Eks Ketua MK Ingatkan Hakim Tidak Ikuti Hawa Nafsu
A
A
A
JAKARTA - Mantan Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai putusan hakim boleh didiskusikan secara akademik kepada publik, termasuk putusan yang dibuat hakim tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Terkait vonis kasasi hakim yang memperberat hukuman mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Hamdan enggan memberikan komentar karena belum membaca putusan tersebut secara detail.
Kendati demikian, Hamdan menegaskan hakim tidak boleh memutus perkara untuk memenuhi hawa nafsu secara emosional.
"Dia bisa jadi sangat subjektif kalau sebuah putusan hanya untuk memenuhi kepuasan hakim secara subjektif. Keadilan itu enggak bisa diukur dari rasa hakim semata-mata," kata Hamdan saat berbicara dalam diskusi bertajuk Artidjo: Mengadili atau Menghukum?, yang digelar Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (12/6/2015).
Hamdan menegaskan, hakim harus berlaku independen dalam mengambil putusan. Apalagi jika kedudukannya sebagai hakim agung.
Menurut dia, hakim dalam mengambil putusan bukan semata mengandalkan fakta dan bukti materi, tetapi juga harus mengedepankan sejumlah aspek seperti aspek publik dan aspek terhukum. Sehingga, aspek-aspek tersebut memenuhi rasa keadilan bersama.
"Hakim tidak boleh memutus karena marah atau jengkel . Hakim tidak boleh putuskan dengan asumsi awal karena jengkel dengan koruptor lalu langsung putuskan hukuman setinggi-tingginya," ujarnya.
Menurut dia, hakim harus mampu membaca perkara agar dapat memutus secara adil. "Jadi sejengkel apapun pada seseorang, atau secinta-citanya pada seseorang harus bisa baca perkara. Sehingga putusan bisa adil," tutur Hamdan.
PILIHAN :
Vonis Anas Ciptakan Monster-monster di MA
Keluarga Anas Sebut Vonis Hakim MA Zalim
MA Persilakan Anas Ajukan PK
Terkait vonis kasasi hakim yang memperberat hukuman mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, Hamdan enggan memberikan komentar karena belum membaca putusan tersebut secara detail.
Kendati demikian, Hamdan menegaskan hakim tidak boleh memutus perkara untuk memenuhi hawa nafsu secara emosional.
"Dia bisa jadi sangat subjektif kalau sebuah putusan hanya untuk memenuhi kepuasan hakim secara subjektif. Keadilan itu enggak bisa diukur dari rasa hakim semata-mata," kata Hamdan saat berbicara dalam diskusi bertajuk Artidjo: Mengadili atau Menghukum?, yang digelar Perhimpunan Magister Hukum Indonesia (PMHI) di Bumbu Desa, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (12/6/2015).
Hamdan menegaskan, hakim harus berlaku independen dalam mengambil putusan. Apalagi jika kedudukannya sebagai hakim agung.
Menurut dia, hakim dalam mengambil putusan bukan semata mengandalkan fakta dan bukti materi, tetapi juga harus mengedepankan sejumlah aspek seperti aspek publik dan aspek terhukum. Sehingga, aspek-aspek tersebut memenuhi rasa keadilan bersama.
"Hakim tidak boleh memutus karena marah atau jengkel . Hakim tidak boleh putuskan dengan asumsi awal karena jengkel dengan koruptor lalu langsung putuskan hukuman setinggi-tingginya," ujarnya.
Menurut dia, hakim harus mampu membaca perkara agar dapat memutus secara adil. "Jadi sejengkel apapun pada seseorang, atau secinta-citanya pada seseorang harus bisa baca perkara. Sehingga putusan bisa adil," tutur Hamdan.
PILIHAN :
Vonis Anas Ciptakan Monster-monster di MA
Keluarga Anas Sebut Vonis Hakim MA Zalim
MA Persilakan Anas Ajukan PK
(dam)