Swasembada Pangan yang Menyejahterakan Petani

Sabtu, 04 Juli 2015 - 11:38 WIB
Swasembada Pangan yang...
Swasembada Pangan yang Menyejahterakan Petani
A A A
Noer Fauzi Rachman
Ketua Dewan Pengarah Prakarsa Desa,
Peneliti Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria,
dan Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria

Mengawali Juli 2015, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat suatu pengumuman yang menjadi rujukan awal untuk mengevaluasi pilihan kebijakan dan kerja keras kepemimpinan dan jajaran Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Produksi padi pada 2015 diperkirakan naik sebesar 6,64% dibandingkan pada 2014. Pada 2015 sebesar 75,55 juta ton gabah kering giling (GKG), sedangkan pada 2014 sebesar 70,85 juta ton GKG, luas panen 2015 diperkirakan naik 512,06 ribu hektare (3,71%). Produktivitas 2015 diperkirakan naik 1,145 kuintal/hektare (2,82%). Produksi jagung diperkirakan naik sebesar 8,72% dibandingkanpada 2014.

Pada 2015sebesar 20,67 juta ton dan pada 2014 sebesar 19,01 juta ton. Luas panen 2015 diperkirakan naik 160,48 ribuhektare(4,18%) danproduktivitas 2015 diperkirakan naik 2,16 kuintal/hektare (4,36%). Sementara produksi kedelai diperkirakan naik sebesar 4,59% dibandingkan pada 2014.

Pada 2015 sebesar 998.870 ton dan pada 2014 sebesar 955.000 ton. Luas panen 2015 diperkirakan naik 24.670 hektare (4,01%) dan produktivitas 2015 diperkirakan naik 0,09 kuintal/hektare (0,58%). Kepala BPS Dr Suryamin M Sc menyampaikan, “Untuk pertama kali dalam 10 tahun terakhir tiga komoditi (padi, jagung, dan kedelai) ini mengalami kenaikan secara bersamaan.

Hal ini karena program Upsus (Upaya Khusus) yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian.” Capaian produksi padi, jagung, dan kedelai 2015 itu telah membangkitkan optimisme. Perbaikan tersebut tentu membuat kita yakin bisa pada suatu titik mencapai swasembada pangan dan tak bergantung pada impor. Selama ini impor pangan telah menunjukkan komplikasi ekonomi rente dalam perdagangan impor pangan dan kecanduan yang parah.

Pilihan kebijakan pertanian untuk mengatasi kesenjangan antara ketersediaan/stok dan kebutuhan konsumsi dilakukan bukan dengan cara pengadaan komoditas pangan melalui impor melalui perdagangan internasional, melainkan dengan cara menggenjot produktivitas dan frekuensi penanaman, dengan perbaikan prasarana dan sarana pertanian, distribusi pupuk, racun hama, dan asintan (alat mesin pertanian).

Angka produksi padi, jagung, dan kedelai itu diyakini telah membuktikan keampuhan formula itu. Meski keampuhan jalan ini terbukti, keberhasilan pemerintah juga akan ditentukan oleh ampuh dan tidaknya cara yang dipergunakan untuk mengatasi ketidakpuasan dan permainan dari pemain-pemain impor pangan yang telah menikmati kekayaan dari privilese mereka selama ini.

Tantangan untuk Menyejahterakan Petani

Mencapai swasembada bisa saja dengan memaksa petani menjadi produktif dan meningkatkan frekuensi penanaman, dengan perbaikan prasarana dan sarana pertanian, serta distribusi pupuk, racun hama, dan asintan. Pengumuman BPS mengenai nilai tukar petani pada Juni 2015 menunjukkan bahwa kesejahteraan petani belum meningkat signifikan seiring dengan meningkatnya produksi pangan.

Angka nilai tukar petani (NTP) nasional Juni 2015 sebesar 100,52 atau naik 0,50% dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan NTP sedikit ini, menurut BPS, karena indeks harga yang diterima petani (It) naiksebesar1,15% lebihbesar dibandingkan kenaikan indeks harga yang dibayar petani (Ib) sebesar 0,65%.

Swasembada pangan tanpa meningkatkan kesejahteraan petani dapat membuat pemerintah digugat legitimasinya bahwa peningkatan anggaran dan belanja Kementerian Pertanian bukanlah untuk kesejahteraan petani, melainkan untuk mereka yangmengerjakandanmembuat kebijakan dan menjalankan program-programpertanian.

Petani pun hanya diperlakukan sebagai objek kebijakan belaka. Bagaimana cara pencapaian swasembada pangan yang sekaligus menyejahterakan petani? Tak mungkin terjadi kecuali dengan menempatkan petani itu sendiri sebagai subjek yang berdaulat. Pembandingan antara Sensus Pertanian (SP) 2013 dan SP2003menunjukkanbahwapengurangan jumlah rumah tangga petani berlangsung secara drastis, yaknikuranglebihsaturumah tanggapetanipersatumenit.

Mereka terpaksa meninggalkan profesinya sebagai petani. Ini krisis agraria dari pertanian rakyat, yang utamanya karena empat hal utama, yakni konversi tanah pertanian rakyat, usaha pertanian rakyat tidak menguntungkan, hilangnya minat pemuda-pemudi untuk bekerja sebagai petani di pertanian rakyat, dan perampasan-perampasan tanah pertanian rakyat untuk proyek-proyek perkebunan, industri, pertambangan, infrastruktur, dan sebagainya.

Kementerian Pertanian telah berhasil dipimpin dengan menjalankan Upaya Khusus (UPSUS) untuk peningkatan swasembada pangan, namun belum sampai bisa menyelesaikan krisis agraria dari pertanian rakyat itu. Bagaimana caranya UPSUS itu digaransi sedemikian rupa dengan tambahan tujuan baru, yakni membuat pertanian rakyat bisa menjadi sumber kesejahteraan petani? Untuk itu, Kementerian Pertanian tidak bisa bekerja sendiri.

Petani harus dijamin kepastian haknya atas tanah, termasuk petani dan pertanian rakyat yang berada di dalam kawasan hutan negara, dan hidup dalam pengaruh sistem agraria perkebunan-perkebunan raksasa. Mereka sama sekali belum pernah disentuh oleh kerja Kementerian Pertanian.

Tata guna tanah musti dipulihkan sedemikian rupa agar fungsi-fungsi faali dari alam, terutama siklus air, bisa melayani pertanian rakyat secara berlanjut. Koperasi perlu diarahkan mengurusi produksi pertanian. Desa bukan hanya mengurusi pemerintahan, melainkan badan usaha milik desa (bumdes) perlu diefektifkan untuk memberdayakan petani dan membuat pertanian rakyat benar-benar bisa menyejahterakan. Jadi, kementerian/ lembaga pemerintah harus bekerja sama, terutama yang oleh mereka mengurusi sektor agraria, kehutanan, koperasi, dan desa. Dapatkah citacita itu diwujudkan?
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0573 seconds (0.1#10.140)