Rumi Ajarkan Cinta via Puisi
A
A
A
/Penderitaan adalah hadiah, di dalamnya tersembunyi kasih /
Itulah sepenggal puisi karya sufi kenamaan Jalaluddin Rumi (1207-1273). Seolah bagi Rumi, cinta adalah sebuah kata benda sekaligus kata sifat yang ia miliki secara utuh.
Rumi berjiwa merdeka, maka ia memiliki cinta sejatinya hingga merelakan dirinya kepada sang cinta sejati, Sang Maha Kuasa. Dalam buku Belajar Hidup dari Rumi karya Haidar Bagir, termaktub jelas bagaimana Rumi mendefinisikan cinta. Cinta adalah sebuah pengertian yang selama berabad-abad tak kunjung diselesaikan maknanya. Sebuah kata yang abstrak dan membingungkan. Kata yang menyimpan misteri kebahagiaan sekaligus kehancuran bagi penyanjungnya. Bagi Rumi, cinta adalah ”laut ketiadaan”.
Dalam renungannya, cinta adalah kubu yang berlawanan dengan nalar. Menemui cinta, kata Rumi, seorang intelek lumpuh kakinya. Sementara, intelek atau nalar sibuk menerangi ruang dan meraih dunia, cinta memiliki hidup dan aktivitasnya sendiri. Sufi asal Indonesia Gus Candra Malik menilai, kebesaran seorang Jalaluddin Rumi adalah pada titik di mana ia menjadikan cintanya berjalan berdampingan dengannya, bukan sebagai tujuan semata.
Karena jika cinta hanya dijadikan sebuah tujuan, maka selama proses mencintai, sejatinya ia hanya berjalan sendiri untuk melewati proses tersebut. Rumi mencintai Tuhannya. Ia tidak menjadikan Tuhan sebagai tujuan, melainkan membiarkannya berjalan bersamanya. Dekat dan berdampingan. ”Rumi tidak pernah menjadikan cintanya adalah tujuan, tapi membuatnya (cinta) berjalan berdampingan dengannya dalam menjalani proses percintaan,” ujarnya dalam peluncuran buku Belajar Hidup dari Rumi, Rabu, pekan lalu di Auditorium UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Menurutnya, Rumi merupakan seseorang yang mencintai penderitaan, namun ia bukanlah pribadi yang menderita. Cinta tak bisa hidup bersama perhitungan untung dan rugi, tak jua bisa dipakai dalam siasat politik. Cinta tak bisa menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaan untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta yang digambarkan Rumi adalah sebuah cinta yang mengembara, mencoba memasuki dan memecahkan misteri yang dihadirkan oleh Tuhan.
Penulis sekaligus pengajar tasawuf Haidar Bagir mengatakan, kecintaan Rumi terhadap Tuhan digambarkan secara lembut. Bukan hanya lewat kata dalam puisi, tapi bagaimana Rumi berhasil meletakkan ruh dalam puisinya. Menggerakkan hati bagi setiap jiwa-jiwa yang keras untuk dapat melebur dalam kelembutan. Karya Rumi, Matsnawi, yang paling banyak dibaca manusia setelah Al- Quran dan Hadits, banyak mengilhami pemikiran-pemikiran manusia untuk bersifat lembut.
Menurutnya, seperti yang dikutip dari perkataan Rumi, orang yang mencintai menemukan tempat-tempat rahasia di dunia yang penuh kekerasan ini. Di sanalah mereka melakukan dengan transaksi keindahan. Itulah yang diakui oleh nalar. Kata Rumi, nalar menegakkan pasar dan mulai berdagang, tapi cinta menyimpan kerja dalam persembunyian. Maka, menurut Haidar, orang yang penuh cinta akan jauh dari tindakan kekerasan. Seperti yang diajarkan Rumi.
Haidar mengambil contoh, pada abad ke-11 dan ke-12 dari Baghdad hingga Kairo, para hakim agama tak jarang menggunakan kekuasaan mereka untuk hidup makmur. Di masa itulah penyair sufi kelahiran Afganistan Sanai, menulis Hadiqat Al-Haqiqat (Kebun Kebenaran) dan mencerca hakim agama yang menuliskan fatwa menyerukan pertumpahan darah, digerakkan niat keji, kebodohan, dan sifat tamak.
Perlawanan terhadap kebusukan tersebut pun yang mendorong sufi Sanai menjauh dari godaan kekuasaan. Al-Gahazali yang mendapat kenikmatan melalui posisi sebagai tokoh agama yang menjadi pengajar di Nazimiyah, Baghdad, pun hatinya berkecamuk. Setelah integritas dirinya perlahan rusak, Al-Ghazali meninggalkan kota besar yang gemerlap di Baghdad.
Ia mengembara, pergi membawa kecewa karena mengkhianati cinta. Hal itu mungkin saja tak terjadi andaikan Al-Ghazali menggerakkan cinta seperti Rumi.
Imas damayanti
Itulah sepenggal puisi karya sufi kenamaan Jalaluddin Rumi (1207-1273). Seolah bagi Rumi, cinta adalah sebuah kata benda sekaligus kata sifat yang ia miliki secara utuh.
Rumi berjiwa merdeka, maka ia memiliki cinta sejatinya hingga merelakan dirinya kepada sang cinta sejati, Sang Maha Kuasa. Dalam buku Belajar Hidup dari Rumi karya Haidar Bagir, termaktub jelas bagaimana Rumi mendefinisikan cinta. Cinta adalah sebuah pengertian yang selama berabad-abad tak kunjung diselesaikan maknanya. Sebuah kata yang abstrak dan membingungkan. Kata yang menyimpan misteri kebahagiaan sekaligus kehancuran bagi penyanjungnya. Bagi Rumi, cinta adalah ”laut ketiadaan”.
Dalam renungannya, cinta adalah kubu yang berlawanan dengan nalar. Menemui cinta, kata Rumi, seorang intelek lumpuh kakinya. Sementara, intelek atau nalar sibuk menerangi ruang dan meraih dunia, cinta memiliki hidup dan aktivitasnya sendiri. Sufi asal Indonesia Gus Candra Malik menilai, kebesaran seorang Jalaluddin Rumi adalah pada titik di mana ia menjadikan cintanya berjalan berdampingan dengannya, bukan sebagai tujuan semata.
Karena jika cinta hanya dijadikan sebuah tujuan, maka selama proses mencintai, sejatinya ia hanya berjalan sendiri untuk melewati proses tersebut. Rumi mencintai Tuhannya. Ia tidak menjadikan Tuhan sebagai tujuan, melainkan membiarkannya berjalan bersamanya. Dekat dan berdampingan. ”Rumi tidak pernah menjadikan cintanya adalah tujuan, tapi membuatnya (cinta) berjalan berdampingan dengannya dalam menjalani proses percintaan,” ujarnya dalam peluncuran buku Belajar Hidup dari Rumi, Rabu, pekan lalu di Auditorium UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Menurutnya, Rumi merupakan seseorang yang mencintai penderitaan, namun ia bukanlah pribadi yang menderita. Cinta tak bisa hidup bersama perhitungan untung dan rugi, tak jua bisa dipakai dalam siasat politik. Cinta tak bisa menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaan untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta yang digambarkan Rumi adalah sebuah cinta yang mengembara, mencoba memasuki dan memecahkan misteri yang dihadirkan oleh Tuhan.
Penulis sekaligus pengajar tasawuf Haidar Bagir mengatakan, kecintaan Rumi terhadap Tuhan digambarkan secara lembut. Bukan hanya lewat kata dalam puisi, tapi bagaimana Rumi berhasil meletakkan ruh dalam puisinya. Menggerakkan hati bagi setiap jiwa-jiwa yang keras untuk dapat melebur dalam kelembutan. Karya Rumi, Matsnawi, yang paling banyak dibaca manusia setelah Al- Quran dan Hadits, banyak mengilhami pemikiran-pemikiran manusia untuk bersifat lembut.
Menurutnya, seperti yang dikutip dari perkataan Rumi, orang yang mencintai menemukan tempat-tempat rahasia di dunia yang penuh kekerasan ini. Di sanalah mereka melakukan dengan transaksi keindahan. Itulah yang diakui oleh nalar. Kata Rumi, nalar menegakkan pasar dan mulai berdagang, tapi cinta menyimpan kerja dalam persembunyian. Maka, menurut Haidar, orang yang penuh cinta akan jauh dari tindakan kekerasan. Seperti yang diajarkan Rumi.
Haidar mengambil contoh, pada abad ke-11 dan ke-12 dari Baghdad hingga Kairo, para hakim agama tak jarang menggunakan kekuasaan mereka untuk hidup makmur. Di masa itulah penyair sufi kelahiran Afganistan Sanai, menulis Hadiqat Al-Haqiqat (Kebun Kebenaran) dan mencerca hakim agama yang menuliskan fatwa menyerukan pertumpahan darah, digerakkan niat keji, kebodohan, dan sifat tamak.
Perlawanan terhadap kebusukan tersebut pun yang mendorong sufi Sanai menjauh dari godaan kekuasaan. Al-Gahazali yang mendapat kenikmatan melalui posisi sebagai tokoh agama yang menjadi pengajar di Nazimiyah, Baghdad, pun hatinya berkecamuk. Setelah integritas dirinya perlahan rusak, Al-Ghazali meninggalkan kota besar yang gemerlap di Baghdad.
Ia mengembara, pergi membawa kecewa karena mengkhianati cinta. Hal itu mungkin saja tak terjadi andaikan Al-Ghazali menggerakkan cinta seperti Rumi.
Imas damayanti
(ars)