Hukuman Wali Kota Palembang dan Istri Diperberat, Hak Politik Dicabut

Sabtu, 20 Juni 2015 - 00:02 WIB
Hukuman Wali Kota Palembang dan Istri  Diperberat, Hak Politik Dicabut
Hukuman Wali Kota Palembang dan Istri Diperberat, Hak Politik Dicabut
A A A
JAKARTA - Majelis banding Pengadilan Tinggi (PT) Tipikor DKI Jakarta memperberat pidana penjara dan mencabut hak politik Wali Kota Palembang nonaktif Romi Herton dan istrinya, Masyito.

Penegasan itu disampaikan Humas PT DKI Jakarta melalui pesan singkat (sms), Jumat (19/6/2015) malam. Ada dua poin penting dalam putusan Romi dan Masyito tersebut.

"Masing-masing dijatuhi pidana, 7 tahun untuk Romi Herton dan 5 tahun untuk Masyito dan denda masing-masing sebesar Rp200.000.000 subsidair 2 bulan kurungan. Ditambah hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih dan memilih selama 5 tahun," kata Hatta.

Dia melanjutkan, putusan ini diambil dalam musyarawah hakim banding dengan ketua majelis Elang Prakoso Wibowo, 18 Juni 2015.

Hatta menggariskan, hukuman pidana penjara kepada keduanya lebih berat satu tahun dari putusan yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta.

"Catatan, hukuman ini lebih berat 1 tahun daripada tingkat pertama. Pada tingkat pertama juga tidak ada hukuman tambahan pencabutan hak dipilih dan memilih," tandasnya.

Untuk diketahui, majelis Pengadilan Tipikor, Jakarta dengan ketua Muh Muchlis dan anggota majelis Supriyono, Alexander Marwata, Sofialdi, dan Saiful Arif menyatakan, Romi Herton dan Masyito terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi dalam dua delik sesuai dua dakwaan yang dituangkan JPU pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Senin 9 Maret 2015.

Atas perbuatan itu, Romi Herton dijatuhi pidana penjara selama enam tahun dan Masyito selama empat tahun.

Masing-masing terdakwa juga dipidana dengan denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar setelah putusan ini satu bulan berkekuatan hukum tetap maka diganti pidana kurungan dua bulan.

Dua delik yang dilakukan Romi dan Masyito yakni, pertama, secara bersama-sama dan berlanjut memberikan suap Rp11,395 miliar dan USD316.700 kepada mantan Ketua MK, M Akil Mochtar, melalui orang dekat Akil yang juga pemilik PT Promic Internasional, Muhtar Ependy.

Kedua, secara sendiri-sendiri Romi dan Masyito selaku saksi pada sidang Akil dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar atau keteranganpalsu.

Dalam pemberian keterangan palsu ini majelis tidak sependapat dengan dakwaan dan tuntutan JPU bahwa kedua terdakwa melakukannya secara bersama- sama.

Majelis tidak sependapat dengan tuntutan JPU soal pidana penjara 9 tahun untuk Romi dan 6 tahun untuk Masyito.

Majelis juga tidak sependapat dengan tuntutan pencabutan hak politik selama 11 tahun terhadap Romi seperti disampaikan JPU.

Ada dua alasan yang dikemukakan. Pertama, tuntutan tersebut tidak jelas maksud hak memilih dan dipilih yang mana dan dalam kaitan apa.

Kedua, hak memilih dan dipilih adalah hak yang melekat pada warga negara. Karena itu, tuntutan tersebut tidak bisa dipenuhi.

Atas perbuatan suap, Romi dan Masyito terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal64 ayat (1) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan ke satu pertama.

Pada delik keterangan palsu, pasangan suami istri itu terbukti menurut hukum bersalah melanggar Pasal 22 jo Pasal 35 UU Pemberantasan Tipikor. "Sebagaimana dalam dakwaan kedua pertama," tegas Muchlis.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3498 seconds (0.1#10.140)