Menunggu Reshuffle
A
A
A
Sudah lebih dari enam bulan pemerintahan Presiden JokoWidodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla bekerja.
Namun, hasilnya belum kelihatan baik, bahkan kinerja di bidang ekonomi bisa dikatakan jeblok. Ekonomi nasional berjalan makin lambat, rupiah makin terpuruk, dan kalangan dunia usaha pun mulai menjerit. Tak salah bila banyak kalangan akhirnya menyuarakan agar Presiden Jokowi segera me-reshuffleKabinet Kerja karena dinilai ada sejumlah menteri yang tidak kapabel.
Apakah Presiden Jokowi berani mengganti menteri-menterinya yang dinilai tidak mampu? Itu pertanyaan mendasar yang ditunggu masyarakat Indonesia belakangan ini. Kalau mau jujur, Presiden Jokowi sudah pasti memiliki rapor hasil kinerja Kabinet Kerja selama ini. Apakah memang para menterinya itu benar-benar bekerja atau hanya mencari popularitas untuk menutupi kekurangannya.
Kalau kita jeli, catatan-catatan kinerja menteri ini, semuanya sudah terekam baik lewat media massa maupun hasil penilaian dari sejumlah lembaga penelitian. Presiden yang memiliki banyak ‘’mata dan telinga’’ tentu juga sudah memiliki catatan sendiri terkait kinerja para menteri-menterinya. Enam bulan memang belum begitu lama untuk menilai kinerja seseorang.
Namun, waktu setengah tahun kita bisa melihat tren kinerja seseorang misalnya dari program-program hingga gebrakangebrakan yang dilakukannya. Dari situ, pasti akan terlihat apakah memang yang bersangkutan layak untuk dipertahankan atau segera diganti. Tidak fair juga bagi kita kalau membiarkan para menteri yang sebenarnya tidak mampu untuk terus memegang amanah tersebut. Risikonya terlalu besar yakni nasib 250 juta rakyat Indonesia.
Kita harus ingat bahwa kondisi negara saat ini benar-benar sudah darurat yang memerlukan penanganan jitu dan strategis secepat mungkin. Kalau pelaksananya tidak memiliki kemampuan yang andal, sulit bagi kita untuk keluar dari permasalahan ekonomi yang kini sedang mendera bangsa ini. Apalagi dari awal masyarakat memiliki harapan yang sangat tinggi pada pemerintahan Jokowi.
Mereka berharap pemerintahan baru ini bisa menjadi nakhoda bagi bangsa ini untuk maju, makmur, dan bisa bersaing dengan bangsa lain di fora internasional. Tapi, pada kenyataannya, pemerintahan baru ini belum bisa berbuat banyak bagi negara ini. Karena itu, reshuffletidak boleh ditawar lagi. Meski begitu, dalam mengganti kabinetnya, Presiden Jokowi tak boleh mengulangi ”kesalahannya” saat menyusun Kabinet Kerja.
Ingat, dari awal banyak kalangan sebenarnya sudah meragukan Kabinet Kerja. Banyak tokoh-tokoh yang ditunjuk Presiden ternyata tidak lebih dari sekadar hasil kompromi politik. Masyarakat pasti ingat dulu saat berkampanye, Jokowi sering menyebut koalisi yang dibentuknya tanpa syarat dan akan membangun kabinet ramping. Tapi, dalam kenyataannya struktur kabinet tak jauh berbeda dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bahkan, hampir separuh kabinet Jokowi diisi dengan orang-orang yang berasal dari partai koalisinya atau yang mereka sebut dengan profesional partai. Di sini, Presiden seperti ”tidak berdaya” ketika para partai pengusungnya minta jatah kursi di kabinet. Reshuffle memang hak prerogatif Presiden. Artinya, siapa pun tidak berhak mendesak-desak Presiden untuk mengganti para pembantunya. Semua sudah sangat paham aturan tersebut.
Namun, sekali lagi, perlu diingat bahwa tidak salah juga kalau Presiden juga mendengarkan aspirasi dari banyak tokoh yang tentu punya keinginan bersama untuk memajukan bangsa ini. Ingat, di negara ini, banyak tokoh yang cerdas dan mampu untuk menjadi menteri. Karena itu, pergantian menteri ini harus berlandaskan kinerja dan profesionalitas, bukan lagi kompromi politik.
Mengutip mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair bahwa The art of leadership is saying no, not saying yes. It is very easy to say yes. Kali ini Jokowi harus berani mengatakan tidak kepada partai pengusungnya dalam melakukan reshufflekabinet. Hal ini penting dilakukan selain agar ekonomi nasional segera tumbuh baik, imageJokowi juga akan terangkat dengan keberaniannya untuk bersikap independen.
Selama ini terdapat kesan sangat kental bahwa Jokowi banyak disetir oleh para elite partai yang mengusungnya menjadi presiden. Publik sangat menunggu ”keberanian” Jokowi.
Namun, hasilnya belum kelihatan baik, bahkan kinerja di bidang ekonomi bisa dikatakan jeblok. Ekonomi nasional berjalan makin lambat, rupiah makin terpuruk, dan kalangan dunia usaha pun mulai menjerit. Tak salah bila banyak kalangan akhirnya menyuarakan agar Presiden Jokowi segera me-reshuffleKabinet Kerja karena dinilai ada sejumlah menteri yang tidak kapabel.
Apakah Presiden Jokowi berani mengganti menteri-menterinya yang dinilai tidak mampu? Itu pertanyaan mendasar yang ditunggu masyarakat Indonesia belakangan ini. Kalau mau jujur, Presiden Jokowi sudah pasti memiliki rapor hasil kinerja Kabinet Kerja selama ini. Apakah memang para menterinya itu benar-benar bekerja atau hanya mencari popularitas untuk menutupi kekurangannya.
Kalau kita jeli, catatan-catatan kinerja menteri ini, semuanya sudah terekam baik lewat media massa maupun hasil penilaian dari sejumlah lembaga penelitian. Presiden yang memiliki banyak ‘’mata dan telinga’’ tentu juga sudah memiliki catatan sendiri terkait kinerja para menteri-menterinya. Enam bulan memang belum begitu lama untuk menilai kinerja seseorang.
Namun, waktu setengah tahun kita bisa melihat tren kinerja seseorang misalnya dari program-program hingga gebrakangebrakan yang dilakukannya. Dari situ, pasti akan terlihat apakah memang yang bersangkutan layak untuk dipertahankan atau segera diganti. Tidak fair juga bagi kita kalau membiarkan para menteri yang sebenarnya tidak mampu untuk terus memegang amanah tersebut. Risikonya terlalu besar yakni nasib 250 juta rakyat Indonesia.
Kita harus ingat bahwa kondisi negara saat ini benar-benar sudah darurat yang memerlukan penanganan jitu dan strategis secepat mungkin. Kalau pelaksananya tidak memiliki kemampuan yang andal, sulit bagi kita untuk keluar dari permasalahan ekonomi yang kini sedang mendera bangsa ini. Apalagi dari awal masyarakat memiliki harapan yang sangat tinggi pada pemerintahan Jokowi.
Mereka berharap pemerintahan baru ini bisa menjadi nakhoda bagi bangsa ini untuk maju, makmur, dan bisa bersaing dengan bangsa lain di fora internasional. Tapi, pada kenyataannya, pemerintahan baru ini belum bisa berbuat banyak bagi negara ini. Karena itu, reshuffletidak boleh ditawar lagi. Meski begitu, dalam mengganti kabinetnya, Presiden Jokowi tak boleh mengulangi ”kesalahannya” saat menyusun Kabinet Kerja.
Ingat, dari awal banyak kalangan sebenarnya sudah meragukan Kabinet Kerja. Banyak tokoh-tokoh yang ditunjuk Presiden ternyata tidak lebih dari sekadar hasil kompromi politik. Masyarakat pasti ingat dulu saat berkampanye, Jokowi sering menyebut koalisi yang dibentuknya tanpa syarat dan akan membangun kabinet ramping. Tapi, dalam kenyataannya struktur kabinet tak jauh berbeda dengan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bahkan, hampir separuh kabinet Jokowi diisi dengan orang-orang yang berasal dari partai koalisinya atau yang mereka sebut dengan profesional partai. Di sini, Presiden seperti ”tidak berdaya” ketika para partai pengusungnya minta jatah kursi di kabinet. Reshuffle memang hak prerogatif Presiden. Artinya, siapa pun tidak berhak mendesak-desak Presiden untuk mengganti para pembantunya. Semua sudah sangat paham aturan tersebut.
Namun, sekali lagi, perlu diingat bahwa tidak salah juga kalau Presiden juga mendengarkan aspirasi dari banyak tokoh yang tentu punya keinginan bersama untuk memajukan bangsa ini. Ingat, di negara ini, banyak tokoh yang cerdas dan mampu untuk menjadi menteri. Karena itu, pergantian menteri ini harus berlandaskan kinerja dan profesionalitas, bukan lagi kompromi politik.
Mengutip mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair bahwa The art of leadership is saying no, not saying yes. It is very easy to say yes. Kali ini Jokowi harus berani mengatakan tidak kepada partai pengusungnya dalam melakukan reshufflekabinet. Hal ini penting dilakukan selain agar ekonomi nasional segera tumbuh baik, imageJokowi juga akan terangkat dengan keberaniannya untuk bersikap independen.
Selama ini terdapat kesan sangat kental bahwa Jokowi banyak disetir oleh para elite partai yang mengusungnya menjadi presiden. Publik sangat menunggu ”keberanian” Jokowi.
(ars)