Pemerintah (Keliru) Menolak Revisi UU KPK
A
A
A
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Unpad/Unpas
KPK dan Komisi III DPR RI telah sepakat untuk merevisi UU KPK. Namun, kemudian rapat terbatas antara Presiden, petinggi penegak hukum, termasuk KPK, membatalkan kesepakatan tersebut.
Menurut penulis, dari pengamatan perjalanan KPK Jilid I sampai III, pemerintah telah keliru untuk menolak revisi UU KPK. Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan gaya kepemimpinan KPK yang berbeda- beda, kita harus mempertimbangkan masalah itu. Memang lima pimpinan KPK terpilih melalui seleksi ketat, namun mereka manusia juga, bukan ”manusia setengah malaikat” seperti sering kita dengar.
Bukti-bukti tentang ini telah cukup memprihatinkan seperti kasus Antasari, kasus Bibit- Chandra, kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta kasus Novel Baswedan, salah satu pegawai KPK. Yang sangat memprihatinkan adalah informasi dipercaya menyebutkan dan diakui ketua Plt pimpinan KPK, penetapan 36 tersangka yang buktinya tidak memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai KUHAP.
Saat ini di KPK ada pemahaman keliru bahwa satu alat bukti saja telah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka. Ada pandangan cukup dugaan atas LHA PPATK, pemilik LHA dengan harta yang signifikan dapat ditetapkan sebagai tersangka; alat bukti lainnya dicari kemudian selama dalam status tersangka.
LHA PPATK bukan alat bukti, melainkan bahan bukti material (material evidence ) awal untuk penetapan tersangka. LHA PPATK tidak bersifat pro-justitia dan masih harus diperlukan alat bukti lainnya untuk memenuhi bukti permulaan yang cukup sesuai KUHAP. Dalam konteks perkembangan ini, Presiden dan Wakil Presiden tampak berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini biasa, namun kesepakatan KPK yang tidak mewakili pemerintah dan Komisi III DPR RI kemudian dianulir oleh Presiden.
Keputusan hasil rapat terbatas Presiden dan petinggi hukum termasuk KPK bukan salah, melainkan keliru dalam memahami perkembangan situasi KPK baik internal maupun eksternal dan terlalu berlebihan menanggapi jargon ”pelemahan KPK”. Kekeliruan tersebut terjadi karena beberapa alasanalasan. Pertama, tidak memahami sifat manusia yang lazim dikenal dengan adagium ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”.
Kondisi ini telah mewujud di dalam implementasi UU KPK karena memberikan kewenangan yang luar biasa kepada pimpinan KPK yang sejak awal dimaksudkan untuk mengatasi hambatan-hambatan psikologis dan fisik dalam penyidikan dan penuntutan tersangka korupsi. Kedua, tidak dipahami bahwa ketentuan UU KPK mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik telah menimbulkan multitafsir sehingga terjadi putusan praperadilan yang sangat ”merugikan” wibawa KPK sebagai lembaga superbodi dan memiliki fungsi trigger mechanism.
Ketiga, pemahaman asas kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK sering disalahartikan oleh pimpinan KPK Jilid III dengan cukup disetujui satu atau dua orang pimpinan saja. Padahal diketahui bahwa sejatinya ketentuan asas kolektif kolegial tersebut agar kelima pimpinan KPK berhatihati dan cermat dalam mengambil keputusan karena tidak diperbolehkan mengeluarkan SP3.
Kenyataannya jauh berbeda dan telah jatuh ”korban” yang belum tentu bersalah. Keempat, tidak dipahami keadaan sebenarnya mengenai praktik penyadapan KPK. Berdasarkan hasil audit BPK atas kinerja KPK per tanggal 23 Desember 2013 (laporan hasil pemeriksaan Nomor 115/HP/ XIV/12/2013) yang menegaskan bahwa, ”...proses evaluasi dan monitoring masih perlu ditingkatkan khusus terkait eksaminasi penanganan TPK dan audit atas kegiatan lawful interception yang terakhir dilaksanakan oleh Tim Pengawas pada tahun 2009”.
Sekalipun KPK telah meminta Kemenkominfo mengaudit penyadapan pada tanggal 27 Maret 2012, tetapi tidak dapat dilaksanakan dengan alasan putusan MKRI Nomor 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011 yang telah membatalkan pembentukan Tim Pengawas. KPK telah menerbitkan SOP-1/20/2012 tentang Prosedur Baku Penyadapan Informasi yang Sah (Lawful Interception), telah berlaku sejak tanggal 6 Januari 2013, akan tidak berjalan efektif.
Dalam laporan audit SPI KPK, BPK menyatakan bahwa, ”belum optimalnya audit terhadap lawful interception menyebabkan akuntabilitas proses interception yang dilakukan KPK belum sepenuhnya terpenuhi ”. Atas dasar alasan ini, revisi ketentuan mengenai penyadapan perlu diperjelas di dalam UUKPK.
Kelima, audit BPK tersebut juga telah menyatakan bahwa sistem pengendalian internal KPK dalam pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang tidak berjalan efektif. Keenam, ketentuan mengenai ”kekosongan pimpinan KPK” dalam UU KPK perlu diperjelas mengenai batas waktu pengisiannya sehingga tidak menghambat efisiensi KPK. Ketujuh, pemahaman mengenai pengertian lex specialis pada UU KPK telah keliru.
Pengertian tersebut hanya berlaku untuk kewenangan KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP ; bukan terletak pada status penyelidik dan penyidik serta penuntut yang tetap harus merujuk pada KUHAP sebagai ”umbrella act ”. Kedelapan, diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kekecualian dalam melaksanakan seluruh ketentuan dalam UU KPK termasuk dan tidak terbatas pada hak pimpinan/pegawai KPK untuk mengajukan gugatan atau tuntutan pidana.
Kesembilan, perlu ketentuan dalam revisi UU KPK mengenai pertanggungjawaban pimpinan KPK atas kinerja dan keuangan KPK disertai sanksi administratif dan sanksi pidana. Hal ini didasarkan pada laporan BPK atas kinerja fungsi penyidikan dan keuangan KPK. Penerimaan uang rampasan (PNBP) pada 2010 telah terlambat setor antara tujuh hari sampai 584 hari mencapai nilai sebesar Rp137.390.086.477.
Dalam kurun waktu 2005-2012, denda yang belum terbayar sampai terpidana bebas bersyarat sebesarRp4.450.000.000. PNBP yang terlambat setor ke kas negara dan denda yang tidak terbayar tersebut termasuk kerugiannegara dengantotalsebesar Rp141.84.086.477. Tidak ada sanksi pidana dan administratif terhadap pimpinan KPK terkait kerugian negara tersebut.
Selain alasan-alasan tersebut, empat putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah membatalkan penetapan tersangka dan status penyelidik/penyidik pada KPK merupakan bukti KPK belum optimal melaksanakan sistem pengendalian internal (SPI). Karena itu, revisi UU KPK merupakan keperluan mendesak dan bersifat segera.
Tentu ada pendapat untuk mengabaikan putusan praperadilan dengan alasan bukan yurisprudensi yang mengikat, tetapiberdasarkanUUNomor30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pendapat tersebut bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c tentang larangan bertindak sewenangwenang jo Pasal 18 ayat (3) yaitu tindakan pejabat yang dilakukan bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (b). Solusi satusatunya dan bersifat segera adalah revisi UU KPK sehingga pimpinan KPK Jilid IV tidak akan mengalami masalah hukum yang sama di kemudian hari.
Guru Besar Emeritus Unpad/Unpas
KPK dan Komisi III DPR RI telah sepakat untuk merevisi UU KPK. Namun, kemudian rapat terbatas antara Presiden, petinggi penegak hukum, termasuk KPK, membatalkan kesepakatan tersebut.
Menurut penulis, dari pengamatan perjalanan KPK Jilid I sampai III, pemerintah telah keliru untuk menolak revisi UU KPK. Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan gaya kepemimpinan KPK yang berbeda- beda, kita harus mempertimbangkan masalah itu. Memang lima pimpinan KPK terpilih melalui seleksi ketat, namun mereka manusia juga, bukan ”manusia setengah malaikat” seperti sering kita dengar.
Bukti-bukti tentang ini telah cukup memprihatinkan seperti kasus Antasari, kasus Bibit- Chandra, kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta kasus Novel Baswedan, salah satu pegawai KPK. Yang sangat memprihatinkan adalah informasi dipercaya menyebutkan dan diakui ketua Plt pimpinan KPK, penetapan 36 tersangka yang buktinya tidak memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai KUHAP.
Saat ini di KPK ada pemahaman keliru bahwa satu alat bukti saja telah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka. Ada pandangan cukup dugaan atas LHA PPATK, pemilik LHA dengan harta yang signifikan dapat ditetapkan sebagai tersangka; alat bukti lainnya dicari kemudian selama dalam status tersangka.
LHA PPATK bukan alat bukti, melainkan bahan bukti material (material evidence ) awal untuk penetapan tersangka. LHA PPATK tidak bersifat pro-justitia dan masih harus diperlukan alat bukti lainnya untuk memenuhi bukti permulaan yang cukup sesuai KUHAP. Dalam konteks perkembangan ini, Presiden dan Wakil Presiden tampak berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini biasa, namun kesepakatan KPK yang tidak mewakili pemerintah dan Komisi III DPR RI kemudian dianulir oleh Presiden.
Keputusan hasil rapat terbatas Presiden dan petinggi hukum termasuk KPK bukan salah, melainkan keliru dalam memahami perkembangan situasi KPK baik internal maupun eksternal dan terlalu berlebihan menanggapi jargon ”pelemahan KPK”. Kekeliruan tersebut terjadi karena beberapa alasanalasan. Pertama, tidak memahami sifat manusia yang lazim dikenal dengan adagium ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”.
Kondisi ini telah mewujud di dalam implementasi UU KPK karena memberikan kewenangan yang luar biasa kepada pimpinan KPK yang sejak awal dimaksudkan untuk mengatasi hambatan-hambatan psikologis dan fisik dalam penyidikan dan penuntutan tersangka korupsi. Kedua, tidak dipahami bahwa ketentuan UU KPK mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik telah menimbulkan multitafsir sehingga terjadi putusan praperadilan yang sangat ”merugikan” wibawa KPK sebagai lembaga superbodi dan memiliki fungsi trigger mechanism.
Ketiga, pemahaman asas kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK sering disalahartikan oleh pimpinan KPK Jilid III dengan cukup disetujui satu atau dua orang pimpinan saja. Padahal diketahui bahwa sejatinya ketentuan asas kolektif kolegial tersebut agar kelima pimpinan KPK berhatihati dan cermat dalam mengambil keputusan karena tidak diperbolehkan mengeluarkan SP3.
Kenyataannya jauh berbeda dan telah jatuh ”korban” yang belum tentu bersalah. Keempat, tidak dipahami keadaan sebenarnya mengenai praktik penyadapan KPK. Berdasarkan hasil audit BPK atas kinerja KPK per tanggal 23 Desember 2013 (laporan hasil pemeriksaan Nomor 115/HP/ XIV/12/2013) yang menegaskan bahwa, ”...proses evaluasi dan monitoring masih perlu ditingkatkan khusus terkait eksaminasi penanganan TPK dan audit atas kegiatan lawful interception yang terakhir dilaksanakan oleh Tim Pengawas pada tahun 2009”.
Sekalipun KPK telah meminta Kemenkominfo mengaudit penyadapan pada tanggal 27 Maret 2012, tetapi tidak dapat dilaksanakan dengan alasan putusan MKRI Nomor 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011 yang telah membatalkan pembentukan Tim Pengawas. KPK telah menerbitkan SOP-1/20/2012 tentang Prosedur Baku Penyadapan Informasi yang Sah (Lawful Interception), telah berlaku sejak tanggal 6 Januari 2013, akan tidak berjalan efektif.
Dalam laporan audit SPI KPK, BPK menyatakan bahwa, ”belum optimalnya audit terhadap lawful interception menyebabkan akuntabilitas proses interception yang dilakukan KPK belum sepenuhnya terpenuhi ”. Atas dasar alasan ini, revisi ketentuan mengenai penyadapan perlu diperjelas di dalam UUKPK.
Kelima, audit BPK tersebut juga telah menyatakan bahwa sistem pengendalian internal KPK dalam pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang tidak berjalan efektif. Keenam, ketentuan mengenai ”kekosongan pimpinan KPK” dalam UU KPK perlu diperjelas mengenai batas waktu pengisiannya sehingga tidak menghambat efisiensi KPK. Ketujuh, pemahaman mengenai pengertian lex specialis pada UU KPK telah keliru.
Pengertian tersebut hanya berlaku untuk kewenangan KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP ; bukan terletak pada status penyelidik dan penyidik serta penuntut yang tetap harus merujuk pada KUHAP sebagai ”umbrella act ”. Kedelapan, diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kekecualian dalam melaksanakan seluruh ketentuan dalam UU KPK termasuk dan tidak terbatas pada hak pimpinan/pegawai KPK untuk mengajukan gugatan atau tuntutan pidana.
Kesembilan, perlu ketentuan dalam revisi UU KPK mengenai pertanggungjawaban pimpinan KPK atas kinerja dan keuangan KPK disertai sanksi administratif dan sanksi pidana. Hal ini didasarkan pada laporan BPK atas kinerja fungsi penyidikan dan keuangan KPK. Penerimaan uang rampasan (PNBP) pada 2010 telah terlambat setor antara tujuh hari sampai 584 hari mencapai nilai sebesar Rp137.390.086.477.
Dalam kurun waktu 2005-2012, denda yang belum terbayar sampai terpidana bebas bersyarat sebesarRp4.450.000.000. PNBP yang terlambat setor ke kas negara dan denda yang tidak terbayar tersebut termasuk kerugiannegara dengantotalsebesar Rp141.84.086.477. Tidak ada sanksi pidana dan administratif terhadap pimpinan KPK terkait kerugian negara tersebut.
Selain alasan-alasan tersebut, empat putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah membatalkan penetapan tersangka dan status penyelidik/penyidik pada KPK merupakan bukti KPK belum optimal melaksanakan sistem pengendalian internal (SPI). Karena itu, revisi UU KPK merupakan keperluan mendesak dan bersifat segera.
Tentu ada pendapat untuk mengabaikan putusan praperadilan dengan alasan bukan yurisprudensi yang mengikat, tetapiberdasarkanUUNomor30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pendapat tersebut bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c tentang larangan bertindak sewenangwenang jo Pasal 18 ayat (3) yaitu tindakan pejabat yang dilakukan bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (b). Solusi satusatunya dan bersifat segera adalah revisi UU KPK sehingga pimpinan KPK Jilid IV tidak akan mengalami masalah hukum yang sama di kemudian hari.
(bbg)