Merombak Bulog
A
A
A
Khudori
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok. Kegemilangan itu dicapai melalui pergulatan ekonomi-politik panjang.
Catatan penting dari prestasi itu adalah adanya sejumlah instrumen penting yang memungkinkan stabilisasi dilakukan. Berbekal berbagai instrumen, termasuk pendanaan berbunga rendah yang seolah-olah tidak terbatas melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia, monopoli komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dan captive market (PNS+TNI), Bulog sebagai pengembang stabilisasi benarbenar berfungsi powerfull.
Posisinya yang langsung di bawah presiden menggunting birokrasi panjang dan berbelit. Dua mandat penting Bulog dari pemerintah adalah pengamanan harga dasar gabah (HDG) dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah. Menurut penelitian David Dev (1999), selama 20 tahun (1973-1997) hanya 10 kali dalam 240 bulan (4%) harga gabah jatuh di bawah HDG. Sementara di Filipina, jumlahnya mencapai 72 kali dalam 279 bulan (26%).
Keberhasilan fungsi stabilisasi harga dan menjagastokpenyanggapangan tidak cuma ditentukan oleh ketepatan waktu pembelian, penguasaan stok, dan pelepasan stok pada saat yang tepat, tapi juga bergantung pada ketersediaan dana di Bulog (KLBI). Namun, karena bersifat birokratis dan disorganized, segala aktivitas Bulog lebih banyak pertimbangan politis (ketimbang bisnis).
Posisinya yang banci ketika berstatus lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi sumber dari segala sumber terjadinya kasus nonbujeter Bulog yang sering menjadi pemicu keguncangan politik di Indonesia seperti pemakzulan Presiden Gus Dur, diseretnya Akbar Tandjung ke meja hijau, dan dikirimnya Beddu Amang, Rahardi Ramelan, dan Sapuan ke penjara. Sampailah Indonesia jadi pasien IMF, setelah krisis menerjang negeri ini. Lewat letter of intent (LoI), September 1998, telah terjadi penggerusan habis-habisan terhadap bisnis dan berbagai privilese Bulog.
Sejak itu pasar Indonesia diserbu beras impor sampai 7,1 juta ton. Pasar domestik juga dibanjiri gula dan buah-buahan Thailand, paha ayam dan kedelai transgenik AS, dan daging sapi Australia. Puncaknya, Mei 2003 Bulog harus berubah status dari LPND menjadi perum yang harus untung. Merasa bersalah, berbagai koreksi dilakukan pemerintah. Salah satunya setelah status Bulog sebagai state trading enterprise (STE) di WTO dicabut pada 1998, pada 2002 dinotifikasi kembali.
Pemerintah memberi hak khusus ke Bulog yakni “undertakes the government mandate to import and distribute rice, and maintain national rice reserve stock for price stabilization and for emergency purposes.” Ini terkait pengadaan beras dalam negeri untuk mengamankan harga pembelian pemerintah (HPP), penyaluran Raskin, cadangan beras nasional dari kredit komersial yang dijamin pemerintah, dan mengelola impor beras G to G, counter trade,danfood aid. Ada perbedaan mendasar antara STE saat ini dan dulu.
Perbedaan itu menyangkut dua hal: dulu banyak komoditas dan monopoli impor, kini hanya pada beras dan tak monopoli. Monopoli impor beras diberikan Agustus 2007. Meskipun status STE sudah kembali, kinerja Bulog masih mengecewakan. Misalnya, pada 2014 pengadaan Bulog hanya tercapai 2,4 dari target 3 juta ton setara beras. Padahal, untuk Raskin bantuan bencana dan operasi pasar dibutuhkan 3 juta ton beras. Karena cadangan tipis, ketika spekulan bermain, Bulog tak berdaya. Inilah yang membuat harga beras naik gilagilaan akhir 2014 dan awal 2015.
Ini terjadi karena Bulog tidak didukung pendanaan memadai. Saat ini Bulog beroperasi menggunakan kredit komersial. Padahal, merujuk UU No 18/2012 tentang Pangan, tugas-tugas sosial yang diemban Bulog saat ini adalah tugas pemerintah. Ketika tugas itu diserahkan ke Bulog, segala konsekuensi yang timbul dari tugas sosial harus ditanggung pemerintah, termasuk dana.
*** Kini gejolak harga kebutuhan pokok jadi rutinitas. Masalah itu telah menggerus sumber daya yang besar. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang cukup besar untuk mengatasi masalah-masalah rutin yang sebetulnya bisa diselesaikan. Tidak ingin itu berulang, Presiden Jokowi berniat merombak Bulog. Ini dilakukan dengan mengganti direksi Bulog yang baru menjabat 4-5 bulan.
Dua kebijakan diambil mengiringi langkah itu. Pertama, menugasi Bulog menangani sejumlah komoditas kebutuhan pokok, tidak hanya beras. Kedua, membebaskan Bulog dari misi mencari keuntungan (profit oriented). Harus diakui, selama ini pemerintah tak berdaya mengendalikan harga kebutuhan pokok, apakah itu beras, kedelai, gula, minyak goreng, dan komoditas hortikultura. Itu terjadi karena kita tidak memiliki instrumen pengendali harga. Akibatnya, kenaikan harga selalu berulang.
Penyebab instabilitas harga pokok, terutama pangan, bersifat struktural. Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan penting di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga.
Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ketiga, instrumen stabilisasi terbatas. Sejak Bulog menjadi perum, praktis kita tak memiliki badan penyangga yang berkekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan.
Kini Bulog hanya mengurus beras. Itu pun dengan kapasitas terbatas. Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Pasal 126-129 UU No 18/2012 tentang Pangan yang mewajibkan pembentukan lembaga pangan sampai saat ini belum ditunaikan.
*** Langkah memberi kewenangan Bulog mengelola kebutuhan pokok di luar beras bisa dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung rakyat dari instabilitas harga agar hak atas pangan terpenuhi. Agar efektif, penugasan itu harus dibarengi instrumen yang komplet: penetapan harga, cadangan, pengaturan ekspor- impor.
Perpres yang akan mengatur stabilisasi harga kebutuhan pokok yang diinisiasi Kementerian Perdagangan merupakan bagian penting dari langkah ini. Membebaskan Bulog dari misi profit oriented merupakan langkah penting untuk membebaskan perbenturan kepentingan klasik antara tugas sosial dan komersial. Sebagai perum, salah satu tugas direksi Bulog adalah mencari laba sehingga bisa menyetorkan keuntungan pada negara. Jika merugi, direksi bisa dipecat setiap saat karena dianggap tidak perform.
Padahal, saat melaksanakan tugastugas sosial seperti menyerap gabah/beras domestik, mengelola cadangan beras pemerintah, dan mengelola Raskin, Bulog potensial merugi. Perubahan misi ini sekaligus memperjelas kelamin Bulog.
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penulis Buku “Ironi Negeri Beras”, Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
Negeri ini pernah memiliki sejarah gemilang dalam stabilisasi harga kebutuhan pokok. Kegemilangan itu dicapai melalui pergulatan ekonomi-politik panjang.
Catatan penting dari prestasi itu adalah adanya sejumlah instrumen penting yang memungkinkan stabilisasi dilakukan. Berbekal berbagai instrumen, termasuk pendanaan berbunga rendah yang seolah-olah tidak terbatas melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia, monopoli komoditas strategis (beras, gula, kedelai, minyak goreng, dan terigu) dan captive market (PNS+TNI), Bulog sebagai pengembang stabilisasi benarbenar berfungsi powerfull.
Posisinya yang langsung di bawah presiden menggunting birokrasi panjang dan berbelit. Dua mandat penting Bulog dari pemerintah adalah pengamanan harga dasar gabah (HDG) dan pengelolaan cadangan pangan pemerintah. Menurut penelitian David Dev (1999), selama 20 tahun (1973-1997) hanya 10 kali dalam 240 bulan (4%) harga gabah jatuh di bawah HDG. Sementara di Filipina, jumlahnya mencapai 72 kali dalam 279 bulan (26%).
Keberhasilan fungsi stabilisasi harga dan menjagastokpenyanggapangan tidak cuma ditentukan oleh ketepatan waktu pembelian, penguasaan stok, dan pelepasan stok pada saat yang tepat, tapi juga bergantung pada ketersediaan dana di Bulog (KLBI). Namun, karena bersifat birokratis dan disorganized, segala aktivitas Bulog lebih banyak pertimbangan politis (ketimbang bisnis).
Posisinya yang banci ketika berstatus lembaga pemerintah nondepartemen (LPND) menjadi sumber dari segala sumber terjadinya kasus nonbujeter Bulog yang sering menjadi pemicu keguncangan politik di Indonesia seperti pemakzulan Presiden Gus Dur, diseretnya Akbar Tandjung ke meja hijau, dan dikirimnya Beddu Amang, Rahardi Ramelan, dan Sapuan ke penjara. Sampailah Indonesia jadi pasien IMF, setelah krisis menerjang negeri ini. Lewat letter of intent (LoI), September 1998, telah terjadi penggerusan habis-habisan terhadap bisnis dan berbagai privilese Bulog.
Sejak itu pasar Indonesia diserbu beras impor sampai 7,1 juta ton. Pasar domestik juga dibanjiri gula dan buah-buahan Thailand, paha ayam dan kedelai transgenik AS, dan daging sapi Australia. Puncaknya, Mei 2003 Bulog harus berubah status dari LPND menjadi perum yang harus untung. Merasa bersalah, berbagai koreksi dilakukan pemerintah. Salah satunya setelah status Bulog sebagai state trading enterprise (STE) di WTO dicabut pada 1998, pada 2002 dinotifikasi kembali.
Pemerintah memberi hak khusus ke Bulog yakni “undertakes the government mandate to import and distribute rice, and maintain national rice reserve stock for price stabilization and for emergency purposes.” Ini terkait pengadaan beras dalam negeri untuk mengamankan harga pembelian pemerintah (HPP), penyaluran Raskin, cadangan beras nasional dari kredit komersial yang dijamin pemerintah, dan mengelola impor beras G to G, counter trade,danfood aid. Ada perbedaan mendasar antara STE saat ini dan dulu.
Perbedaan itu menyangkut dua hal: dulu banyak komoditas dan monopoli impor, kini hanya pada beras dan tak monopoli. Monopoli impor beras diberikan Agustus 2007. Meskipun status STE sudah kembali, kinerja Bulog masih mengecewakan. Misalnya, pada 2014 pengadaan Bulog hanya tercapai 2,4 dari target 3 juta ton setara beras. Padahal, untuk Raskin bantuan bencana dan operasi pasar dibutuhkan 3 juta ton beras. Karena cadangan tipis, ketika spekulan bermain, Bulog tak berdaya. Inilah yang membuat harga beras naik gilagilaan akhir 2014 dan awal 2015.
Ini terjadi karena Bulog tidak didukung pendanaan memadai. Saat ini Bulog beroperasi menggunakan kredit komersial. Padahal, merujuk UU No 18/2012 tentang Pangan, tugas-tugas sosial yang diemban Bulog saat ini adalah tugas pemerintah. Ketika tugas itu diserahkan ke Bulog, segala konsekuensi yang timbul dari tugas sosial harus ditanggung pemerintah, termasuk dana.
*** Kini gejolak harga kebutuhan pokok jadi rutinitas. Masalah itu telah menggerus sumber daya yang besar. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang cukup besar untuk mengatasi masalah-masalah rutin yang sebetulnya bisa diselesaikan. Tidak ingin itu berulang, Presiden Jokowi berniat merombak Bulog. Ini dilakukan dengan mengganti direksi Bulog yang baru menjabat 4-5 bulan.
Dua kebijakan diambil mengiringi langkah itu. Pertama, menugasi Bulog menangani sejumlah komoditas kebutuhan pokok, tidak hanya beras. Kedua, membebaskan Bulog dari misi mencari keuntungan (profit oriented). Harus diakui, selama ini pemerintah tak berdaya mengendalikan harga kebutuhan pokok, apakah itu beras, kedelai, gula, minyak goreng, dan komoditas hortikultura. Itu terjadi karena kita tidak memiliki instrumen pengendali harga. Akibatnya, kenaikan harga selalu berulang.
Penyebab instabilitas harga pokok, terutama pangan, bersifat struktural. Pertama, dominasi orientasi pasar kebijakan pangan. Hampir semua komoditas pangan, kecuali beras, diserahkan pada mekanisme pasar. Kedua, konsentrasi distribusi sejumlah komoditas pangan penting di tangan segelintir pelaku. Orientasi pasar membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga.
Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis ini terjadi pada dua sumber pasokan pangan: produksi domestik dan impor. Ketiga, instrumen stabilisasi terbatas. Sejak Bulog menjadi perum, praktis kita tak memiliki badan penyangga yang berkekuatan besar menstabilkan pasokan dan harga pangan.
Kini Bulog hanya mengurus beras. Itu pun dengan kapasitas terbatas. Keempat, absennya kelembagaan pangan. Sejak menteri negara urusan pangan dibubarkan pada 1999, tidak ada lagi lembaga yang bertugas merumuskan kebijakan, mengoordinasikan, dan mengarahkan pembangunan pangan. Pasal 126-129 UU No 18/2012 tentang Pangan yang mewajibkan pembentukan lembaga pangan sampai saat ini belum ditunaikan.
*** Langkah memberi kewenangan Bulog mengelola kebutuhan pokok di luar beras bisa dimaknai sebagai upaya pemerintah untuk mengembalikan fungsi negara sebagai pelindung rakyat dari instabilitas harga agar hak atas pangan terpenuhi. Agar efektif, penugasan itu harus dibarengi instrumen yang komplet: penetapan harga, cadangan, pengaturan ekspor- impor.
Perpres yang akan mengatur stabilisasi harga kebutuhan pokok yang diinisiasi Kementerian Perdagangan merupakan bagian penting dari langkah ini. Membebaskan Bulog dari misi profit oriented merupakan langkah penting untuk membebaskan perbenturan kepentingan klasik antara tugas sosial dan komersial. Sebagai perum, salah satu tugas direksi Bulog adalah mencari laba sehingga bisa menyetorkan keuntungan pada negara. Jika merugi, direksi bisa dipecat setiap saat karena dianggap tidak perform.
Padahal, saat melaksanakan tugastugas sosial seperti menyerap gabah/beras domestik, mengelola cadangan beras pemerintah, dan mengelola Raskin, Bulog potensial merugi. Perubahan misi ini sekaligus memperjelas kelamin Bulog.
(ars)