Preferensi Aktor dalam Politik Luar Negeri

Selasa, 23 Juni 2015 - 09:16 WIB
Preferensi Aktor dalam Politik Luar Negeri
Preferensi Aktor dalam Politik Luar Negeri
A A A
TANTOWI YAHYA
Wakil Ketua Komisi I DPR RI

Dalam kajian ilmu hubungan internasional (HI) kontemporer, berkembang teori pentingnya preferensi aktor dalam menentukan arah politik luar negeri (polugri) suatu negara.

Sebelumnya faktor lingkungan internal dan eksternal yang menjadi dominant factors dalam penentuan arah diplomasi. Adalah Baris Kesgin, ilmuwan HI, yang memperkenalkan konsep preferensi aktor dalam diplomasi. Ia menyatakan, wajah foreign policy suatu negara tidak lagi hanya dipengaruhi oleh lingkungan dan tantangan, lebih penting dari itu adalah faktor individual atau profil pengambil kebijakan jauh lebih menentukan.

Bertolak dari teori tersebut, politik luar negeri kita yang oleh Plano dan Otton didefinisikan sebagai strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional yang lainnya untuk mencapai tujuan nasional, membutuhkan dukungan tokoh utama untuk mewarnai arah polugri ke depan.

Dalam konteks negara, tokoh utama itu tak lain adalah Presiden Republik Indonesia, mulai dari Soekarno sampai Joko Widodo sekarang ini. Mereka semua pemimpin nasional dan representasi Indonesia di dunia internasional. Sebelum membahas track record masing-masing pemimpin dalam polugri, perlu kita pahami bersama bahwa upaya diplomasi, apa pun namanya, kuncinya terletak pada ”tujuan nasional” atau ”kepentingan nasional”.

Dengan demikian, apa pun yang kita lakukan dalam kebijakan luar negeri harus membawa manfaat bagi kepentingan nasional, baik secara politik maupun ekonomi. Dalam pembukaan UUD 1945, hal dimaksud terkait tujuan kita berbangsa, yang tak lain adalah menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Spirit ini ditafsirkan para founding fathers dengan menempatkan politik luar negeri sebagai alat perjuangan dalam membangun nasionalisme, sekaligus internasionalisme. Sejarah mencatat, 10 tahun setelah merdeka, Indonesia mampu mencuri perhatian dunia dengan menjadi aktor penting terselenggaranya Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955. Tak hanya itu, Presiden Soekarnojugaberhasilmembawa Indonesia sebagai tuan rumah AsianGames 1962 dan TheGames of the New Emerging Forces (GANEFO) 1963.

Jatuh Bangun

Diplomasi Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, apa yang dilakukan dan dicapai Bung Karno merupakan sesuatu yang berani, visioner, sekaligus kontroversial. Bagaimana tidak, saat banyak negara baru merdeka pontang-panting mengurus kemiskinan dan kelaparan, kita sudah berdiri sejajar dengan negara-negara maju, membangun infrastruktur yang sangat modern (kala itu) walaupun kita juga dikeluarkan dari IOC karena menentang tampilnya Israel dan Taiwan di Asian Games 1962 dan membidani lahirnya GANEFO pada 1963.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan seorang Bung Karno, harus jujur kita akui bahwa passion beliau terhadap politik luar negeri sangat tinggi. Setelah era Bung Karno yang berapi-api di panggung internasional, Indonesia memiliki Presiden Suharto dengan karakter berbeda, yang lebih banyak bekerja daripada bicara. Atau juga dikenal dengan low profile diplomacy.

Meskipun begitu, kemampuan Pak Harto menemukan dan mengader pembantu-pembantunya, membuat Suharto juga tetap bisa menunjukkan taring Indonesia di politik luar negeri. Beberapa nama penting yang berpengaruh dalam mendesain politik luar negeri Orde Baru antara lain Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja, dan Ali Alatas. Monumen penting diplomasi Orde Baru dapat dilihat dari terbentuknya ASEAN, peran penting Indonesia di PBB, dan dominasi kita di Sea Games.

Pada era Orde Baru kita mendominasi pentas SEA Games nyaris tanpa lawan. Sebaliknya, saat ini di SEA Games Singapore 2015, peringkat Indonesia hanya berada di peringkat kelima. Ini merupakan penurunan. Padahal dalam diplomasi modern, olahraga merupakan salah satu instrumen soft power diplomacy yang strategis. Bersama pendidikan dan kebudayaan, sports menjadi instrumen dalam penguatan people to people contact antarbangsa.

Setelah Orde Baru jatuh, kita memiliki BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Namun, karena situasi nasional saat itu tidak kondusif dan waktu yang pendek, fokus mereka lebih banyak dihabiskan untuk urusan dalam negeri. Memasuki 2004, ditandai dengan perbaikan ekonomi, Pemilu 2004 yang untuk pertama kalinya dilakukan dengan pemilihan langsung. Direct election akhirnya menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pemenang.

Bagitu pun pada Pemilu 2009 yang terpilih untuk kedua kali. Sejak itu, setelah lama absen dalam politik luar negeri akibat krisis ekonomi 1997, pelan tapi pasti, kita kembali ke orbit diplomasi dunia. Ditandai dengan masuknya Indonesia ke G- 20 (kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia), kepemimpinan Indonesia dalam Kampanye Perubahan Iklim Global, resolusi konflik di Aceh dan Timor Leste, hingga menguatnya posisi Indonesia sebagai jangkar demokrasi di Asia melalui Bali Democracy Forum (BDF) yang rutin dilaksanakan tiap tahunnya.

Pascaera SBY, Pemilu Presiden 2014 memenangkan Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia. Sejauh ini belum ada terobosan penting dalam misi diplomasi kita. Mungkin umur pemerintahan yang belum genap satu tahun membuat kita belum bisa menilainya. Meski begitu, preseden awal dari style diplomasi Pak Jokowi yang ”cuek” dan polugri yang belum jelas arahnya membuat kita layak untuk ragu, apakah Merah Putih akan tetap tegar berkibar di dunia.

Berperan di LCS


Salah satu sumber keraguan penulis tentang arah polugri pemerintahan Jokowi-JK adalah dari cara pandang Jokowi terhadap isu Laut China Selatan (LCS). Kita tahu isu LCS hingga kini masih panas, terutama dengan makin agresifnya China bermanuver di kawasan laut Asia Tenggara itu. Penulis masih ingat kala debat capres lalu Jokowi mengatakan isu LCS bukanlah prioritas dalam polugri Indonesia.

Sikap demikian tidak saja mengesankan ia kurang menjiwai geopolitik. Lebih dari itu, membuat asas bebas aktif dipertanyakan di tangan Jokowi. Diplomasi Aktif merujuk bebas aktif pada kasus LCS adalah dengan cara Indonesia mengambil peran semaksimal mungkin demi terciptanya stabilitas politik dan ekonomi di kawasan. Sikap di atas linear dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu ”...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.

Apalagi Presiden Jokowi berkali-kali menekankan pentingnya lautan bagi masa depan Indonesia, yang diberi label Poros Maritim. Dengan target sehebat itu, tentulah merupakan hal yang janggal apabila ia tidak menunjukkan greget terhadap isu LCS. Perkembangan terbaru isu LCS, Amerika Serikat (AS) mulai masuk untuk mengimbangi kekuatan China. Keterlibatan AS terkuak saat pesawat pengintainya, P8-A Poseidon bulan lalu terbang di atas ketinggian 4500 meter di atas pulau yang diklaim milik China.

Setelah muncul kecaman dari China, AS berusaha memobilisasi dukungan dari Filipina, Vietnam, dan Indonesia. Dengan makin dinamisnya LCS, agak janggal kalau Indonesia tidak ikut terlibat dalam mengelola konflik tersebut. Tujuannya demi terciptanya stabilitas keamanan di ASEAN. Sudah semestinya bila Indonesia menyatakan diri sebagai Poros Maritim Dunia, cara pandang bangsa ini terhadap konflik regional dan global harus berubah.

Dari yang semula pasif, menjadi aktif. Sebagai penutup, melihat dari penjelasan di atas, benang merah yang bisa kita tarik dari perjalanan diplomasi Indonesia sejak era Soekarno sampai Jokowi adalah linear dengan teori Kesgin politik luar negeri kita sangat bergantung dari passion pemimpin nasional (Presiden) terhadap isu global. Kalau Presidennya memiliki passion terhadap polugri, peran kita akan menguat. Begitu juga sebaliknya.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9657 seconds (0.1#10.140)