Negara Psychocapitalism

Jum'at, 03 Juli 2015 - 08:26 WIB
Negara Psychocapitalism
Negara Psychocapitalism
A A A
Fikri Suadu
Peneliti pada Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Direktur LKMI PB HMI 2011-2013

Pelan tapi pasti, kiprah globalisasi terus merasuki berbagai wacana kebangsaan, baik ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, maupun kebudayaan.

Globalisasi berhasil menghadirkan kecenderungan besar dunia (kapitalisme Barat) untuk mendikte berbagai skema politik nasional yang tujuannya adalah menurunkan kapasitas negara dalam melindungi dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Takterhitungbanyaknya perusahaan- perusahaan transnasional raksasa yang berinvestasi dalam jumlah besar di Indonesia.

Belum lagi gabungan kekuatan jaringan keuangan global yang membuat kondisi ekonomi negara semakin rentan terhadap krisis. Kondisi ini tentu membatasi kontrol negara, bahkan negara dipaksa untuk kalah bersaing dalam memperebutkan kekuasaan politik dan kedaulatan ekonomi.

Tak berhenti di situ, kiprah globalisasi dan kapitalisme Barat bahkan telah berhasil menghubungkan jutaan pikiran rakyat Indonesia ke dalam komunitas global yang terdiri dari miliaran pikiran manusia secara online melalui internet. Hal ini berhasil menghadirkan sebuah tatanan masyarakat baru yang bersifat erosif terhadap tatanan budaya, agama, masyarakat, dan keluarga yang sebelumnya sudah mapan.

Psychocapitalism

Dalam dunia kedokteran, sindrom dikenal sebagai kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis yang dapat meyakinkan dokter dalam menegakkan diagnosis. Sementara itu, istilah psycho merupakan gejala psikologis berupa sikap manipulatif, egosentris, pembohong, frustrasi, hipokrit, dan munafik.

Lantas, apa yang dimaksud dengan sindrom psychocapitalism ? Istilah ini mencoba menjelaskan berbagai gejala baru berkaitan dengan gerakan reaksioner dan gaya hidup radikal masyarakat yang marak terjadi sebagai akibat langsung dari kesenjangan yang diakibatkan oleh hegemoni kapitalisme Barat. Jika globalisasi diibaratkan sebagai ledakan, globalisasi telah menghasilkan puing-puing kekuatan ekonomi, budaya, politik, dan ideologi kapitalisme Barat, berserakan ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia.

Puing-puing globalisasi yang awalnya ditujukan untuk pembebasan, kemerdekaan, dan kemanusiaan, secara perlahanberubah menjadi tirani yang berujung isolasi, pembodohan, imobilisasi, dan ancaman disintegrasi bangsa. Hal ini secara jelas bisa dibaca melalui proyek otonomi daerah yang banyak melahirkan kesenjangan masyarakat melalui praktik oligarki kekuasaan politik korup ditingkat kabupaten/kota.

Tak tanggung-tanggung, di daerah dengan kekayaan alam melimpah telah mengarah pada upaya makar. Sementara itu, pada saat yang sama puing-puing globalisasi telah secara radikal membatasi berbagai kemungkinan terwujudnya demokrasi yang progresif, redustributif, dan substantif dalam berbagai level pelaksanaan pesta demokrasi baik di level nasional, regional, maupun lokal, melalui keterlibatan berbagai perusahaan-perusahaan transnasional raksasa yang berinvestasi dalam jumlah besar di Indonesia.

Tujuannya jelas, untuk mengintervensi proses demokrasi dan politik agar dapat memastikan jaminan keamanan kegiatan bisnis mereka, tanpa memedulikan berbagai akibat buruk dari intervensi yang mereka lalukan. Intervensi terhadap proses demokrasi ini telah berhasil memicu konflik sosial di masyarakat akibat sengketa pemilu dan pilkada. Tak terkecuali telah berhasil membumikan praktik politik uang dalam setiap pesta demokrasi di berbagai daerah di Indonesia.

Logikanya sederhana, ada perselingkuhan perusahaan- penguasa untuk membeli suara rakyat, membeli demokrasi itu sendiri. Rakyat terus dieksploitasi dan dibodohi agar kelak dengan mudah bisa dibeli. Di sisi lain, puing-puing globalisasi sangat bersifat erosif terhadap tatanan kehidupan yang telah mapan di masyarakat. Baik dari aspek budaya, agama, masyarakat, maupunkeluarga.

Sikap individualistik tanpa memikirkan orang lain telah menjadi gaya hidup baru di masyarakat. Hal ini tentu saja rentan terhadap berbagai sikap yang bersifat egosentris seperti perilaku narsistik, agresif, reaksioner, dan radikal. Gejalanya sudah mulai tampak dari perilaku masyarakat melalui media sosial. Tak tanggung-tanggung, media sosial bahkan telah menjadi ajang untuk saling menumpahkan kebencian (caci maki, umpatan) di antara sesama anak bangsa. Ada yang sampai berujung perkelahian satu lawan satu.

Kembali ke Pancasila

Gejala diatas secara gamblang telah menjelaskan berbagai krisis kebangsaan akibat hilangnya kontrol negara dalam berbagai proses kehidupan masyarakat. Akibatnya, masyarakat merasa sendiri, kehilangan panutan, tanpa jaminan keamanan, terus dieksploitasi, berujung frustrasi, dan memicu terjadi berbagai tindak kejahatan. Tak heran jika angka kriminalitas di masyarakat terus meningkat.

Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk mengobati sindrom psychocapitalism di atas? Tak ada pilihan lain kecuali mengeliminasi berbagai nilai kapitalismeBaratyangsecara kronis dan sistemik telah menginfeksi seluruh proses penyelenggaraan negara. Mulai dari banyak undang- undang ”bodong” pesanan asing, peraturan presiden hingga ke peraturan daerah yang menyimpang dan kontraproduktif dengan semangat Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945.

Harus dipastikan bahwa setiap proses penyelenggaraan negara, baik di eksekutif, legislatif, yudikatif, civil society , maupun media selalu sejalan dengan ideologi Pancasila. Keteladanan nilai yang ada dalam Pancasila harus diamalkan di seluruh Bumi Nusantara tercinta ini. Tak ada jalan lain, takadapilihanlain, dantakadaalternatif lain untuk mengantisipasi ledakan sindrom psychocapitalism kecuali kembali ke Pancasila secara benar dan total.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1208 seconds (0.1#10.140)