Mineral Nikel, SDA yang Memikat Dunia

Sabtu, 20 Juni 2015 - 11:57 WIB
Mineral Nikel, SDA yang...
Mineral Nikel, SDA yang Memikat Dunia
A A A
MUDI KASMUDI
Praktisi Industri,
Energi, dan Pertambangan

Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam (SDA) mineral dan energi yang melimpah. Indonesia pernah merasakan kejayaan sebagai negara eksportir minyak yang sekarang bergeser menjadi net importer minyak bumi dan pernah merasakan kejayaan sebagai negara eksportir LNG nomor satu dunia dan sudah digeser posisinya oleh negara lain.

Tetapi, yang tidak banyak diperbincangkan masyarakat umum adalah kita pernah menjadi salah satu negara eksportir barang tambang mentah terbesar dunia. Berdasarkan UU Mineral dan Batubara (Minerba) No 4/2009 yang diberlakukan efektif pada Januari 2014, pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi diwajibkan melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.

Sebelum diberlakukan UU Minerba, banyak kapal-kapal besar dari berbagai negara seperti China, Jepang, Australia, dan Eropa berlabuh di daerah Sulawesi, Maluku, Kalimantan, Papua untuk membawa barang tambang ke negaranya untuk diproses pemurnian. Setelah 12 Januari 2014, daerah tambang mineral seperti bauksit, pasir besi, nikel, tembaga, dan tambang lainnya mendadak sunyi.

Pelabuhan tem-pat kapal-kapal besar yang berlabuh untuk mengangkut barang tambang juga sepi. Walaupun konsentrat tembaga masih diizinkan oleh pemerintah dengan persyaratan khusus. Dengan sepinya aktivitas pertambangan, perekonomian daerah-daerah pertambangan mineral langsung turun tajam. Kontraktor pertambangan banyak yang tutup, sewa dan penjualan alat berat dalam negeri turun.

Di samping itu juga, negara kehilangan pendapatan dari royalti, pajak, dan bea keluar sekitar USD9,2 miliar. Nilai tersebut apabila dikonversi dengan asumsi kurs APBNP 2015 (Rp12.500 per USD) setara dengan 6,5% total pendapatan negara pada APBNP 2015. Dampak total perekonomian, termasuk dampak pada pendapatan perusahaan tambang, sangat besar.

Nikel Indonesia

Cadangan nikel Indonesia nomor enam dunia setelah Australia, New Kaledonia, Brasil, Rusia, dan Kuba (USGS, 2015). Menurut Bloomberg (April, 2015), berdasarkan data dari Bea Cukai China, pada 2013, Indonesia mengekspor bijih nikel (nickel ore) sebesar 41,1 juta ton. Jumlah tersebut setara dengan 450.000 ton nikel murni apabila diolah oleh smelter di dalam negeri. Sebelum 2014 China mengimpor lebih dari 50% kebutuhan bijih nikel dari Indonesia.

Setelah berlakunya UU Minerba, posisi Indonesia diambil alih oleh Filipina walaupun kualitas bijih nikel Indonesia lebih baik dari Filipina. Dengan kualitas mineral yang baik, itulah mengapa negara lain mengimpor bijih nikel dari Indonesia. Nikel digunakan di industri untuk pembuatan battery, plating, paduan, dan stainless steel (baja tahan karat).

Konsumsi nikel dunia, 70% diperuntukkan untuk bahan stainless steel, di mana menurut International Stainless Steel Forum (ISSF-2014), produsen stainless steel dunia pada 2013 adalah China (50%), Uni Eropa (19%), Asia selain China (23%), Amerika (6%), dan 2% sisanya adalah negara lain. Dari data di atas, konsumsi nikel terbesar dunia adalah China.

Konsumsi dan produksi nikel dunia, tren pertumbuhannya selalu naik dari tahun ke tahun. Sekalipun dunia mengalami berbagai krisis dan guncangan ekonomi seperti : krisis minyak dunia yang pertama (1973), krisis minyak dunia yang kedua (1979), Perang Teluk (1990), krisis Asia (1998), Resesi Dunia (2001), krisis finansial dunia (2008), tetapi tren pertumbuhan tahunan produksi stainless steel dunia pada 1950-2013 selalu positif yaitu 5,53% (ISSF-2014).

Komoditas nikel diperdagangkan pada London Metal Exchange (LME), dan sebagaimana komoditas lainnya, harga mengalami naik dan turun. Sejak 2004 sampai 2014 harga rata-rata tertinggi pada 2007 yaitu USD37.000 dolar per ton. Salah satu faktor pendorongnya, pada masa itu China sedang membangun besar-besaran infrastruktur menjelang Olimpiade Beijing 2008.

Di kuartal pertama 2015, harga nikel masih lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Sekalipun harga nikel turun, minat investasi smelter tetap tinggi. Hal ini karena menurut perkiraan analis seperti Macquarie, Citi Research, dan analis lainnya, harga pada 2015 dan selanjutnya akan terus naik.

Pembangunan Smelter

Indonesia sejak 1970-an sudah mengoperasikan smelternikel yaitu Inco dan PT Antam Tbk (BUMN), keduanya berada di Sulawesi. Pada 2014 telah beroperasi PT Indo Ferro (Growth Sumatra Group) di Banten dan yang baru tahun ini adalah smelter Tsingshan Group di Sulawesi. Kapasitas bijih nikel yang diolah oleh dua smelter yang baru beroperasi tersebut masih jauh jika dibandingkan total ekspor bijih nikel pada 2013.

Indonesia masih memerlukan investor untuk membangun smelter lebih banyak. Tetapi, untuk membangun smelter dengan kapasitas 450.000 ton nikel per tahun, sangatlah sulit dilakukan selama tiga sampai lima tahun ke depan. Hal ini karena investasi membangun smelter di luar Jawa memerlukan investasi yang sangat mahal, mengingat rendahnya dukungan infrastruktur.

Investasi smelter di luar Jawa, termasuk infrastruktur dan pembangkit sekitar USD25.000 dolar sampai USD50.000 per ton nikel, tergantung teknologi yang digunakan dan lokasi. Sekiranya total kapasitas yang hendak dibangun untuk semua smelter hanya diambil 50%-nya (250.000 ton nikel per tahun) selama lima tahun ke depan, dibutuhkan total investasi sebesar USD6,25 miliar sampai USD12,5 miliar (Rp156,25 triliun).

Sekiranya setelah berproduksi harga diasumsikan USD20.000 per ton, pendapatan penjualan mencapai USD5 miliar per tahun. Suatu jumlah yang sangat besar untuk menggerakkan pembangunan ekonomi nasional. Banyak kendala untuk merealisasikan pembangunan smelter di Indonesia, terutama masalah pendanaan.

Pendanaan proyek besar umumnya harus mempunyai equity sebesar 30-40% dari modal sendiri, sedangkan sisanya dari pinjaman bank. Di samping itu, untuk pinjaman besar, manajemen risiko bank juga membutuhkan persyaratan yang ketat dan tidak sedikit. Selain masalah pendanaan, yang diperlukan oleh investor dari pemerintah pusat maupun daerah adalah memberi dukungan yang sangat besar dan tidak memberatkan para investor.

Indonesia harus segera memberikan jalan bagi industri smelter nikel, sebelum daya saing nikel Indonesia dikalahkan oleh Filipina, karena Filipina berencana mengikuti langkah Indonesia dengan melarang barang tambang mentah diekspor dan mewajibkan untuk diolah di dalam negeri. Bila tidak, kesempatan akan diambil negara lain.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0748 seconds (0.1#10.140)