Engeline dan Mati Dini GN-Aksa
A
A
A
REZA INDRAGIRI AMRIEL
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne,
Penulis Buku "Ajari Ayah, Ya Nak"
Duka bercampur murka. Begitu reaksi masyarakat menyaksikan episode demi episode kasus Engeline, gadis cilik yang wajahnya memantulkan kecantikan surgawi.
Tragedi yang Engeline alami tak ayal memberikan setitik noda bagi Denpasar sebagai wilayah yang menerima penghargaan tertinggi kota layak anak. Namun, kerja tangkas dan lekas yang Polda Bali serta berbagai elemen masyarakat peragakan memberikan jaminan nyata bahwa kepergian Engeline telah menjadi penginspirasi bagi semua pihak bahwa keterpaduan langkah merupakan kunci penanganan masalah-masalah kejahatan terhadap anak.
Seketika pula terkenang beberapa lembar kertas yang keluar dari tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bekerja setahun silam. Dokumen itu bernama Inpres No 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak (GN-Aksa). Inpres GN-Aksa secara khusus memerintahkan Kemenko Kesra untuk mengoordinasi pembuatan kebijakan, penyelenggaraan evaluasi, dan penyampaian laporan kepada Presiden setiap tiga bulan sekali atau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Inpres tersebut ditujukan kepada para menteri, jaksa agung, kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, para kepala lembaga pemerintah nonkementerian, para gubernur, dan para bupati/wali kota. Sejauh mana pelaksanaan inpres tersebut, apalagi jika kekerasan dimekarkan cakupannya sehingga tidak sebatas pada kekerasan seksual, tidak tersedia data memadai.
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah inpres tersebut dikeluarkan pada masa-masa terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga terjadi keterputusan kebijakan dan pemantauan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Atau, bisa pula karena kini tidak ada lagi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra).
Walau di kabinet Presiden Jokowi ada kementerian pengganti yakni Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan, seolah tetap ada tugas-tugas Kemenko Kesra yang tercecer saat ”pindah” ke Kemenko PMK. Apa pun alasannya, pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya meneruskan upaya implementasi Inpres GN-Aksa.
Terlebih karena salah satu butir Nawacita mencantumkan perlindungan terhadap anak sebagai prioritas kerja pemerintah saat ini. Disayangkan bahwa beberapa kementerian dan lembaga terkait, khususnya instansi yang menjadi focal point untuk perlindungan anak, belum menunjukkan kinerja maksimal yang sebanding dengan urgensi dikeluarkannya inpres tersebut. Di luar sana bahkan sudah sejak beberapa waktu lalu mendengung usulan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak masuk dalam daftar kocok ulang kabinet.
Fakta-fakta terkini menjadi indikator ukuran stamina kita dalam menekan kasuskasus kejahatan seksual terhadap anak. Indonesia, sebagai misal, kini dikabarkan telah menggeser posisi Thailand dan Kamboja sebagai salah satu tujuan utama wisata seks anak di dunia.
Turunnya peringkat Thailand dalam daftar tujuan wisata seks anak merupakan hasil kerja masif termasuk optimalisasi peran satgas antiperdagangan orang di Negeri Gajah Putih serta kemitraan yang solid dengan negara-negara yang diketahui menjadi wilayah asal para pedofil internasional.
Salah satu media sosial terbesar di dunia juga mengumumkan bahwa dengan 7000-an laporan pada 2012, Indonesia menempati peringkat pertama untuk pornografi anak dan child abuse material via media daring di Asia. Sekian banyak data yang dikeluarkan lembaga-lembaga perlindungan anak juga memperlihatkan tren kekerasan terhadap anak yang terus mendaki.
Tentu, data-data semacam di atas tidak dapat secara mutlak dipandang sebagai keburukan belaka. Jumlah kejadian yang terus bertambah justru mengindikasikan semakin banyak inisiatif-inisiatif advokasi dalam isu ini. Individu dan lembaga pemerhati anak yang berkhidmat pada bidang perlindungan anak, tentunya, menjadi mitra yang baik guna memaksimal kerja Polri.
Menyikapi sayupnya GNAksa, sesuai fungsinya, DPR memiliki peran strategis untuk melakukan pemantauan terhadap kinerja eksekutif. Inpres GN-Aksa, sebagai produk kebijakan eksekutif, juga termasuk menjadi bahan cermatan DPR. Karena Inpres GN-Aksa ditujukan kepada seluruh kepala daerah, sudah seharusnya DPRD di seluruh daerah juga melakukan pemantauan intensif terhadap kerja kepala daerah dan dinas- dinas sosial setempat di bidang pencegahan dan penanganan anak dari kejahatan seksual maupun kejahatan-kejahatan lainnya.
Secara khusus, kementerian maupun lembaga mitra nonkementerian yang diprioritaskan dan fokus pemantauan: Pertama, Kemenko PMK. Kementerian ini perlu diingatkan untuk memberikan penjelasan tentang penindaklanjutan Inpres GN-Aksa oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, baik evaluasi maupun rencana penguatan. Kedua, Polri.
Organisasi Tribrata seyogianya dapat menyampaikan penjelasan tentang kesiapan Polri dalam menangani kasus-kasus kejahatan terhadap anak yang semakin lama semakin menggelisahkan. Salah satu indikator kesiapan itu adalah statistik ketersediaan sarana dan personel Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di seluruh polres.
Sudah saatnya Polri menjadikan kerja perlindungan anak sebagai salah satu parameter inti kualitas kinerjanya. Ketiga, Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Lembaga ini perlu diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan untuk menangkis berbagai sinyalemen publik mengenai friksi dan konsistensi kerja KPAI sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Masalah tersebut perlu diurai guna memaksimalkan peran KPAI. Di samping institusi pemerintahan, perlu pula dilibatkan lembaga-lembaga nonpemerintah yang berkhidmat dan berpotensi kuat pada bidang pemberantasan kejahatan terhadap anak. Bentuk perlibatan itu mencakup penyusunan rancangan kerja strategis penanganan holistik kasus kejahatan terhadap anak oleh unsurunsur nonpemerintah. Allahu a’lam.
Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne,
Penulis Buku "Ajari Ayah, Ya Nak"
Duka bercampur murka. Begitu reaksi masyarakat menyaksikan episode demi episode kasus Engeline, gadis cilik yang wajahnya memantulkan kecantikan surgawi.
Tragedi yang Engeline alami tak ayal memberikan setitik noda bagi Denpasar sebagai wilayah yang menerima penghargaan tertinggi kota layak anak. Namun, kerja tangkas dan lekas yang Polda Bali serta berbagai elemen masyarakat peragakan memberikan jaminan nyata bahwa kepergian Engeline telah menjadi penginspirasi bagi semua pihak bahwa keterpaduan langkah merupakan kunci penanganan masalah-masalah kejahatan terhadap anak.
Seketika pula terkenang beberapa lembar kertas yang keluar dari tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bekerja setahun silam. Dokumen itu bernama Inpres No 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual terhadap Anak (GN-Aksa). Inpres GN-Aksa secara khusus memerintahkan Kemenko Kesra untuk mengoordinasi pembuatan kebijakan, penyelenggaraan evaluasi, dan penyampaian laporan kepada Presiden setiap tiga bulan sekali atau sewaktu-waktu dibutuhkan.
Inpres tersebut ditujukan kepada para menteri, jaksa agung, kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, para kepala lembaga pemerintah nonkementerian, para gubernur, dan para bupati/wali kota. Sejauh mana pelaksanaan inpres tersebut, apalagi jika kekerasan dimekarkan cakupannya sehingga tidak sebatas pada kekerasan seksual, tidak tersedia data memadai.
Salah satu kemungkinan penyebabnya adalah inpres tersebut dikeluarkan pada masa-masa terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga terjadi keterputusan kebijakan dan pemantauan oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Atau, bisa pula karena kini tidak ada lagi Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenko Kesra).
Walau di kabinet Presiden Jokowi ada kementerian pengganti yakni Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Kemanusiaan dan Kebudayaan, seolah tetap ada tugas-tugas Kemenko Kesra yang tercecer saat ”pindah” ke Kemenko PMK. Apa pun alasannya, pemerintahan Presiden Jokowi seharusnya meneruskan upaya implementasi Inpres GN-Aksa.
Terlebih karena salah satu butir Nawacita mencantumkan perlindungan terhadap anak sebagai prioritas kerja pemerintah saat ini. Disayangkan bahwa beberapa kementerian dan lembaga terkait, khususnya instansi yang menjadi focal point untuk perlindungan anak, belum menunjukkan kinerja maksimal yang sebanding dengan urgensi dikeluarkannya inpres tersebut. Di luar sana bahkan sudah sejak beberapa waktu lalu mendengung usulan agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak masuk dalam daftar kocok ulang kabinet.
Fakta-fakta terkini menjadi indikator ukuran stamina kita dalam menekan kasuskasus kejahatan seksual terhadap anak. Indonesia, sebagai misal, kini dikabarkan telah menggeser posisi Thailand dan Kamboja sebagai salah satu tujuan utama wisata seks anak di dunia.
Turunnya peringkat Thailand dalam daftar tujuan wisata seks anak merupakan hasil kerja masif termasuk optimalisasi peran satgas antiperdagangan orang di Negeri Gajah Putih serta kemitraan yang solid dengan negara-negara yang diketahui menjadi wilayah asal para pedofil internasional.
Salah satu media sosial terbesar di dunia juga mengumumkan bahwa dengan 7000-an laporan pada 2012, Indonesia menempati peringkat pertama untuk pornografi anak dan child abuse material via media daring di Asia. Sekian banyak data yang dikeluarkan lembaga-lembaga perlindungan anak juga memperlihatkan tren kekerasan terhadap anak yang terus mendaki.
Tentu, data-data semacam di atas tidak dapat secara mutlak dipandang sebagai keburukan belaka. Jumlah kejadian yang terus bertambah justru mengindikasikan semakin banyak inisiatif-inisiatif advokasi dalam isu ini. Individu dan lembaga pemerhati anak yang berkhidmat pada bidang perlindungan anak, tentunya, menjadi mitra yang baik guna memaksimal kerja Polri.
Menyikapi sayupnya GNAksa, sesuai fungsinya, DPR memiliki peran strategis untuk melakukan pemantauan terhadap kinerja eksekutif. Inpres GN-Aksa, sebagai produk kebijakan eksekutif, juga termasuk menjadi bahan cermatan DPR. Karena Inpres GN-Aksa ditujukan kepada seluruh kepala daerah, sudah seharusnya DPRD di seluruh daerah juga melakukan pemantauan intensif terhadap kerja kepala daerah dan dinas- dinas sosial setempat di bidang pencegahan dan penanganan anak dari kejahatan seksual maupun kejahatan-kejahatan lainnya.
Secara khusus, kementerian maupun lembaga mitra nonkementerian yang diprioritaskan dan fokus pemantauan: Pertama, Kemenko PMK. Kementerian ini perlu diingatkan untuk memberikan penjelasan tentang penindaklanjutan Inpres GN-Aksa oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, baik evaluasi maupun rencana penguatan. Kedua, Polri.
Organisasi Tribrata seyogianya dapat menyampaikan penjelasan tentang kesiapan Polri dalam menangani kasus-kasus kejahatan terhadap anak yang semakin lama semakin menggelisahkan. Salah satu indikator kesiapan itu adalah statistik ketersediaan sarana dan personel Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di seluruh polres.
Sudah saatnya Polri menjadikan kerja perlindungan anak sebagai salah satu parameter inti kualitas kinerjanya. Ketiga, Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Lembaga ini perlu diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan untuk menangkis berbagai sinyalemen publik mengenai friksi dan konsistensi kerja KPAI sesuai tugas pokok dan fungsinya.
Masalah tersebut perlu diurai guna memaksimalkan peran KPAI. Di samping institusi pemerintahan, perlu pula dilibatkan lembaga-lembaga nonpemerintah yang berkhidmat dan berpotensi kuat pada bidang pemberantasan kejahatan terhadap anak. Bentuk perlibatan itu mencakup penyusunan rancangan kerja strategis penanganan holistik kasus kejahatan terhadap anak oleh unsurunsur nonpemerintah. Allahu a’lam.
(bbg)