebabkan dana aspirasi sendiri sebenarnya minus prestasi di mata publik. Selama ini, proses penganggaran di DPR, apalagi menyangkut redistribusi anggaran publik selalu terkesan tertutup.

Hal tersebut belum ditambah mengenai proses pertanggungjawaban aliran dana tersebut yang tidak dipublikasikan secara komprehensif. Oleh karena itulah, perlu dipertimbangkan kembali mengenai dana aspirasi tersebut mengingat dananya besar, alokasi program tidak, dan apalagi minus prestasi justru akan membuat dana aspirasi tersebut kian kabur pemaknaannya sebagai pemecah masalah publik.

Wasisto Raharjo Jati
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0855 seconds (0.1#10.140)