Revisi Undang-Undang KPK

Senin, 06 Juli 2015 - 10:31 WIB
Revisi Undang-Undang KPK
Revisi Undang-Undang KPK
A A A
Siapa pun memahami bahwa semua peraturan yang dibuat oleh manusia bukan ”kitab suci” yang tidak boleh diperbaiki atau direvisi. Bahkan UUD 1945 yang pernah disakralkan saat pemerintahan Orde Baru agar tidak disentuh perubahan (amendemen), tetapi karena kehendak rakyat sudah empat kali diamendemen.

Begitu pula rencana lama merevisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bukan hal yang sakral sehingga wajar dilakukan perbaikan. Namun, hendaknya tidak diarahkan untuk memperlemah, apalagi mencabut kewenangan KPK yang selama ini membawa hasil positif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika kemudian menimbulkan polemik itu lantaran lagu lama yang dirilis kembali oleh DPR masih saja diarahkan untuk menggerogoti kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 12 UU KPK.

Rakyat tidak percaya pada wakilnya di Senayan, apa pun alasan dan rasionalitas yang disampaikan. Kurang lebih seperti itulah realitas yang ada saat DPR atau pemerintah menggulirkan revisi UU KPK. Selalu ada kecurigaan publik terhadap upaya DPR, meskipun ada iktikad baik di dalamnya.

Kewenangan Penyadapan

Kejahatan korupsi sudah dipahami sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Rakyat juga sudah paham bahwa untuk melawan kejahatan kelas berat itu harus ditangani dengan cara luar biasa pula agar dapat menimbulkan efektivitas dalam penuntasannya. Berdasarkan berita yang berkembang, setidaknya ada lima aspek yang akan direvisi DPR dalam UU KPK. Pertama, akan mengatur ulang ketentuan Pasal 12 hurufa UU Korupsi mengenai ”kewenangan penyadapan”.

KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ”berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Ini salah satu kewenangan paling ampuh bagi KPK dalam memburu para koruptor yang begitu banyak akal terhadap uang negara. Dari kewenangan menyadap telepon seseorang yang diduga akan melakukan korupsi seperti suap, sehingga banyak kasus korupsi kelas kakap dapat dibongkar KPK.

Bisa dilihat pada kasus pembangunan Wisma Atlet yang menyeret elite politik seperti Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Kasus Wisma Atlet terbongkar karena operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap salah seorang bawahan Nazaruddin. Dia bisa kena OTT berkat keampuhan kewenangan ”penyadapan telepon” yang dilakukan saat penyelidikan dan berdasarkan informasi masyarakat.

OTT hasil penyadapan juga menimpa oknum anggota DPR Komisi IV dari Fraksi PDI Perjuangan saat pelaksanaan kongres di Bali (9/4/2015). Ia tertangkap tangan saat sedang bertransaksi suap. Begitu pula dua anggota DPRD dan dua kepala SKPD Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, terjerat OTT KPK (19/6/2015). Dalam OTT itu, KPK berhasil mengamankan barang bukti suap berupa uang senilai Rp2,5 miliar. Realitas ini menunjukkan bahwa kewenangan penyadapan KPK begitu ampuh membongkar kasus penyuapan.

Wajar bila timbul pertanyaan publik, apakah ada oknum DPR atau oknum kekuasaan tertentu yang gentar terhadap OTT yang umumnya dilatari oleh penyadapan saat tahap penyelidikan? Tentu KPK melaksanakan kewenangannnya karena ada informasi dari masyarakat. Apalagi operasional penyadapan di KPK juga tetap menghargai hak privasi, sehingga tidak pernah hasil penyadapan yang diperdengarkan di pengadilan menyangkut hak privasi seseorang.

Seharusnya Berpihak

Kedua, akan menghapus ketentuan Pasal 40 UU KPK tentang larangan bagi KPK mengeluarkan surat menghentikan penyidikandanpenuntutan. Tetapi perlu dipahami filosofi Pasal 40 UU KPK, yaitu sebagai konsekuensi dari pemberian kewenangan besar kepada KPK. Buat apa memberikan kewenangan yang besar dibanding kepolisian dan kejaksaan, jika pada akhirnya diberi peluang menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Filosofi Pasal 40 UU KPK mengharuskan KPK lebih teliti, serius, dan profesional saat menetapkan seseorang tersangka. Jika pun ada yang dikabulkan praperadilannya terkait ”penetapan tersangka” kemudian dijadikan alasan pembenar mencabut Pasal 40 UU KPK, hal itu tidak relevan. Sebab, putusan praperadilan hanyalah sebagai ”koreksi administratif” bagi penyidik dalam melakukan upaya paksa.

Ketiga, pembentukan ”Dewan Pengawas” untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan KPK diperlukan. Namun, kehadiran Dewan Pengawas KPK tidak boleh diberi wewenang mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, baik secara administratif maupun teknis. Setidaknya hanya menjaga kehormatan pimpinan dan pegawai KPK dari kemungkinan melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar kode etik.

Malah harus memberikan proteksi bagi KPK dari kemungkinan intervensi dari luar yang ingin melemahkan. Keempat , memang diperlukan pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan KPK jika berhalangan. Kelima , penguatan pelaksanaan kolektif-kolegial pimpinan KPK dalam mengambil keputusan, juga perlu dipertegas. Tetapi diarahkan untuk memperkuat kewenangan KPK agar tugas pencegahan dan penindakan semakin berani dan lebih efektif.

Revisi UU KPK boleh dilakukan setelah menyelaraskan revisi KUHPidana, KUHAP, dan UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/ 2001 (UU Korupsi). Sebab tidak bisa menafikan adanya upaya secara sistematis dan telah berlangsung lama untuk menghapus kewenangan besar KPK.

Tidak perlu merevisi kewenangan yang sudah efektif seperti penyadapan, kewenangan dalam Pasal 12 UU KPK, dan ketentuan Pasal 40 UU KPK. Akan jauh lebih elok jika memperbaiki kelemahan KPK selama ini. Misalnya, mempertegas bahwa KPK berwenang mengangkat penyelidik sendiri, penyidik sendiri, dan penuntut sendiri di luar anggota kepolisian dan kejaksaan.

Itulah sikap konsisten dan keberpihakan pada KPK dan pemberantasan korupsi. Apalagi rakyat khawatir proses revisi akan berbelok arah setelah dibahas di DPR lantaran takut nantinya menjadi sasaran tembak kalau KPK lebih diperkuat.

Marwan Mas
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6523 seconds (0.1#10.140)