Mengapa Harus Takut pada KPK?
A
A
A
Victor Silaen
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, saya mengapresiasi kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini dalam memberantas korupsi di negara yang dari tahun ke tahun selalu berperingkat korupsi “lumayan tinggi” ini.
Saya salut ketika KPK dipimpin oleh Antasari Azhar yang berani karena saat itu banyak “orang penting” yang dijebloskan ke penjara akibat korupsi. Begitu pun ketika KPK dipimpin oleh Abraham Samad yang garang, yang juga membuat banyak penyelenggara negara mendekam di rumah prodeo. Boleh jadi karena itulah, gagasan untuk mempreteli kewenangan KPK telah berkali-kali muncul ke permukaan.
Pada 29 Juli 2011 misalnya Ketua DPR Marzuki Ali berkata begini: “Perlu dipikirkan kembali apakah lembaganya (KPK) perlu dibubarkan, dan fungsinya kita kembalikan ke lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, dengan pengawasan yang lebih baik.” Pernyataan yang kurang lebih sama disampaikan beberapa bulan kemudian oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Fachri Hamzah.
Ia bahkan mengatakan, selama ini banyak anggota DPR yang tidak suka dengan keberadaan KPK. “Hanya, mereka tidak (berani) seperti saya,” ucapnya. Pertanyaannya, benarkah banyak anggota DPR yang tak menyukai keberadaan KPK? Mengapa demikian? Bukankah DPR yang membidani kelahiran lembaga antirasuah ini? Mengapa kemudian justru DPR sendiri yang ingin membubarkannya? Terus terang ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan DPR khawatir jika makin lama, makin banyak anggotanya yang dijerat KPK.
Kecurigaan ini beralasan. Bukankah DPR ditengarai sebagai salah satu lembaga negara terkorup di negara ini (antara lain menurut hasil survei lembaga kajian nonprofit Populi Center, Januari 2015)? Kini gagasan kontroversial yang menyangkut keberadaan KPK muncul kembali dari DPR melalui draf revisi UU KPK.
Memang, draf tersebut sama sekali tak menyebut-nyebut pembubaran KPK. Namun, sejumlah kewenangan KPK yang diusulkan untuk dipangkas maupun diubah niscaya membuat lembaga independen ini tak lagi dapat diandalkan untuk berdiri di garda depan dalam perang melawan korupsi. Tak pelak, sejumlah pihak dan kalangan pun menyatakan protes dan keberatannya.
Syukurlah, akhirnya pemerintah secara tegas menyatakan bahwa revisi UU KPK itu ditolak. Kini publik boleh bernafas lega karena revisi UU tersebut tak dapat berjalan hanya berdasarkan keinginan DPR. Diperlukan juga pembahasan bersama pemerintah, dalam hal ini menteri hukum dan HAM, untuk merealisasikan usulan tersebut. Sebenarnya kalau revisi yang diusulkan DPR bertujuan untuk menyempurnakan dan memperkuat posisi KPK, kita layak menyetujuinya.
Sebaliknya, jika revisi yang dimaksud secara langsung maupun tak langsung hanya ingin melemahkan lembaga antirasuah ini, kita patut menolaknya. Kita harus mengakui bahwa kian lama kian banyak orang yang bersimpati kepada KPK, terlepas dari kelemahan dan kekurangannya. Jujur saja, publik lebih berharap banyak kepada KPK daripada Polri dan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi. Di sisi lain, tak dapat disangkal bahwa publik kian lama kian muak terhadap para wakil rakyat di lembaga legislatif yang rakus duit itu.
Tak heran jika wacana pembubaran KPK atau revisi UU KPK, baik dulu maupun sekarang, seakan menjadi bumerang bagi DPR sendiri. Sebenarnya KPK, sebagai lembaga negara, tak perlu ada jika penyakit korupsi tidak semakin mengganas di negeri ini. Bukankah karena praktik korupsi yang kian merajalela itu, keberadaan KPK diperlukan? Ingatlah bahwa dalam upaya memberantas korupsi selama ini, negara telah banyak membuat lembaga antikorupsi.
Pada era Soeharto ada Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi 4, dan akhirnya Operasi Tertib (Opstib). Pasca- Soeharto dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, baru membongkar kasus suap di dunia peradilan, tak lama kemudian TGPTPK dibubarkan atas putusan Mahkamah Agung.
Pada era Abdurrahman Wahid, sang presiden sendiri yang tersangkut kasus Bruneigate dan Buloggate I. Masuk ke era Megawati Soekarnoputri, kembali muncul Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Hasilnya? Alihalih menyusut, praktik korupsi malah makin menggila. Kalaupun ada yang berubah adalah korupsi di tingkat atas (korupsi politik), dengan terjadinya transformasi korupsi dari oligarki ke multipartai.
Jika dulu korupsi lebih banyak melibatkan pemerintah dan Golkar, kini korupsi dilakukan secara berjemaah: melibatkan banyak partai dan elite politik bersama mitra kerja mereka di berbagai lembaga. Jika dulu korupsi berpusat di Istana dan dikendalikan dari sana bersama dengan para kroni Soeharto, sekarang aktor korupsi telah berserakan di semua kekuatan politik.
Berdasarkan itulah, korupsi kemudian dipandang sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime). Kalau begitu, upaya memerangi korupsi tentulah harus secara luar biasa pula. Korupsi harus digempur dari berbagai aspek dan sistem, serta gerakan moral dan masyarakat sipil yang harus makin digencarkan.
Kini sudahkah praktik korupsi semakin berkurang? Agaknya anekdot ini benar: kini korupsi tak lagi dilakukan di bawah meja, tapi justru di atas meja. Bahkan kalau perlu, mejanya sekaligus disikat. Sinis, tapi benar. Atas dasar itulah, KPK sebenarnya justru harus diperluas kewenangannya serta diperkuat komisioner dan penyidiknya. Sebaliknya, jangan pernah berpikir untuk menggembosinya, terutama menyangkut beberapa hal ini. Pertama , soal kewenangan penyadapan.
Jika kewenangan ini dihilangkan, roh dari KPK dengan sendirinya hilang. Maka itu, alangkah anehnya kalau ada yang berpikir KPK boleh menyadap, tapi harus mengajukan izin dulu ke pengadilan. Kedua , KPK tidak perlu diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan perkara yang tengah ditangani.
Selama ini KPK melalui undang-undang memiliki kuasa penuh dalam memberantas korupsi dengan nihilnya kemampuan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Maka itu, kalau kewenangan menerbitkan SP3 itu berlaku bagi KPK, dengan sendirinya KPK pun seperti penyidik yang lain di kejaksaan atau di kepolisian.
Ketiga, soal kepemimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial. Artinya, tidak perlu ada aturan bahwa KPK dalam membuat keputusan penetapan tersangka korupsi memerlukan penandatanganan dari semua komisioner di lembaga tersebut. Cukup berjumlah minimal setengah plus satu. Itu seharusnya dapat diterima keabsahannya.
Keempat , soal tidak diperlukannya badan pengawas di KPK karena UU KPK tidak menyebutkan KPK mempunyai badan pengawas, kecuali penasihat. Kelima , KPK harus tetap dijamin kewenangannya dalam melakukan penyidikan (termasuk mengangkat penyidik) sampai penuntutan. Pendeknya, selama praktik korupsi masih merajalela di negeri ini, KPK yang sekarang tak sekali-kali boleh direduksi kewenangannya.
KPK juga tak boleh digeser aktivitas utamanya dari pemberantasan menjadi pencegahan. Apalagi huruf “P” dalam akronim KPK itu sendiri bermakna “pemberantasan”. Bukankah melalui upaya pemberantasan korupsi sebenarnya upaya pencegahan sudah otomatis tercakup di dalamnya? Akhirnya DPR perlu merenungkan pertanyaan ini: kalau diri sendiri benar dan bersih, mengapa harus takut pada KPK
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
Sebagai bagian dari masyarakat sipil, saya mengapresiasi kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini dalam memberantas korupsi di negara yang dari tahun ke tahun selalu berperingkat korupsi “lumayan tinggi” ini.
Saya salut ketika KPK dipimpin oleh Antasari Azhar yang berani karena saat itu banyak “orang penting” yang dijebloskan ke penjara akibat korupsi. Begitu pun ketika KPK dipimpin oleh Abraham Samad yang garang, yang juga membuat banyak penyelenggara negara mendekam di rumah prodeo. Boleh jadi karena itulah, gagasan untuk mempreteli kewenangan KPK telah berkali-kali muncul ke permukaan.
Pada 29 Juli 2011 misalnya Ketua DPR Marzuki Ali berkata begini: “Perlu dipikirkan kembali apakah lembaganya (KPK) perlu dibubarkan, dan fungsinya kita kembalikan ke lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, dengan pengawasan yang lebih baik.” Pernyataan yang kurang lebih sama disampaikan beberapa bulan kemudian oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Fachri Hamzah.
Ia bahkan mengatakan, selama ini banyak anggota DPR yang tidak suka dengan keberadaan KPK. “Hanya, mereka tidak (berani) seperti saya,” ucapnya. Pertanyaannya, benarkah banyak anggota DPR yang tak menyukai keberadaan KPK? Mengapa demikian? Bukankah DPR yang membidani kelahiran lembaga antirasuah ini? Mengapa kemudian justru DPR sendiri yang ingin membubarkannya? Terus terang ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan DPR khawatir jika makin lama, makin banyak anggotanya yang dijerat KPK.
Kecurigaan ini beralasan. Bukankah DPR ditengarai sebagai salah satu lembaga negara terkorup di negara ini (antara lain menurut hasil survei lembaga kajian nonprofit Populi Center, Januari 2015)? Kini gagasan kontroversial yang menyangkut keberadaan KPK muncul kembali dari DPR melalui draf revisi UU KPK.
Memang, draf tersebut sama sekali tak menyebut-nyebut pembubaran KPK. Namun, sejumlah kewenangan KPK yang diusulkan untuk dipangkas maupun diubah niscaya membuat lembaga independen ini tak lagi dapat diandalkan untuk berdiri di garda depan dalam perang melawan korupsi. Tak pelak, sejumlah pihak dan kalangan pun menyatakan protes dan keberatannya.
Syukurlah, akhirnya pemerintah secara tegas menyatakan bahwa revisi UU KPK itu ditolak. Kini publik boleh bernafas lega karena revisi UU tersebut tak dapat berjalan hanya berdasarkan keinginan DPR. Diperlukan juga pembahasan bersama pemerintah, dalam hal ini menteri hukum dan HAM, untuk merealisasikan usulan tersebut. Sebenarnya kalau revisi yang diusulkan DPR bertujuan untuk menyempurnakan dan memperkuat posisi KPK, kita layak menyetujuinya.
Sebaliknya, jika revisi yang dimaksud secara langsung maupun tak langsung hanya ingin melemahkan lembaga antirasuah ini, kita patut menolaknya. Kita harus mengakui bahwa kian lama kian banyak orang yang bersimpati kepada KPK, terlepas dari kelemahan dan kekurangannya. Jujur saja, publik lebih berharap banyak kepada KPK daripada Polri dan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi. Di sisi lain, tak dapat disangkal bahwa publik kian lama kian muak terhadap para wakil rakyat di lembaga legislatif yang rakus duit itu.
Tak heran jika wacana pembubaran KPK atau revisi UU KPK, baik dulu maupun sekarang, seakan menjadi bumerang bagi DPR sendiri. Sebenarnya KPK, sebagai lembaga negara, tak perlu ada jika penyakit korupsi tidak semakin mengganas di negeri ini. Bukankah karena praktik korupsi yang kian merajalela itu, keberadaan KPK diperlukan? Ingatlah bahwa dalam upaya memberantas korupsi selama ini, negara telah banyak membuat lembaga antikorupsi.
Pada era Soeharto ada Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi 4, dan akhirnya Operasi Tertib (Opstib). Pasca- Soeharto dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, baru membongkar kasus suap di dunia peradilan, tak lama kemudian TGPTPK dibubarkan atas putusan Mahkamah Agung.
Pada era Abdurrahman Wahid, sang presiden sendiri yang tersangkut kasus Bruneigate dan Buloggate I. Masuk ke era Megawati Soekarnoputri, kembali muncul Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Hasilnya? Alihalih menyusut, praktik korupsi malah makin menggila. Kalaupun ada yang berubah adalah korupsi di tingkat atas (korupsi politik), dengan terjadinya transformasi korupsi dari oligarki ke multipartai.
Jika dulu korupsi lebih banyak melibatkan pemerintah dan Golkar, kini korupsi dilakukan secara berjemaah: melibatkan banyak partai dan elite politik bersama mitra kerja mereka di berbagai lembaga. Jika dulu korupsi berpusat di Istana dan dikendalikan dari sana bersama dengan para kroni Soeharto, sekarang aktor korupsi telah berserakan di semua kekuatan politik.
Berdasarkan itulah, korupsi kemudian dipandang sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime). Kalau begitu, upaya memerangi korupsi tentulah harus secara luar biasa pula. Korupsi harus digempur dari berbagai aspek dan sistem, serta gerakan moral dan masyarakat sipil yang harus makin digencarkan.
Kini sudahkah praktik korupsi semakin berkurang? Agaknya anekdot ini benar: kini korupsi tak lagi dilakukan di bawah meja, tapi justru di atas meja. Bahkan kalau perlu, mejanya sekaligus disikat. Sinis, tapi benar. Atas dasar itulah, KPK sebenarnya justru harus diperluas kewenangannya serta diperkuat komisioner dan penyidiknya. Sebaliknya, jangan pernah berpikir untuk menggembosinya, terutama menyangkut beberapa hal ini. Pertama , soal kewenangan penyadapan.
Jika kewenangan ini dihilangkan, roh dari KPK dengan sendirinya hilang. Maka itu, alangkah anehnya kalau ada yang berpikir KPK boleh menyadap, tapi harus mengajukan izin dulu ke pengadilan. Kedua , KPK tidak perlu diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan perkara yang tengah ditangani.
Selama ini KPK melalui undang-undang memiliki kuasa penuh dalam memberantas korupsi dengan nihilnya kemampuan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Maka itu, kalau kewenangan menerbitkan SP3 itu berlaku bagi KPK, dengan sendirinya KPK pun seperti penyidik yang lain di kejaksaan atau di kepolisian.
Ketiga, soal kepemimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial. Artinya, tidak perlu ada aturan bahwa KPK dalam membuat keputusan penetapan tersangka korupsi memerlukan penandatanganan dari semua komisioner di lembaga tersebut. Cukup berjumlah minimal setengah plus satu. Itu seharusnya dapat diterima keabsahannya.
Keempat , soal tidak diperlukannya badan pengawas di KPK karena UU KPK tidak menyebutkan KPK mempunyai badan pengawas, kecuali penasihat. Kelima , KPK harus tetap dijamin kewenangannya dalam melakukan penyidikan (termasuk mengangkat penyidik) sampai penuntutan. Pendeknya, selama praktik korupsi masih merajalela di negeri ini, KPK yang sekarang tak sekali-kali boleh direduksi kewenangannya.
KPK juga tak boleh digeser aktivitas utamanya dari pemberantasan menjadi pencegahan. Apalagi huruf “P” dalam akronim KPK itu sendiri bermakna “pemberantasan”. Bukankah melalui upaya pemberantasan korupsi sebenarnya upaya pencegahan sudah otomatis tercakup di dalamnya? Akhirnya DPR perlu merenungkan pertanyaan ini: kalau diri sendiri benar dan bersih, mengapa harus takut pada KPK
(bbg)